secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Selasa, 16 Februari 2016

PENGELOLAAN HUTAN SKALA TAPAK : menjawab kesenjangan pengelolaan hutan

Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam dan menjadi penyangga kehidupan yang keberadaannya tidak tergantikan, sehingga setiap upaya untuk pemanfaatan hutan harus berlandaskan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable) dan berkebelanjutan dalam rangka menjamin eksistensi/keberadaan hutan yang lestari. Oleh karena itu dibutuhkan suatu penyelenggaraan pengelolaan hutan di tingkat tapak, melalui pembentukan unit Pengelolaan Hutan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Pasal 12 Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat provinsi, kabupaten/kota serta pada tingkat unit pengelolaan. Yang dimaksud dengan unit pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, yang kemudian disebut KPH, antara lain dapat berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK).
KPH menjadi pusat informasi mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai ijin dan/atau dikelola sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang direncanakan dan dijalankan sendiri. Apabila peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari.
Tata kelola hutan lestari tidak dapat dilepaskan dari unsur pengelola.  Hutan yang hanya diorentasikan kepada pemanfaatan hutan melalui pemberian izin semata dengan cara membagi-bagi seluruh kawasan hutan produksi. Tata kelola harus dilihat dari proses keserasian antara pengukuhan dan penetapan kawasan hutan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), sehingga pengelolaan hutan dilihat sebagai sebuah “landscape” ekonomi, politik, sosial dan tata ruang yang utuh.
Analisis BAPPENAS di tahun 2010 terkait permasalahan mendasar pada sektor kehutanan Indonesia menunjukan bahwa tata kelola yang buruk, ketidakjelasan hak tenurial, serta lemahnya kapasitas dalam manajemen hutan (termasuk penegakan hukum) menjadi permasalahan mendasar pengelolaan hutan di Indonesia.
Sesuai dengan Rencana strategi Kemenhut 2010-2014 maka terdapat prioritas untuk menyelamatkan hutan yaitu: (1) Pemantapan kawasan hutan yang berbasis pengelolaan hutan lestari, (2) Rehabilitasi hutan dan peningkatan daya dukung DAS, (3) Perlindungan dan pengamanan hutan, (4) Konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, (5) Revitalisasi hutan dan produk kehutanan, (6) Pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, (7) Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim sektor kehutanan, dan (8) Penguatan kelembagaan kehutanan
Sistem pengelolaan yang dirasa tidak efektif mendorong terjadinya tingkat deforestasi yang tinggi mendorong lahirnya sistem pengelolaan unit terkecil di tingkat tapak yang diamanatkan oleh UU nomor 41/1999 pasal 10, 12, dan 17 ayat (1) yang sekarang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).  Konsep dasar dari KPH adalah menggeser peran birokrat kehutanan dari peran administratur (Forest Administrator) menjadi peran manajerial (Forest Manager) sehingga diharapkan meningkatkan transparansi dan akuntabilitas tatakelola hutan (Kartodihardjo dan Suwarno 2014). Konsep KPH, diharapkan menjadi dasar agar terlaksananya sistem pengelolaan hutan yang lestari dan berkeadilan.
Pembentukan KPH juga diharapkan mampu dijadikan sebagai peluang bagi resolusi konflik yang selama ini cenderung mengedepankan kepentingan pemodal besar dan mengabaikan akses masyarakat (Srijono dan Djajono 2010; Syukur 2012). Dalam konteks ini KPH diharapkan berperan dalam konteks perbaikan tata kelola hutan yang menjamin kepastian usaha dan juga keadilan bagi masyarakat adat/lokal.
Berdasarkan Permenhut P.6/2010 tentang Norma, Standard, Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL (lindung) dan KPHP (produksi), maka fungsi kerja KPH dalam kaitannya dengan tatakelola hutan di tingkat tapak adalah: (1) Melaksanakan penataan hutan dan tatabatas di wilayah KPH, (2) Menyusun rencana pengelolaan hutan di tingkat wilayah KPH, termasuk rencana pengembangan organisasi KPH, (3) Melaksanakan pembinaan, monitoring dan evaluasi kerja pengelolaan hutan yang dilaksanakan oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan, (4) Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi hutan, (5) Melaksanakan perlindungan hutan dan konservasi alam, (6) Melaksanakan pengelolaan hutan bagi KPH yang menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU), (7) Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi inovasi dan operasi pengelolaan hutan, (8) Menegakkan hukum kehutanan, termasuk perlindungan dan pengamanan kawasan, (9) Mengembangkan investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari.

Perkembangan KPH

Konsep KPH merupakan sebuah arah proses desentralisasi dan pendelegasian wewenang yang ditandai dengan pembagian yang jelas antara fungsi kewenangan urusan pemerintahan dan kegiatan operasional pengelolaan hutan (Krezdorn, 2011). Pada akhir tahun 2010 telah terdapat 12 KPH.   Pada akhir 2014 Kementerian Kehutanan harus dapat mewujudkan target beroperasinya 120 KPH.
Dalam perkembangannya, KPH mengalami banyak tantangan terutama dari daerah akibat desentralisasi otonomi daerah. Dalam skema pembangunan daerah, pembangunan kehutanan dikategorikan sebagai program pilihan lain dan bukan sebagai program pilihan utama, sehingga tidak mengharuskan daerah untuk menjadikan pembangunan KPH menjadi prioritas utama. Kurangnya dukungan dan adanya keragu-raguan daerah terhadap pembangunan KPH ini mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan pembangunan KPH. Selain itu, pembangunan KPH juga masih memerlukan reforma regulasi yang didukung oleh berbagai lapisan kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak ketiga maupun masyarakat adat/lokal.
Meskipun demikian, saat ini KPH telah diposisikan sebagai salah satu strategi untuk menyelamatkan hutan, berdasarkan pasal 28 ayat (2) Peraturan Pemerintah nomor 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan. Selain PP, Strategi Nasional (Stranas) REDD+ juga mengamanatkan untuk segera memfungsikan keberadaan KPH sesuai Keputusan Ketua Satgas REDD+ nomor 2/2012.

 Sistem KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan)

Sistem pengelolaan hutan berbasis KPH merupakan arahan yang diberikan oleh pemerintah pusat (Kementerian LHK) kepada pemerintah daerah untuk mengelola kawasan hutan negara sesuai dengan karakteristik setempat.  Arahan tersebut telah dituangkan pada rencana kehutanan tingkat nasional (RKTN) yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam rencana kehutanan tingkat provinsi (RKTP), sehingga terbentuklah KPH-KPH di setiap daerah.  Kawasan hutan yang didalamnya didominasi oleh hutan produksi (> 50%) menjadi KPHP dan apabila didominasi oleh hutan lindung (HL) menjadi KPHL, sedangkan hutan konservasi secara otomatis menjadi KPHK.  Baik KPHP maupun KPHL masing-masing memiliki arahan yang disesuaikan dengan fungsi pokok hutan yang dimiliki.
Tahap selanjutnya dari arahan di atas adalah membentuk organisasi kelembagaan KPH yang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat (provinsi atau kabupaten).  Selain pembentukan organisasi kelembagaan, tahap berikutnya adalah melakukan penataan hutan berdasarkan karakteristik wilayah setempat meliputi biogeofisik dan social ekonomi budaya.   Pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan pada KPHPl dan KPHL berazaskan keterbukaan dan pelibatan para pihak, sedangkan prinsip-prinsip yang digunakan meliputi bertanggung gugat; transparan; partisipatif; terpadu; aspiratif; berkeadilan; berkesinambungan dan berkelanjutan.  Tata hutan di KPHL dan KPHP meliputi kegiatan: a. Inventarisasi hutan; b. Pembagian blok dan petak; c. Tata batas dalam wilayah KPHL dan KPHP berupa penataan batas blok dan petak; dan d. Pemetaan.  Output dari kegiatan penataan hutan  ini berupa pembagian kawasan menjadi blok-blok sesuai fungsi dan peruntukannya.  Di dalam blok-blok tersebut terdapat arahan-arahan pengelolaan yang sesuai.
Pelaksanaan inventarisasi hutan diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi tentang: 1. Status, penggunaan, dan penutupan lahan; 2. Jenis tanah, kelerengan lapangan/ topografi; 3. Iklim; 4. Hidrologi (tata air), bentang alam dan gejala-gejala alam; 5. Kondisi sumber daya manusia dan demografi; 6. Jenis, potensi dan sebaran flora; 7. Jenis, populasi dan habitat fauna; dan 8. Kondisi sosial, ekonomi, budaya masyarakat.  Kegiatan inventarisasi hutan terdiri atas inventarisasi biogeofisifisik dan inventarisasi sosial, ekonomi, dan budaya.  Output dari kegiatan inventarisasi hutan adalah peta, data dan informasi potensi wilayah KPHL dan KPHP.
Hasil dari inventarisasi hutan menjadi dasar untuk kegiatan tahap berikutnya, yaitu pembagian blok.  Pembagian blok ini harus memperhatikan: karakteristik biofisik lapangan; kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar; potensi sumberdaya alam; dan keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.  Pembagian blok juga harus mempertimbangkan peta arahan pemanfaatan sebagaimana diarahkan oleh Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN)/Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi (RKTP)/Rencana Kehutanan Tingkat Kabupaten/Kota (RKTK), dan fungsi kawasan hutan di wilayah KPHL dan KPHP yang bersangkutan.  Pembagian blok dilakukan pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi Hutan Lindung (HL) dan wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi Hutan Produksi (HP).
Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HL terdiri atas satu Blok atau lebih, sebagai berikut:
a. Blok Inti;
b. Blok Pemanfaatan;
c. Blok Khusus.
Pembagian Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi HP terdiri atas satu blok atau lebih, sebagai berikut:
a. Blok Perlindungan;
b. Blok Pemanfaatan kawasan, Jasa Lingkungan, HHBK;
c. Blok Pemanfaatan HHK-HA;
d. Blok Pemanfaatan HHK-HT;
e. Blok Pemberdayaan Masyarakat;
f. Blok Khusus.
Dengan memperhatikan rancangan pembagian blok dan keterkaitannya dengan arahan pemanfaatan kawasan hutan menurut RKTN/RKTP/RKTK, maka deskripsi dari masing-masing blok diuraikan sebagai berikut:
1.      Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi sebagai HL:
a.       Blok Inti merupakan Blok yang difungsikan sebagai perlindungan tata air dan perlindungan lainnya serta sulit untuk dimanfaatkan. Kriteria Blok ini antara lain: 1) kurang memiliki potensi jasa lingkungan, wisata alam, potensi hasil hutan non kayu; dan 2) dalam RKTN/RKTP/RKTK termasuk dalam Kawasan untuk perlindungan hutan alam dan lahan gambut atau untuk kawasan rehabilitasi.
b.      Blok Pemanfaatan merupakan blok  yang difungsikan sebagai areal yang direncanakan untuk pemanfaatan terbatas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan yang berfungsi HL.  Kriteria Blok ini antara lain: 1) mempunyai potensi jasa lingkungan, wisata alam, potensi hasil hutan non kayu; 2) terdapat ijin pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, hasil hutan non kayu; 3) arealnya dekat masyarakat sekitar atau dalam kawasan hutan; 4) mempunyai aksesibilitas yang tinggi; dan 5) dalam RKTN/RKTP/RKTK dimungkinkan masuk dalam kawasan untuk perlindungan hutan alam dan lahan gambut atau untuk kawasan rehabilitasi.
c.       Blok Khusus merupakan Blok yang difungsikan sebagai areal untuk menampung kepentingan-kepentingan khusus yang ada di wilayah KPHL dan KPHP yang bersangkutan Kriteria Blok ini antara lain: 1) terdapat pemakaian wilayah kawasan hutan untuk kepentingan antara lain: religi, kebun raya, kawasan dengan tujuan khusus (KHDTK), wilayah adat/ulayat; dan 2) dalam RKTN/RKTP/RKTK  dimungkinkan masuk dalam kawasan untuk perlindungan hutan alam dan lahan gambut atau untuk kawasan rehabilitasi.

2.      Blok pada wilayah KPHL dan KPHP yang kawasan hutannya berfungsi sebagai HP lebih ditekankan untuk pemanfaatan hasil hutan dan jasa ekosistem serta pemberdayaan masyarakat.  Pada kawasan HP ini juga terdapat blok untuk perlindungan terutama terhadap areal-areal yang masuk dalam kriteria kawasan lindung (sempadan sungai/pantai/mata air, lahan gambut dengan kedalaman > 3 m, kelerengan > 40% dan dataran tinggi > 2000 mdpl).
Hasil inventarisasi hutan dan pembagian blok ini kemudian dituangkan dalam rencana pengelolaan jangka panjang dan jangka pendek yang digunakan sebagai pedoman pengelolaan oleh lembaga KPH.  Dengan demikian system KPH ini akan mampu menyerap dan memanfaatkan sumberdaya local secara efektif, sehingga diharapkan mampu menjamin kelestarian.

Jatinangor, Februari 2016

Dr. Ichsan Suwandhi
Dosen Program Studi Rekayasa Kehutanan
SITH ITB

MENGENAL SISTEM SERTIFIKASI PENGELOLAAN HUTAN LESTARI DI INDONESIA

Untuk mengukur kinerja PHPL diperlukan standar dan pedoman penilaian. Standar dan pedoman penilaian ini selanjutnya digunakan untuk proses penilaian kinerja PHPL oleh lembaga penilai (assessor) yang independen. Proses penilaian tersebut lebih dikenal sebagai proses sertifikasi dimana unit pengelola hutan yang lulus proses penilaian akan mendapat sertifikat sebagai bukti pengakuan telah melakukan PHPL.
Pentingnya sertifikasi PHPL bagi pemegang ijin usaha kehutanan didasarkan pada hal-hal sebagai berikut:
1.      Pemerintah mensyaratkan unit pengelola hutan & industrinya memenuhi minimum requirement standard PHL.
2.      Pasar internasional Green Buyers mensyaratkan produk kehutanan yang ramah sosial dan lingkungan
3.      Tekanan lembaga keuangan terhadap para investor untuk membangun Green-Image
4.      Jaminan pasar bagi produsen produk kehutanan ramah sosial dan lingkungan
5.      Mengurangi resiko dampak sosial dan lingkungan dalam jangka panjang

6.      Memperbaiki dan meningkatkan kinerja unit pengelola

2.1.1.      Program Sertifikasi PHPL Mandatory (Kementerian LH & Kehutanan)

Berbeda dengan Sertifikasi PHPL yang merupakan tuntutan pasar (market driven) yang bersifat sukarela, maka prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar pengelolaan hutan adalah wajib (mandatory) dilaksanakan sesuai dengan aturan main berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 
Untuk mengetahui/mengevaluasi secara obyektif tingkat kepatuhan terhadap aturan main dan tingkat kinerja yang dicapai oleh para pemegang ijin HPH dan IUPHHK, maka Departemen Kehutanan akan memberlakukan Program Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan (yang juga dikenal sebagai Sertifikasi PHPL wajib) bagi seluruh pemegang HPH dan IUPHHK di Indonesia.  Di dalam implementasi Program Penilaian Kinerja PHPL wajib ini, Dephut  melibatkan/ memanfaatkan jasa Lembaga Penilai Independen (LPI) atau Lembaga Penilai (LP-PHPL) sebagai pelaksana penilaian untuk memperoleh hasil yang lebih optimal.
Program Penilaian Kinerja PHPL yang diberlakukan secara wajib tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi Dephut (regulasi, fasilitasi dan supervisi) di dalam pengusahaan hutan.  Melalui program Penilaian Kinerja PHPL wajib ini, diharapkan akan dapat diperoleh data dan informasi tentang tingkat kepatuhan dan kinerja dari masing-masing unit HPH dan IUPHHK sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan status ijin HPH atau ijin IUPHHK.  Dengan demikian program Penilaian Kinerja PHPL ini adalah merupakan instrumen internal pemerintah (Departemen Kehutanan) dalam upaya penegakan peraturan perundangan, khususnya di dalam menerapkan prinsip-prinsip kelestarian di dalam pengusahaan hutan.  Karena sifat kepentingan internal tersebut, maka program sertifikasi wajib ini tidak terkait dengan masalah teknis perdagangan hasil hutan dan tidak diarahkan untuk memenuhi permintaan pasar (sebagaimana program sertifikasi sukarela).
Program Sertifikasi PHPL wajib tersebut akan dilaksanakan berdasarkan sistem/ mekanisme, kriteria dan indikator yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan sebagai ketentuan wajib bagi seluruh pemegang ijin HPH atau IUPHHK.
Kinerja PHPL suatu ijin usaha kehutanan didasarkan pada empat kriteria, meliputi: 1) Prasyarat; 2) Produksi; 3) Ekologi; dan 4) Sosial. Masing-masing kriteria terdiri atas indicator dan verifier-verifier yang harus dipenuhi dalam melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan. Selanjutnya selain kinerja dari empat kriteria tersebut, pemegang ijin usaha kehutanan juga dituntut untuk memenuhi standar verifikasi legalitas kayu (VLK) untuk menjamin bahwa kayu yang dipanen benar-benar berasal dari lokasi yang sah mulai dari blok tebangan hingga tempat penimbunan kayu untuk siap diangkut ke industry pengolahan kayu.  Dalam rangka mendukung pelaksanaan sertfikasi PHPL dan VLK, pemerintah telah mengatur dalam aturan perundangan sebagai berikut:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.14/VI-BPPHH/2014 tanggal 29 Desember 2014 Jo P.1/VI-BPPHH/2015 tanggal 16 Januari 2015 tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu

Program Sertifikasi PHPL Voluntary

Diawali dengan keprihatinan akan besarnya laju kerusakan hutan tropis dunia, beberapa kelompok penggiat lingkungan dan konsumen kayu tropis di negara-negara maju (Amerika dan Eropa) menuntut agar diberlakukan program sertifikasi (sebagai instrumen pasar) terhadap produk hutan untuk dapat menahan laju kerusakan hutan tersebut.  Sebagaimana tuntutan pasar (market driven), Sertifikasi PHPL harus memenuhi prinsip independensi, non-diskriminiatif, obyektif dan transparan, yang implementasinya bersifat sukarela (voluntary). Untuk memenuhi prinsip-prinsip sertifikasi tersebut, maka pengembangannya dilakukan oleh berbagai lembaga sertifikasi yang bertaraf internasional terutama yang dapat memenuhi tuntutan negara-negara maju di Asia, Amerika dan Eropa, diantaranya adalah Forest Stewardship Council (FSC) dan yang khusus berlaku di Indonesia yaitu Indonesian Forestry Certification Cooperation (IFCC).
a.      FSC Certification System
FSC merupakan badan pengembang sistem dan badan akreditasi internasional yang diimplementasikan melalui Program Sertifikasi Bersama (Joint Certification Program/JCP). Dalam hal penerapan Sertifikasi sebagai instrumen pasar yang bersifat sukarela, maka kredibilitas sistem menjadi sangat penting agar program sertifikasi tersebut dapat berjalan sebagaimana tujuan awal pengembangannya.
Sertifikasi menggunakan skema FSC tersebut berlaku secara internasional terutama untuk memperoleh kepercayaan dari negara-negara buyer di Amerika dan Eropa terhadap pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh suatu ijin usaha (IUPHHK).  Untuk memperoleh sertifikat PHPL dari FSC, suatu IUPHHK harus memenuhi 10 prinsip pengelolaan sebagai berikut:
Principle 1:
Compliance with laws and FSC Principles – to comply with all laws, regulations, treaties, conventions and agreements, together with all FSC Principles and Criteria.

Principle 2:
Tenure and use rights and responsibilities – to define, document and legally establish long-term tenure and use rights.

Principle 3:
Indigenous peoples’ rights – to identify and uphold indigenous peoples’ rights of ownership and use of land and resources.

Principle 4:
Community relations and worker's rights – to maintain or enhance forest workers' and local communities’ social and economic well-being.

Principle 5:
Benefits from the forest – to maintain or enhance long term economic, social and environmental benefits from the forest.

Principle 6:
Environmental impact – to maintain or restore the ecosystem, its biodiversity, resources and landscapes.

Principle 7:
Management plan – to have a management plan, implemented, monitored and documented.

Principle 8:
Monitoring and assessment – to demonstrate progress towards management objectives.

Principle 9:
Maintenance of high conservation value forests – to maintain or enhance the attributes which define such forests.

Principle 10:
Plantations – to plan and manage plantations in accordance with FSC Principles and Criteria.
Selanjutnya dalam skema FSC terdapat beberapa tipe sertifikasi. Hal ini terkait dengan asal dari produk hasil hutan dan tingkatan produksi yang dilakukan. Sertifikasi ini untuk menjamin bahwa bahan baku dan produk yang dihasilkan berasal dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.  Beberapa tipe sertifikasi FSC adalah sebagai berikut:
1)      Forest Management certification is awarded to forest managers or owners whose management practices meet the requirements of the FSC Principles and Criteria.
2)      Chain of Custody certification applies to manufacturers, processors and traders of FSC certified forest products. It verifies FSC certified material and products along the production chain. 
3)      Controlled Wood is designed to allow organizations to avoid the categories of wood considered unacceptable. FSC Controlled Wood can only be mixed with FSC certified wood in labelled FSC Mix products.
4)      Special options for small, low intensity and community forest operations


b.       IFCC Certification System
IFCC (Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah organisasi di Indonesia yang mempromosikan pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi hutan dan logo atas produk-produk berbasis hasil hutan yang berasal dari hutan bersertifikat. IFCC adalah lembaga standardisasi untuk skema sertifikasi hutan di Indonesia yang mengembangkan standar serta persyaratan-persyaratan untuk sertifikasi hutan yang berbasis pada proses konsensus para stakeholder.
Standar ini didasarkan pada kerangka internasional untuk pengelolaan hutan lestari termasuk Organisasi Kayu Tropis Internasional atau International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Program untuk Dukungan Skema Sertifikasi Hutan atau Programme for the Endorsement of Forest Certification schemes (Dewan PEFC); hal tersebut memadukan konsep perbaikan berkelanjutan (Rencana, Kerja, Periksa, Bertindak atau Plan, Do, Check, Act) seperti yang ditetapkan dalam standar ISO (International Organisation for Standardisation atau Organisasi Internasional untuk Standardisasi) untuk kualitas dan system pengelolaan lingkungan (ISO 9001 dan ISO 14001); dan memandang praktik terbaik terhadap pengelolaan hutan lestari di Indonesia.  
Standar ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian I menetapkan persyaratan umum untuk pengelolaan hutan alam dan tanaman; Bagian II menetapkan persyaratan khusus untuk hutan alam; dan Bagian III menetapkan persyaratan khusus untuk hutan tanaman. Persyaratan dalam setiap Bagian kemudian dibagi ke dalam 4 prinsip utama: Persyaratan Utama, Kesinambungan Produksi, Kesinambungan Ekologi dan Kesinambungan Sosial.

Jatinangor, Februari 2016
Dr. Ichsan Suwandhi
SFM Auditor