secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Sabtu, 09 April 2011

respon ekologis ekosistem hutan terhadap dinamika disturban


PAPER :
RESPON EKOLOGIS EKOSISTEM HUTAN TERHADAP DINAMIKA DISTURBAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN (Hasil review beberapa artikel)
Oleh : Ichsan Suwandhi/E 461100021

Biodiversity, disturbances, ecosystem function and management of European forests (Jan Bengtsson, Sven G. Nilsson, Alain Franc, Paolo Menozzi)

Forest functions, ecosystem stability and management (Erwin Fuhrer)

Disturbance dynamics and ecological response: the contribution of long-term ecological research.  (Monica G. Turner, Scott L. Collins, Ariel L. Lugo, John J. Magnuson, T. Scott Rupp, And Frederick J. Swanson.) 

 
RINGKASAN
Secara alami hutan memiliki repon ekologis berupa kemampuan memulihkan diri akibat adanya tekanan atau gangguan (disturban), dengan kemampuan ini hutan selalu dapat menyusun kembali struktur dan komposisi jenis-jenisnya agar proses-proses ekologi dapat berjalan dengan normal.  Paradigma baru pengelolaan hutan saat ini dan masa datang adalah memadukan dinamika disturbansi ke dalam pengelolaan hutan.  Pemahaman mengenai dinamika disturbansi pada setiap tipe ekosistem hutan akan sangat penting dalam menentukan system pengelolaan hutan yang harus diterapkan.
Beberapa areal membutuhkan pertimbangan pengelolaan sebagai berikut :
1.      Bagaimana jenis-jenis dapat bertahan dan beradaptasi terhadap disturban alami pada wilayah yang berbeda dan tipe hutan yang berbeda.
2.      Bagaimana menghasilkan praktek-praktek pengelolaan hutan yang inovatif dapat mengambil cara-cara regim disturban alami
3.      Bagaimana keanekaragaman hayati hutan berpengaruh terhadap fungsi ekosistem dan stabilitas, terutama terkait dengan persoalan global seperti perubahan iklim global
4.      Bagaimana hubungan antara proses-proses ekologi pada berbagai tingkat dan skala dengan keanekaragaman hayati, dan bagaimana membuat suatu bentuk pengelolaan hutan yang berbeda memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati
5.      What is the role of humans and human behaviour for sustainable management of ecosystems?

PENDAHULUAN
Sebagian besar hutan alam (terutama hutan tropika) telah mengalami ancaman yang cukup serius dari berbagai bentuk tekanan/gangguan yang melebihi kemampuan hutan untuk memulihkan diri, hal ini diakibatkan sangat tingginya frekuensi dan intensitas gangguan oleh aktivitas manusia. Hal tersebut diperparah dengan kurangnya kecukupan pemahaman para pengelola hutan terhadap disturban dan dampaknya terhadap ekosistem hutan. 
Berbagai pengalaman penelitian membuktikan  bahwa disturban merupakan campuran dari berbagai faktor penyebab yang akhirnya memperngaruhi kondisi struktur komposisi dan proses ekologi dalam ekosistem hutan.  Kesalahan pengelolaan sebelumnya lebih menekankan pada upaya-upaya memperbaiki kerusakan oleh satu penyebab utama, misalnya kerusakan akibat letusan gunung berapi, kebakaran liar dan sebagainya tanpa memahami karakteristik gangguan secara keseluruhan.   Sebagai contoh nyata adalah perubahan iklim, berdampak pada fluktuasi suhu yang tidak menentu, kekeringan, menurunnya kualitas tapak, yang semuanya menjadi bentuk-bentuk gangguan yang secara kompleks merubah struktur dan fungsi ekosistem hutan. Recovery atau intervensi yang dilakukan pengelola umumnya menjadi tidak efektif dan kerusakan hutan dapat menjadi lebih besar di kemudian hari, kecuali intervensi tersebut dilakukan dengan memahami betul-betul dinamika disturban atau gangguan terhadap hutan.
Di dalam prakteknya, sebagian besar hutan bersifat multifungsi khususnya secara social dan ekonomi.  Selain itu hutan juga mempunyai fungsi-fungsi tertentuseperti hutan lindung, hutan tanaman dengan rotasi pendek, hutan tanaman energy dan sebagainya.  Hal tersebut tentunya membutuhkan sentuhan manajemen yang berbeda untuk setiap fungsi yang dimiliki hutan.
Secara umum diketahui bahwa tingginya kepadatan populasi manusia semakin meningkatkan parktek-praktek penanaman/pemanfaatan lahan secara intensif, menghasilkan penurunan dan tidak optimalnya fungsi hutan, sehingga mengarah pada degradasi.
Secara tradisional, ekosistem-ekosistem cenderung lebih terjaga dari intervensi manusia, gangguan-gangguan yang terjadi masih dapat mendukung hutan mencapai klimaks, ditandai dengan dinamika ekosistem yang cenderung berjalan seimbang dan disturban yang terjadi dapat dikendalikan oleh ekosistem hutan.
Pemahaman terhadap bentuk-bentuk dinamika disturban alami dan bagaimana mereka berhubungan dengan disturban oleh manusia dan praktek-praktek pengelolaan adalah penting untuk menjaga dan mengelola keanekaragaman hayati sebagaimana memelihara fungsi-fungsi ekosistem.
Pemahaman terhadap dinamika disturban dan repon ekologis dari suatu ekosistem hutan yang mencakup proses-proses dan fungsi ekosistem menjadi factor kunci dalam pengelolaan hutan yang lestari.  Makalah ini menyajikan suatu konsep berdasarkan hasil review beberapa artikel untuk memberikan pertimbangan dalam pengelolaan hutan berbasis dinamika disturban dan respon ekologis yang dilakukan oleh ekosistem hutan.

KELESTARIAN FUNGSI-FUNGSI EKOSISTEM HUTAN (FOREST ECOSYSTEM FUNCTIONS SUSTAINABILITY)

Berbagai fungsi dan manfaat hutan telah cukup dipahami oleh manusia mencakup ekologi, social dan ekonomi.  Kelestarian dari produksi biomassa yang dapat dieksploitasi sangat tergantung pada satu paket criteria yang meliputi terjaminnya persediaan nutrisi dan energy serta keseimbangan interaksi jarring-jaring makanan dalam suatu ekosistem (Andersson, 2000 dalam Bengtsson, 2000).
Produktivitas ekonomi yang disediakan oleh hutan sebagai bagian dari fungsinya memberikan peluang bagi manusia untuk memanfaatkan dan berdampak terhadap ekosistem.  Dampak-dampak tersebut memiliki karakteristik tertentu berdarkan pada produk-produk yang dimanfaatkan dan metode atau teknik pemanfaatannya.  Bentuk-bentuk dan teknik pemanfaatan tersebut tentunya harus mempertimbangkan respon suatu ekosistem sesuai kapasitasnya (Fuhrer, 2000).
Dalam suatu lanskap dimana populasi manusia, dimana secara permanen kebutuhannya dan infrastruktur dalam kondisi rawan oleh ancaman gangguan alami, fungsi perlindungan  dari suatu hutan merupakan prioritas pertama.  Perlindungan dapat dilakukan berbeda-beda berdasarkan tipe kerawanan yang dihadapi, sebagai contoh di wilayah pegunungan prioritas perlindungan ditekankan pada pencegahan erosi tanah oleh air atau angin, pencemaran terhadap air dan mata air, danm sebagainya.  Setiap pengelolaan hutan dicirikan oleh pengelolaan terhadap sebaran dari dampak-dampak yang potensial dialami oleh suatu ekosistem dari gangguan atau bencana alam.  Hal ini sangat nyata bahwa suatu hutan dapat diharapkan untuk memenuhi fungsi-fungsinya yang sesuai dengan kapasitas ekosistem.  Pada saat suatu areal hutan  ditekankan pada satu fungsi kunci, maka ekosistem khusus terkait dengan kebutuhan-kebutuhan untuk fungsi tersebut harus diidentifikasi dan ekosistem harus dapat diselidiki untuk melihat apakah kebutuhan tersebut tersedia.
Inkompatibilitas dapat dieliminasi melalui dua cara, yaitu dengan melakukan koreksi terhadap intervensi manajemen atau dengan merencanakan pengelolaan berdasarkan kapasitas fungsi ekosistem.  Fuhrer (2000) menjelaskan bahwa untuk keperluan tersebut, rimbawan harus memiliki kecukupan pemahaman terhadap :
-          Karakteristik dan kapasitas ekosistem (baik dalam skala atau ambang batasnya) yang didasarkan pada tipe-tipe fungsi-fungsi hutan dan yang penting untuk kelestarian fungsi tersebut.
-          Metodologi untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk perlakuan yang penting dan untuk mengevaluasinya sesuai fungsi-fungsi hutan.
-          Metodologi untuk melakukan koreksi terhadap manajemen menurut inkompatibilitas antara kebutuhan ekologis dan keluarannya, serta untuk penilaian kelayakan ekonomi dan teknisnya.
Kapasitas suatu ekosistem untuk melestarikan suatu fungsi spesifik berdasarkan karakteristik dari dinamika hutan, membutuhkan pemahaman terhadap interaksi sebagai berikut (Fuhrer, 2000) :
1) definition of function-related nature and impact loads exerted on the ecosystem;
2)  knowledge of the ecosystem processes necessary for coping with destabilising (disturbing) influences;
3) identification of assessment indicators (measurement) of the respective ecosystem capacities;
4)  understanding the ecosystem responses to interacting loads (e.g. synergy) of destabilising forces, both related and non-related to the specific forest function.
DINAMIKA EKOSISTEM HUTAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN BIODIVERSITAS, STABILITAS DAN FUNGSI EKOSISTEM

Karakteristik mendasar suatu ekosistem hutan adalah dinamikanya.  Keberhasilan pengelolaan hutan didasarkan pada kemampuan untuk menyesuaikan strategi manajemen terhadap dinamika alami (natural dynamics) atau untuk memanipulasi proses-proses alami berdasarkan tujuan pengelolaannya.  Tujuan dan metode pengelolaan hutan harus didasarkan pada kecukupan pengetahuan mengenai kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dan aturan-aturan prose salami yang berlangsung, dengan memperhatikan pada dinamika hutan yang prediktif.
Biodiversitas merupakan salah satu indicator dalam mempelajari ekosistem hutan, berbagai penelitian mengenai ekosistem hutan hamper selalu berhubungan dengan bidiversitas (keanekaragaman jenis) baik pada tingkat tapak maupun organism di atas tanah (tumbuhan dan satwa).   Sampai saat ini Bengtsson seorang peneliti hubungan biodiversitas dengan fungsi ekosistem masih menyangsikan keeratan hubungan antara kedua aspek tersebut.

Effects of biodiversity on ecosystem function
Beberapa ahli ekologi modern memiliki keraguan terhadap biodiversity atas beberapa alasan, antara lain keanekaragaman jenis mungkin memiliki pengaruh positif secara langsung terhadap proses-proses ekosistem yang penting seperti produktivitas dan siklus nutrisi; tingginya keanekaragaman jenis juga dapat mendukung stabilitas ekosistem, sebagai contoh resistensi terhadap disturban, resiliensi setelah disturban dan lain-lain, namun demikian biodiversitas tidak berpengaruh terhadap keberlangsungan fungsi hutan, misalnya pengaturan tata air dan erosi diketahui bahwa tegakan monokultur dan campuran sama-sama mampu menurunkan laju erosi dan pengaturan air dalam tanah. 
Berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat dipahami bahwa spesies-spesies di dalam suatu ekosistem masing-masing mempunyai peran dalam menggerakkan proses-proses yang berlangsung dalam ekosistem, sehingga pemahaman terhadap kelompok jenis dan perannya sangat penting dimiliki oleh forester.  Salah satu kelemahan hutan monokultur atau miskin jenis adalah terdapat kemungkinan adanya fungsi-fungsi atau proses-proses ekologi yang tidak berjalan akibat spesies fungsionalnya tidak tersedia, mengakibatkan ekosistem menjadi tidak stabil, sebagaimana ditegaskan dalam artikel Bengtsson (2000) : The major longterm importance of diversity may be as a source of species capable of performing desired ecosystem functions if the present species should disappear, for example because of climate change (the `insurance' hypothesis; Folke et al., 1996).

Stabilitas Ekosistem
Adanya gangguan yang mengakibatkan terganggunya stabilitas hutan akan direspon secara alami oleh ekosistem hutan dengan mekanisme-mekanisme untukmengendalikan gangguan tersebut.  Efisiensi dari mekanisme tersebut akan membuat ekosistem kembali stabil (Bormann and Likens, 1979).
Keberhasilan pengendalian atau manajemen kekuatan-kekuatan yang mengganggu kestabilan hutan merupakan kunci keberlangsungan ekosistem hutan (suatainability).   Sustainable forest management didasarkan pada pengetahuan secara lengkap terhadap (Fuhrer, 2000):
-          Potentially destabilising forces and agents.
-          Ecosystem control mechanisms directed against the former.
-          Operational conditions for the control mechanismsand effects expected to be exerted by the mechanisms.
Menurut Redfearn and Pimm (1987) memberikan pengertian terhadap istilah-isltilah terkait mekanisme ekosistem hutan dalam mengendaliakan factor-faktor gangguan sebagai berikut :
1)      `Stability' describes the tendency of a system to return to its equilibrium values after a disturbance;
2)      `resistance' is the tendency to remain unchanged by a disturbance.
3)      `Resilience' is a measure of how fast a system returns to its equilibrium after a perturbation; resilient systems have a short return time. (According to Bormann and Likens (1979), resilience is the ability per se of a system to return to its original state after a perturbation.)
4)      `Persistence' is a measure of the time a system lasts before it is changed to a different one.

Fuhrer (2000) menjelaskan lebih lanjut, Stabilitas diketahui sebagai dinamika pengendalian suatu hutan mencakup persisten ekosistem hutan pada kondisi yang penting antara resistensi dan resiliensi (the resistance-based and the resilience-based models). Sistem stabil  dipandang sebagai bentuk adaptasi terhadap berbagai factor lingkungan, fluktuasi yang cenderung sedang sehingga mengurangi insiden disturban, tetapi tidak mudah untuk kejadian-kejadian alam dengan kekuatan yang besar. 
Anke Jentsch, Carl Beierkuhnlein and Peter S. White (2000), dalam penelitian tentang perubahan lanskap boeal forest akibat disturban memberikan pengertian mengenai stabilitas mencakup tiga konsep, yaitu constancy, resistence dan resilience (e.g. Connell and Sousa 1983, Remmert 1989, Harrison 1997, review in Grimm and Wissel 1997). Istilah-istilah tersebut biasa digunakan untuk beberapa jenis perlakuan yang diukur di dalam suatu system, misalnya struktur, produktivitas biomassa atau keanekaragaman jenis.  Pengertian ketiga istilah tersebut adalah:
-       ‘Constancy’ is associated with persistence of a particular reference state or reference dynamic.  
-       ‘Resistance’ characterizes an ecological system staying essentially unchanged in the presence of disturbance.
-        ‘Resilience’ is the ability to return to a reference state after a temporary disturbance. Since disturbance can maintain a dynamic pattern, a change in this pattern is not due to the mere presence of disturbance, but to a shift in the amount of disturbance. At the multi-patch scale, we average properties across disturbed and undisturbed patches.
Bengtsson  (2000) menerangkan lebih lanjut, beberapa disturban dapat membawa ekosistem ke berbagai tingkat stabilitas yang berbeda (Gambar 1) dengan persinggungan secara esensial system yang ada ke system yang baru, dan peningkatan pemanfaatan akan meningkatkan kehilangan spesies secara regional.

Processes driving forest ecosystem dynamics
Perkembangan alami suatu ekosistem hutan diatur oleh proses-proses regulasi intrinsic dan dapat dipengaruhi oleh factor-faktor ekstrinsik.  Dinamika ekosistem merupakan hasil dari proses-proses dinamis dalam berbagai variasi sub system yang berjalan seimbang (misalnya produksi primer, kelimpahan herbivore, dan dekomposisi) (Packham et al., 1992). Mekanisme-mekanisme tersebut berada dalam kapasitas regulasi yang dilakukan ekosistem untuk menganalisis dan mengendalikan factor-faktor gangguan.
Stabilitas ekosistem hutan sangat tergantung pada efisiensi dari subsistem dalam merespon intervensi dari disturban.  Ketepatan, kecepatan dan intensitas repson menghasilkan perbedaan dalam dinamika.  Selanjutnya permulaan, tipe dan derajat stabilitas  tergantung pada fungsional yang efisien dari mekanisme repon untuk intrinsic self regulation.
Sedangkan ketidakstabilan hutan-hutan terdegradasi dan hutan tanaman karena terdapat kekurangan  dalam intrinsic self regulation.  Pemeliharaan system membutuhkan regulasi eksternal sebagai bagian dari manajemen.  Banyaknya pengaturan energy dibutuhkan untuk stabilisasi system tergantung pada derajat ketimpangan antara tujuan manaejmen dan kapasitas ekosistem.
Walaupun banyak ahli ekologi setuju bahwa diversity sangat penting untuk menentukan proses-proses ekosistem seperti produktivitas atau dekomposisi, hal ini masih dipertanyakan karena tidak diketahui secara pasti di lapangan.  Beberapa percobaan terkait issu ini masih membingungkan, kadang-kadang keanekaragaman jenis pada suatu unit area tidak seberapa penting dibandingkan dengan tingkat kehadiran beberapa functional groups. 
Menurut Bengtsson (1998), jika tujuan pengelolaan adalah memelihara dan membentuk ekosistem hutan yang lestari, peran yang paling krusial  dari diversity adalah sebagai penyedia jenis-jenis fungsional dan conferring stability.  Berkurangnya biodiversity berarti kehilangan jenis-jenis mencakup key species sebagai penentu rantai dan jarring pangan, dapat mengakibatkan perubahan jarring pangan, hilangnya jenis dengan fungsi-fungsi tertentu, hilangnya ecosystem engineer, dan fungsional group species.  Penelitian Bengtsson tersebut membuktikan bahwa penebangan hutan berdampak terhadap jarring-jaring pangan dalam tanah dan terhadap siklus karbon dan nitrogen.


Deterministic conditions -  process control
Kealamian, intensitas dan frekuensi dari agen-agen penyebab gangguan pada satu sisi dan pengaturan kapasitas, efisiensi dan ketepatan dari mekanisme intrinsic pada sisi yang lain, dari kondisi-kondisi yang berbeda dapat ditetapkan stabil dan tidak stabil, resisten atau resilien suatu ekosistem hutan.  Perbedaan kondisi biasanya ditunjukkan oleh perbedaan factor-faktor fisik, kimia dan biologi, situasi di dalam dan di luar ekosistem, serta keterlibatan manusia.  Interaksi berbagai parameter tersebut menghasilkan aturan penting suatu ekosistem hutan, namun sangat disayangkan hal ini belum dipahami secara lengkap oleh pengelola hutan. 
Dalam teori factor-faktor kompleks dijelaskan : The flux of energy and matter, substrate character, vegetative species composition, trophic and population dynamics of the fauna, as well as the microflora and microfauna. There is also evidence that the nature, intensity and speed of these interactions are subject to the fluctuations of the physical circumstances. Although we have knowledge of many specific factors operating in certain sectors of forest ecosystems, it is not known, to what extent this knowledge can be generalised.  Fuhrer (2000) mencontohkan system aturan suatu ekosistem hutan terkait dengan dampak-dampak lingkungan terhadap rantai pangan dan tingkat trofik sebagaimana Gambar 2
Bengtson (2000) menjelaskan, developments in the analysis of the role of diversity in species-rich and complex communities may shed further light on the importance of biodiversity for ecosystem function. It has been suggested that focus on the number of species, being taxonomic entities, may not be the most efficient way of examining this problem. Instead, it could be more fruitful to concentrate on the distribution of ecological traits in a community, for example the distributions of resource acquisition efficiencies or tolerances to environmental stress across species. Of course, to some degree these distributions are likely to be related to species diversity. More importantly, different distributions probably reflect differences between communities in ecosystem function or species complementarity.  Focus on trait distributions rather than species numbers is potentially more relevant for understanding ecosystem function and its relation to biodiversity.

Turner et al  (2003) dalam penelitiannya terhadap hutan tropis di Puertorico yang telah terkena badai hurricane menghasilkan kesimpulan bahwa  long-term research has changed understanding of tropical forest dynamics. Paradigms for understanding the structure and function of tropical forests in the Luquillo LTER site, Puerto Rico, had evolved from a long tradition of research that spanned decades before the LTER program began.  Hurricane Hugo, a category IV hurricane with sustained winds over 166 kilometers per hour, passed over the northeast corner of the island of Puerto Rico on 18 September 1989, one year after LTER funding began.  Hurricanes are an important force influencing forest composition and structure on numerous islands and coastal regions; 15 hurricanes have passed over the island of Puerto Rico in the past 300 years (Scatena and Larsen 1991).
LTER studies of the effects of Hurricane Hugo benefited tremendously from the extensive predisturbance data for the site and resulted in dramatic changes to our under- standing of the role of disturbance in the Luquillo Forest. For example:
1)      Ideas of fragility were replaced by ideas of resilience.
2)      The rates of ecosystem processes were reassessed.
3)      The characteristics of ecosystems that lead to resilience were identified, including rapid turnover rate of nutrients, mass, and populations; biotic control of fluxes; high species richness at ecosystem interfaces (redundancy); high nutrient and carbon storage in soils; negative feedback at all levels of biotic interaction; and high species turnover followed by self-organization of new communities (Lugo and Scatena 1995).
4)      Successional changes after natural and anthropogenic disturbances were documented and compared. (Aide et al. 2000, Zimmerman et al. 1995).
5)      Differences between ecological and geographic space were identified. After the hurricane, a dramatic geographic restructuring of environmental gradients was observed, resulting from the opening of the forest canopy. Animal populations then shifted in space location in response to changes in environmental conditions (Waide 1991,Willig and Camilo 1991).

Turner et al (2003) juga mencontohkan dalam artikelnya tentang pengaruh disturban yang dilakukan manusia dengan memasukkan ikan invasive ke dalam ekosistem danau menghasilkan perubahan yang sangat siginifikan, yaitu hilangnya spesies-spesies asli ikan setempat setelah beberapa tahun (Gambar 3).
IMPLICATIONS FOR FOREST MANAGEMENT

Setiap konsep pengelolaan hutan terkait dengan tipe-tipe tertentu dari dinamika ekosistem, sampai pada perhitungan advantages and disadvantages. Di dalam prakteknya disadvantages sering tidak lengkap dikaji dan dianalisis, sehingga kadang-kadang tidak disadari terjadi permasalahan yang tidak diduga sebelumnya terutama terkait dengan kesehatan hutan dan produktivitasnya.  Sustainable forest management dapat berhasil apabila kondisi-kondisi local suatu ekosistem benar-benar mendukung dan dipertimbangkan dalam pengelolaan hutan.

Bengtsson (2000) menjelaskan bahwa meskipun suatu cagar alam (hutan konservasi), system perlu dikelola untuk kelestarian pada tingkat lanskap, pencagaran secara tersendiri pada satu kawasan konservasi tidak akan mampu melindungi biodiversity dan dinamika hutan.  System tetap harus dikelola berdasarkan produksi dan biodiversity, meskipun dengan menggunakan system pencagaran.  Tidak menutup kemungkinan terdapat area-area di sekitarnya yang dikelola secara intensif untuk produksi yang dapat mengganggu stabilitas kawasan cagar alam.  Pengelolaan pada tingkat lanskap sangat penting untuk menilai ketersambungan suatu ekosistem bagi kehidupan organism di sekitar kawasan, termasuk mencegah masuknya spesies-spesies eksotik yang invasive, pengembangan jenis-jenis tanaman pemecah angin, dan sebagainya.
Fuhrer (2000) memberikan pertimbangan dalam membuat keputusan pengelolaan membutuhkan pengetahuan secara detil tentang situasi local/setempat terutama pengetahuan mengenai keanekaragaman dari komponen-komponen ekosistem.  Penetapan pengelolaan hutan harus secara jelas menjabarkan tujuan yang ingin dicapai dan metode yang digunakan sesuai dengan fungsi ekosistem.
Kesesuaian metode pengelolaan didasarkan pada proses-proses yang bekerja pada ekosistem, sedangkan tujuan pengelolaan adalah untuk pengembangan ekosistem dengan tetap mempertahankan natural self-regulation.  Perkembangan secara alami ekosisten hutan merupakan subjek untuk mengelola disturban baik ekternal maupun internal dari waktu ke waktu, sehingga diketahui perubahan yang terjadi baik factor-faktor abiotik maupun biotic. 
An essential objective of forest management is to prevent undesirable ecosystem dynamics such that the system is kept stable or more or less subject to a prescribed developmental rhythm. Forest management is, therefore, also a fight not only against uncontrolled ecosystem perturbation but also against seemingly minor disturbances which cannot not be easily compensated in less stable ecosystems and thus could incite the destruction of the whole system.

 URGENSI PENELITIAN

Penelitian-penelitian lebih lanjut sangat diperlukan untuk dapat menjawab beberapa pertanyaan kunci sebagai berikut (Bengtsson, 2000) :
1)      Bagaimana jenis-jenis dapat bertahan dan beradaptasi terhadap disturban alami pada wilayah yang berbeda dan tipe hutan yang berbeda.
2)      Bagaimana menghasilkan praktek-praktek pengelolaan hutan yang inovatif dapat mengambil cara-cara regim disturban alami ?
3)      Bagaimana keanekaragaman hayati hutan berpengaruh terhadap fungsi ekosistem dan stabilitas, terutama terkait dengan persoalan global seperti perubahan iklim global ?
4)      Bagaimana hubungan antara proses-proses ekologi pada berbagai tingkat dan skala dengan keanekaragaman hayati, dan bagaimana membuat suatu bentuk pengelolaan hutan yang berbeda memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman hayati ?
5)      What is the role of humans and human behaviour for sustainable management of ecosystems?

PUSTAKA
Budiharta, S.  2010.  Floristic composition at biodiversity protection area in Lubuk Kakap, District of Ketapang, West Kalimantan.  Biodiversitas Volume 11, Number 3, July 2010. Pages: 151-156

Fuhrer, E.  2000.  Forest functions, ecosystem stability and management.  Forest Ecology and Management 132 (2000) 29±38

Quine, C.P, Jonathan W. Humphrey, Karen Purdy and Duncan Ray.  2002.  An Approach to Predicting the Potential Forest Composition and Disturbance Regime for a Highly Modified Landscape: a Pilot Study of Strathdon in the Scottish Highlands.  Silva Fennica 36(1) research articles 22 January 2002.

Monica G. Turner, Scott L. Collins, Ariel L. Lugo, John J. Magnuson, T. Scott Rupp, And Frederick J. Swanson.  2003.  Disturbance Dynamics and Ecological Response: The Contribution of Long-Term Ecological Research.  BioScience  January 2003 / Vol. 53 No. 1.

Jentsch, A, Carl Beierkuhnlein and Peter S. White.  2002.  Scale the Dynamic Stability of Forest Ecosystems, and the Persistence of Biodiversity.  Silva Fennica 36(1) discussion papers 20 March 2002.

Bengtsson, J, Sven G. Nilssonb, Alain Francc, Paolo Menozzid.  2000.   Biodiversity, disturbances, ecosystem function and management of European forests.    Forest Ecology and Management 132 (2000) 39±50.

Stanturf, J. A. 2004. Disturbance dynamics of forested ecosystems. – Transactions of the Faculty of Forestry, Estonian Agricultural University, 37, 7–12.

Rabu, 06 April 2011

Disturbance Dynamics (Dinamika Gangguan Hutan)


REVIEW ARTIKEL :
Oleh : Ichsan Suwandhi/E 461100021

DISTURBANCE DYNAMICS OF FORESTED ECOSYSTEMS
John A. Stanturf[1]


RINGKASAN
Disturbance atau disebut dengan istilah gangguan/tekanan, pada dasarnya merupakan bagian dari dinamika ekosistem hutan tropika baik yang bersifat tekanan alami maupun tekanan manusia.  Dalam konteks ini degradasi berbeda dengan disturban, dinamika disturbansi cenderung selalu terjadi di dalam suatu eosistem hutan yang berdampak terhadap perubahan struktur, komposisi dan proses-proses ekologi yang berlangsung, tetapi perubahan itu direspon oleh hutan melalui kemampuan untuk memulihkan diri (resiliensi).  Disturbansi dapat menjadi degradasi apabila  mekanisme resiliensi alami tidak mampu lagi mengatasi tekanan atau gangguan, dengan kata lain gangguan yang timbul telah melebihi kemampuan hutan untuk memulihkan dirinya.
Secara alami hutan memiliki kemampuan memulihkan diri akibat adanya tekanan atau gangguan, dengan kemampuan ini hutan selalu dapat menyusun kembali struktur dan komposisi jenis-jenisnya agar proses-proses ekologi dapat berjalan dengan normal.  Paradigma baru pengelolaan hutan saat ini dan masa datang adalah memadukan dinamika disturbansi ke dalam pengelolaan hutan.  Pemahaman mengenai dinamika disturbansi pada setiap tipe ekosistem hutan akan sangat penting dalam menentukan system pengelolaan hutan yang harus diterapkan

THE IMPORTANCE OF DISTURBANCE DYNAMICS
Paradigma pengelolaan hutan saat ini adalah mengelola secara lestari tidak hanya sekedar kelestarian hasil, tetapi meliputi kekayaan untuk seluruh generasi, nilai-nilai budaya yang didalamnya mencakup keanekaragaman hayati dan produktivitas jangka panjang. Selama hutan tumbuh dan berkembang akan selalu diiringi dengan disturban/gangguan baik secara alami maupun yang disebabkan oleh aktivitas manusia (Stanturf, 2003). 
Disturban ini secara langsung akan berpengaruh terhadap struktur hutan, komposisi jenis dan proses-proses ekologi, yang lebih lanjut berdampak terhadap produktivitas, keanekaragaman hayati dan provisi produk dan jasa lingkungan. Namun demikian, hutan atau ekosistem alami lainnya pada dasarnya memiliki cara-cara yang berbeda dalam merespon disturban.  Berbagai pengalaman penelitian membuktikan  bahwa disturban merupakan campuran dari berbagai faktor penyebab yang akhirnya memperngaruhi kondisi struktur komposisi dan proses ekologi dalam ekosistem hutan.  Kesalahan pengelolaan sebelumnya lebih menekankan pada upaya-upaya memperbaiki kerusakan oleh satu penyebab utama, misalnya kerusakan akibat letusan gunung berapi, kebakaran liar dan sebagainya tanpa memahami karakteristik gangguan secara keseluruhan.   Sebagai contoh nyata adalah perubahan iklim, berdampak pada fluktuasi suhu yang tidak menentu, kekeringan, menurunnya kualitas tapak, yang semuanya menjadi bentuk-bentuk gangguan yang secara kompleks merubah struktur dan fungsi ekosistem hutan. Recovery atau intervensi yang dilakukan pengelola umumnya menjadi tidak efektif dan kerusakan hutan dapat menjadi lebih besar di kemudian hari, kecuali intervensi tersebut dilakukan dengan memahami betul-betul dinamika disturban atau gangguan terhadap hutan.

DISTURBAN DYNAMICS OF FOREST ECOSYSTEM
Paradigma lama (klasik) mendefinisikan disturban adalah suatu kejadian yang mendadak mengganggu atau merusak ekosistem, komunitas atau struktur populasi dan merubah sumberdaya, ketersediaan substrat atau lingkungan fisik.  Beberapa literature cenderung membingungkan dalam membedakan agen penyebab gangguan dengan gangguan lebih lanjut yang disebabkan oleh agen.
Berdasarkan perkembangan riset-riset saat ini telah membagi agen-agen penyebab disturban menjadi “small frequent disturbance” (SFD) untuk gangguan-gangguan yang rutin tetapi dengan skala kecil, dan “large infrequent disturbance” (LID) yang merupakan gangguan dengan skala besar yang sekali-sekali dapat terjadi, contohnya kebakaran liar, angin topan dan banjir.  Masing-masing hutan di suatu wilayah dengan tipe tertentu memiliki respon yang bervariasi terhadap SFD maupun LID dalam hal ketahanan, inetnsitas dan lama waktu yang diperlukan untuk memulihkan diri.
Suatu contoh disturban baru yaitu tingginya pencemaran udara oleh emisi akibat kebakaran; besarnya intensitas perubahan meteorologis akibat badai hurricane; menumpuknya bahan bakar akibat sisa pembakaran oleh api pada kebakaran bawah, permukaan dan tajuk.  Semua disturban ini tentunya memiliki dampak yang sangat serius terhadap ekosistem hutan.
Dinamika disturban dapat diketahui melalui tiga faktor berdasarkan penyebabnya, yaitu disturban abiotik, disturban geologis dan disturban biotik, yang diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
-          Disturban abiotik : sebagian besar disebabkan oleh faktor-faktor iklim, antara lain : badai topan (downbuster, tornadoes, hurricane dan typhoon); badai salju; drought; dan kebakaran.  Contoh hasil-hasil studi tentang disturban abiotik yang telah dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut :
o    Windstorms, including downbursts and tornadoes (Peterson, 2000), and their effects are well-studied and often incorporated into forest management prescriptions.
o    Hurricanes and typhoons have been similarly studied, although to a lesser extent due to their lesser frequency (Boose et al., 1994).
o    Ice storms can have devastating effects on forests, although the affected area may be small relative to other infrequent events such as hurricanes (Smith, 2000).
o    Climatic events such as drought may be diffuse, lasting several years to a decade or more. Drought is usually a recurring stress, such as late summer drought in forests that depend on moisture stored in the soil from winter precipitation. Periodic acute droughts predispose individual larger trees to insects and disease but may kill smaller trees. Climate change scenarios posit that forests in some areas that are not well adapted to drought conditions will be impacted by higher temperatures, lower or more variable rainfall, or both (Dale et al., 2001).

Faktor-faktor klimatis dan cuaca yang sangat mendukung terjadinya disturban terhadap ekosistem hutan (penurunan produktivitas dan komposisi sepesies) antara lain: intensitas cahaya, curah hujan, kelembaban relative, suhu dan kecepatan angin.

-          Disturban geologis : mencakup kejadian-kejadian yang melibatkan aktivitas geologis seperti letusan gunung berapi, banjir, dan hilangnya massa hutan berupa landslide, longsoran bongkahan salju, hilangnya biomassa lantai hutan, dan erosi tanah, serta deposisi.  Hutan-hutan pantai misalnya, merupakan subjek disturban dari proses-proses alami pantai seperti abrasi/subsidensi, berpindahnya bukit pasir, dan mass wasting.  Hutan-hutan riparian memiliki dinamika lingkungan yang tinggi, seperti banjir besar, innudasi, perubahan geomorfologi seperti pelebaran dan pendangkalan, sampai berubahnya ekosistem danau.
-          Disturban biotik : penyebab (agen) disturban biotik atau biologis antara lain adalah serangga hama dan penyakit, tumbuh-tumbuhan invasif, dan mamalia herbivor.  Pada dasarnya secara ekologis agen-agen ini tidak dapat disebut sebagai agen disturban, tetapi secara praktis akan menjadi disturban pada saat mereka menyebabkan perubahan yang ekstrim terhadap ekosistem, sedangkan mamalia herbivor menjadi disturban apabila ada peran dari aktivitas manusia misalnya kegiatan penggembalaan atau perburuan. 
Disturban sebagai agen penyebab memiliki dimensi temporal dan spasial yang dapat diketahui dengan melihat tiga aspek, yaitu :
1)      Intensitas, yaitu tingkat kekuatan siturban (besar atau kecil).
2)      Skala, terkait dengan luasan area yang terkena dampak atau seberapa besar areal terbuka akibat suatu agen disturban tertentu (luas atau sempit).
3)      Frekuensi, menayatakan jumlah kejadian disturban dalam suatu unit waktu (berapa kali dalam sebulan, setahun, dsb)
Disturban-disturban dalam suatu ekosistem hutan umumnya mengakibatkan terbentukanya ruang-ruang (patches) menjadi terbuka, dalam konteks ekologi sering disebut dengan gap terutama disebabkan oleh tumbangnya pohon besar sehingga terbentuk celah yang menerima cahaya matahari langsung, kondisi demikian biasanya langsung direspon oleh hutan untuk mengisi ruang-ruang kosong ini dengan regenerasi.  Kondisi inilah yang sering digunakan untuk menentukan regime-regime yang sesuai dengan tipe disturban yang terjadi, yaitu sampai pada tingkat kemampuan mana patch-patch dapat kembali tertutup.  Hal tersebut dipertegas oleh Pickett and White (1985) dan Oliver & O’Hara (2004), the dynamics of the created patches have also been studied, although not as extensively as patch creation. Factors contributing to patch dynamics include disturbance regime, whether and how quickly patches expand or close, and the landscape context of patches (relationship one to another and to the undisturbed matrix, flows of organisms, materials, and energy among patches). The fate of disturbed patches in forested ecosystems is best understood in terms of stand dynamics, as long as the patches are large enough that most trees beginning growth within the patch are not competing with surrounding trees.

MENEMPATKAN DISTURBAN SEBAGAI BAGIAN DARI PENGELOLAAN HUTAN
Disturban pada umumnya jarang sekali dapat dihindari, walaupaun dampak-dampaknya dapat dihindari atau dikurangi dengan menggunakan manajemen yang efektif.  Suatu strategi pengelolaan yang adaptif terhadap disturban, perlu menggunakan 4 konsep manajemen sebagai berikut (Dale et al., 1998; Beatty and Owen, 2004):
1)  manage the initial conditions of the system, prior to disturbance, yaitu mengelola kondisi-kondisi awal suatu system yang diprioritaskan terhadap disturban, maka dalam hal ini perlu dilakukan identifikasi tipe-tipe disturban secara detail, mencakup prediksi intensitas, skala dan frekuensinya, sehingga dapat dilakukan antisipasi pengelolaan yang tepat dengan treatmen-treatmen yang efektif. The greatest value will come from managing the system before the event and conditioning it to avoid threshold events. Most of our experience, particularly with large infrequent disturbances, is in managing (or frequently mismanaging) the recovery (Stanturf, 2004).
2)  manage the disturbance event;  yaitu memanage suatu sistem selama kejadian disturban berlangsung dengan tindakan-tindakan yang sesuai
3)  manage the system after the disturbance; yaitu melakukan tindakan-tindakan secara cepat untuk memantau dampak-dampak yang terjadi setelah disturban.
4)  manage the recovery process; yaitu memanage proses-proses recovery suatu hutan dengan memperhatikan kemampuan untuk memulihkan diri berdasarkan adaptabilitas dan resiliensinya, bila diperlukan disertai dengan treatmen-treatmen tertentu untuk  mempercepat proses recovery.


Kondisi-kondisi awal komposisi sepesies dan struktur tegakan sampai perkembangan lebih lanjut dari respon alami hutan untuk memulihkan diri dari disturban perlu diketahui sejak dini.  Stabilitas, resiliensi dan resistensi suatu tegakan dalam masa recovery terhadap disturban adalah hasil dari system ini sehingga dapat diketahu intensitas dan durasinya.  Beberapa contoh pengkondisian awal tegakan hutan dalam kaitannya dengan tekanan suatu disturban disajikan sebagai berikut :
-          A current example of managing initial conditions is occurring in all fire-prone forested ecosystems in the United States. Years of fire suppression and attempted fire exclusion have altered fuel loads in many forests so as to alter the fire regime. In some cases this has meant changing from a relatively benign ground fire regime to a stand replacement fire regime. Simply allowing fire, whether wildfire or prescribed burning, back into the stands is not feasible due to the altered fuel loads, especially the live fuels of dense understory trees. Nevertheless, altering initial stand conditions will perhaps mitigate the effects of wildfire disturbances in the future.
-          Another example of altering initial conditions is the effort in some Western European countries to convert Norway spruce plantations to other species, in hope that the resulting stands will be more stable in the face of windstorms (Hahn et al., 2004).
Pada dasarnya disturban dapat dikelola tanpa melakukan alternatif-alternatif intervensi , termasuk  mencegah disturban atau memanipulasi dampak dan pengaruhnya, bahkan kadang-kadang hal ini menjadi pilihan yang paling tepat, seperti letusan gunung berapi atau kebakaran.  Disisi yang lain, pencegahan  terhadap terjadinya disturban juga layak dilakukan sepanjang biaya yang dikeluarkan lebih efisien dibandingkan dengan mengelola dampak disturbannya.  Beberapa tipe disturban seperti banjir dan longsor memang membutuhkan pencegahan secara efektif dengan engineering (rekayasa), hukum dan perundangan juga diperlukan untuk mencegah dan melindungi beberapa spesies dan habitat yang terancam. 
Manajemen disturban dengan cara manipulasi dampak adalah penting sebagai bagian dari proses pemulihan terutama untuk disturban yang disebabkan oleh aktivitas manusia, karena kondisi dampak tertentu akan sulit bila hanya mengandalkan kemampuan pemulihan secara alami.  Sebagai contoh tindakan secara mekanis untuk meminimalkan bahan bakar pada masa jeda pertumbuhan. 
Selanjutnya manajemen sesudah disturban dan selama proses recovery merupakan satu kesatuan proses, mencakup manajemen jangka pendek dan jangka panjang.  Manajemen jangka pendek terkait dengan tindakan-tindakan segera setelah disturban skala besar terjadi terutama dari segi kebijakan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat serta pembenahan infrastruktur.  Selanjutnya manajemen jangka panjang akan terkait dengan masa recovery hutan dengan memantau prosesnya tanpa melakukan tindakan-tindakan yang justru menghambat. 
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam manajemen disturban ini adalah :
1)      what should be left in a disturbed area,
2)      what should be removed,
3)      what should be excluded, and
4)      what should be added.

PENUTUP (Tanggapan Reviewer)
Berdasarkan uraian yang disampaikan Stanturf di atas, dapat ditarik suatu benang merah dalam rangka mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari diperlukan pemahaman yang tepat terhadap disturban, karena disturban ini memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan struktur, komposisi dan fungsi-fungsi ekologis hutan.
Sistem pengelolaan yang tepat adalah memasukkan dinamika disturban dalam system silvikulktur yang akan diterapkan.  Mengingat dinamika disturban sangat bervariasi baik pada skala dan intensitas, maupun lokasi dan wilayahnya.  Berdasarkan hal tersebut penerapan sistem silvikultur yang adapatif terhadap dinamika disturban akan menghasilkan pengelolaan hutan yang baik.
Pertanyaan kunci dari hasil tulisan ini adalah :
1.    Apakah system silvikultur yang diterapkan di Indonesia sudah mempertimbangkan dinamika disturban ?
2.    Bagaimana cara memadukan disturban dalam suatu system silvikultur ?
3.    Bagaimana cara mengimplementasikan system silvikultur tersebut secara kongkrit?

PUSTAKA
Beatty, S. W. and Owen, B. S. 2004. Incorporating disturbance into forest restoration. Chapter 4 in Stanturf, J.A. and P. Madsen, eds. Restoration of Boreal and Temperate Forests. CRC Press, Boca Raton, FL. (in press).

Boose, E. R., Foster, D. R., and Fluet, M. 1994. Hurricane impacts to tropical and temperate forest landscapes. Ecological Monographs 64(4), 369–400.

Covington, W.W. and Moore, M.M. 1994. Southwestern ponderosa forest structure and resource conditions: changes since Euro-American settlement. Journal of Forestry 92, 39.

Dale, V. H., Joyce, L. A., McNulty, S., Neilson, R. P., Ayres, M. P., Flannigan, M. D., Hanson, P. J., Irland, L. C., Lugo, A. E., Peterson, C. J., Simberloff, D., Swanson, F. J., Stocks, B. J., and Wotton, M. 2001. Climate change and forest disturbances. BioScience 51(9), 723–734.

Drouineau, S., Laroussinie, O., Birot, Y., Terrasson, D., Formery, T., and Roman-Amat, B. 2000. Joint evaluation of storms, forest vulnerability and their restoration. European Forestry Institute Discussion Paper 9, Joensuu, Finland.

FAO. 2002. Food and Agriculture Organization (FAO), Proceedings expert meeting on harmonizing forest-related definitions for use by various stakeholders, Rome, 22–25 January 2002, FAO, Rome.

Goudie, A., The Human Impact on the Natural Environment, MIT Press, Cambridge, MA, 1986.

Hahn, K., Emborg, J., Larsen, J.B., and Madsen, P. Forest rehabilitation in Denmark using nature-based forestry. Chapter 19 in Stanturf, J.A. and P. Madsen, eds. Restoration of Boreal and Temperate Forests. CRC Press, Boca Raton, FL. (in press).

Naiman, R. J., Melillo, J. M., and Hobbie, J. E. 1986. Ecosystem alteration of boreal forest streams by beaver (Castor canadensis). Ecology 67(5), 1254–1269.

Oliver, C. D. 1980. Forest development in North America following major disturbances. Forest Ecology and Management 3, 153–168.

Oliver, C. D. and O’Hara, K. L. 2004. Effects of restoration at the stand level. Chapter 3 in Stanturf, J. A. and P. Madsen, eds. Restoration of Boreal and Temperate Forests. CRC Press, Boca Raton, FL. (in press).

Paine, R. T., Tegner, M. J., Johnson, E. A. 1998. Compounded perturbations yield ecological surprises. Ecosystems 1(6), 535–545.

Peterson, C. J. 2000. Catastrophic wind damage to North American forests and the potential impact of climate change. The Science of the Total Environment 262, 287–311.

Pickett, S. T. A and White, P.S. 1985. Patch dynamics: A synthesis. Chapter 21 in Pickett, S.T.A and White, P.S., eds. The Ecology of Natural Disturbance and Patch Dynamics. Academic Press, New York.

Romme, W. H., Everham, E. H., Frelich, L. E., Moritz, M. A., and Parks, R. E. 1998. Are large, infrequent disturbances qualitatively different from small, infrequent disturbances? Ecosystems 1(6), 524–534.

Smith, W. H. 2000. Ice and forest health. Northern Journal of Applied Forestry 17(1), 16–19.
Sousa, W. P. 1984. The role of disturbance in natural communities. Annual Revue of Ecology and Systematics 15, 353–391.

Stanturf, J. A., Kellison, R. L., Broerman, F. S., and Jones, S. B. 2003. Productivity of southern pine plantations: Where are we and how did we get here? Journal of Forestry 101(3), 26–31.

Stanturf, J. A. 2004. What Is Forest Restoration? Chapter 1 in Stanturf, J. A. and P. Madsen, eds. Restoration of Boreal and Temperate Forests. CRC Press, Boca Raton, FL. (in press).


[1] Stanturf, J. A. 2004. Disturbance dynamics of forested ecosystems. – Transactions of the Faculty of Forestry, Estonian Agricultural University, 37, 7–12.
Author’s address: USDA Forest Service, Stoneville, MS USA, US Forest Service, 320 Green Street, Athens, GA 30602 USA; tel. 001-706-559-4316; E-mail: jstanturf@fs.fed.us.