secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Kamis, 17 Maret 2011

MANAJEMEN BAHAN BAKAR DALAM RANGKA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN


Ichsan talks about fire.. : faktor penting dari bahan bakar yang dapat dikelola dengan treatment silvikultur adalah faktor susunan dan kesinambungan bahan bakar.....

SUSUNAN/KEKOMPAKAN DAN KESINAMBUNGAN BAHAN BAKAR
(ARRANGEMENT AND CONTINUOUSLY OF FUEL)
Oleh:
Ichsan Suwandhi

Ringkasan
Karakteristik bahan bakar merupakan salah satu faktor dari segitiga lingkungan api yang berpengaruh terhadap perilaku api, dua faktor yang lainnya adalah cuaca dan topografi.  Dalam kondisi yang memungkinkan perbedaan suatu karakteristik atau gabungan beberapa karakteristik bahan bakar akan menghasilkan perilaku api yang bervariasi pula. Susunan/Kekompakan (arrangement) dan kesinambungan (continuity) bahan bakar merupakan parameter penting dari karakteristik bahan bakar yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku api.
Berdasarkan penjelasan Syaufina (2008)[1], kekompakan suatu bahan bakar menunjukkan keterikatan komponen-komponen atau partikel-partikel penyusun bahan bakar dalam suatu tumpukan yang memengaruhi suplai udara dan kemudahan perpindahan panas sehingga lebih lanjut memengaruhi kecepatan dan tinggi nyala api.  Lebih lanjut, kesinambungan bahan bakar sangat berpengaruh secara horizontal dan vertikal terhadap perilaku api, adanya gap akan menghambat terjadinya penjalaran api.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekompakan akan berpengaruh terhadap kecepatan dan tinggi nyala api, sedangkan kesinambungan lebih berpengaruh dalam penjalaran api.  Kedua karakteristik ini akan menghasilkan intensitas dan tipe kebakaran hutan yang terjadi.
Dalam rangka menggali lebih detail pengaruh kedua faktor terhadap perilaku api terutama dalam kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan, selain membahas aspek teoritis makalah ini juga memberikan informasi hasil-hasil penelitian yang membuktikan bahwa treatmen-treatmen terhadap distribusi bahan bakar baik secara horizontal maupun vertikal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan atau penurunan tingkat kebakaran hutan/lahan.

PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi issu penting di Indonesia selama satu dekade terakhir yang berdampak secara serius terhadap degradasi hutan dan lahan, berbagai permasalahan lingkungan bermunculan akibat kebakaran hutan dan lahan baik secara ekologi maupun sosial dan ekonomi.  Dalam konteks iklim global Indonesia termasuk salah satu negara  dengan tingkat emisi karbon terbesar yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan.  Dampak global sangat jelas terlihat dengan menurun atau hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kasus terbesar terjadi akibat kebakaran tahun 1997 melepaskan gas-gas mencapai sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan.
Pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan hampir selalu terjadi setiap tahun karena sejak jaman dahulu masyarakat di Indonesia menggunakan api untuk membuka lahan pertanian, permasalahan menjadi semakin besar pada saat sistem membuka lahan dengan cara membakar ini diterapkan oleh perusahaan-perusahan besar seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, dampak dari kebakaran ini tidak hanya menimbulkan permasalahan lokal, asap-asap hasil kebakaran hutan bahkan sampai mengganggu ke negara-negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura.
Besarnya permasalahan lingkungan yang dihasilkan baik secara nasional maupun global akibat kebakaran hutan dan lahan mengharuskan Indonesia untuk mampu mengatasi, disamping penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran juga secara teknis dan konstruktif lebih mengefektifkan manajemen pengendalian  kebakaran hutan dan lahan yang diterapkan.  Meskipun upaya-upaya telah dilakukan, namun kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar (dalam ribuan hektar) sampai saat ini masih terus terjadi terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan, sebagai contoh sampai Juli 2009 berdasarkan laporan berbagai media massa terjadi kebakaran mencapai 6000 Ha di Sumatera.
Sehubungan dengan masih latennya kasus kebakaran hutan di Indonesia sampai saat ini maka berbagai pemahaman tentang upaya pengendalian perlu dilakukan terutama bagi para rimbawan untuk lebih intensif menyiapkan kemampuan dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan melalui analisis kebakaran hutan dan lahan.  Selain penguatan dalam hal kebijakan, dalam kaitannya dengan analisis kebakaran hutan dan lahan sangat diperlukan pemahaman lebih lanjut terhadap perilaku api dan faktor-faktor yang berpengaruh agar manajemen kebakaran hutan dan lahan dapat dilaksanakan secara efektif. 
Dalam rangka mendukung hal tersebut, penulisan makalah ini ditekankan pada bahan bakar sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku api, terutama mengenai hubungan susunan/kekompakan dan kesinambungan bahan bakar terhadap perilaku api.
PERILAKU API
Dalam suatu kebakaran hutan selain dikenal segitiga api dikenal pula segitiga lingkungan api.  Payne et al (1996) dalam Syaufina (2008) menjelaskan bahwa perilaku api dipengaruhi oleh unsur-unsur segitiga lingkungan api, yaitu bahan bakar, cuaca dan topografi.  Dijelaskan lebih lanjut bahwa perilaku api cenderung dinamis selalu berubah menurut ruang, waktu atau keduanya, hal ini sangat terkait dengan perubahan unsur-unsur pada segitiga lingkungan api tersebut.  Diantara ketiga unsure, cuaca merupakan unsure yang paling cepat berubah menurut ruang dan waktu.




 
PENGARUH BAHAN BAKAR TERHADAP PERILAKU API
Salah satu faktor yang berperan dalam kebakaran hutan adalah bahan bakar. Selain itu faktor-faktor yang berperan yang masih dekat hubungannya dengan bahan bakar adalah jenis vegetasi dan kerapatan tanaman. Jenis vegetasi dan kerapatan untuk jenis hutan tropis terjadi proses siklus makanan yang tetap, dimana jika kondisi stabil tanpa ada kegiatan penebangan maka proses dekomposisi dapat berjalan dengan normal sehingga serasah, ranting dan lainnya mengalami proses pembusukan alami untuk sumber makanan kembali bagi tanaman. Hal tersebut berimplikasi pada tingkat kerawanan kebakaran pada hutan tropis sangat kecil sekali. Akan tetapi kedua hal tersebut akan menjadi potensi bahan bakar yang besar pada kondisi yang tidak stabil dan ekstrim untuk mendukung kebakaran hutan bila ada sumber penyulut api.
Sebagaimana dilaporkan oleh Whelan (1995) dalam Syaufina (2008) bahwa karakteristik bahan bakar sangat berpengaruh terhadap perilaku api.  Tingkat atau bentuk pengaruh ditentukan oleh susunan, distribusi, kadar air dan kandungan kimia bahan bakar sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1.  Bentuk pengaruh  muatan bahan bakar terhadap perilaku api
Sifat bahan bakar
Pengaruh
Muatan
Menentukan ketersediaan energy maksimum untuk terbakar
Susunan
Menentukan aerasi, penjalaran api secara vertikal dan horizontal
Distribusi ukuran
Kemudahan penyalaan awal
Kandungan kimia
Meningkatkan atau menurunkan kemampuan untuk terbakar (flamabilitas). Meningkatkan : resin atau minyak
Menurunkan : kandungan mineral
Sumber (Syaufina, 2008)

HUBUNGAN KEKOMPAKAN/SUSUNAN DAN KESINAMBUNGAN BAHAN BAKAR TERHADAP PERILAKU API
Menurut Syaufina (2008), kekompakan bahan bakar menunjukkan keterikatan komponen-komponen atau partikel-partikel penyusun bahan bakar dalam suatu tumpukan yang lebih lanjut akan memengaruhi suplai udara terhadap individu partikel bahan bakar dan kemudahan perpindahan panas dalam tumpukan sehingga memengaruhi kecepatan dan tinggi nyala api.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplai udara dapat didekati dengan pengukuran massa bahan bakar per satuan volume tumpukan bahan bakar (bulk density) dan porositas bahan bakar.
Letak potongan-potongan bahan bakar yang satu dengan lainnya di dalam hutan akan sangat mempengaruhi perilaku api. Penyusunan bahan bakar akan berpengaruh terhadap:
a. Laju pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran
b. Laju penguapan air dari bahan bakar
c. Tingkat pemindahan panas melalui radiasi dan konduksi
d. Arah penjalaran api
e. Laju pembakaran dan penjalaran
Penyusunan bahan bakar menggambarkan sebaran (distribusi) semua potongan bahan bakar yang dapat terbakar pada bidang horizontal dan vertikal. Penyusunan bahan bakar juga sekaligus menggambarkan kesinambungan (kontinuitas) bahan bakar ke arah horizontal dan vertikal. Syaufina (2008) menegaskan, adanya gap akan menghambat terjadinya penjalaran api.  Reaksi pembakaran akan berlangsung paling baik bila bahan bakar cukup tersebar untuk memberi kesempatan pemasokan oksigen ke zona nyala, tetapi cukup rapat, agar terjadi pemindahan panas yang efisien.
Gorte (2009)[2] menguatkan penjelasan tersebut, untuk mengukur distribusi baik secara horizontal maupun vertikal suatu bahan bakar perlu memperhatikan dua hal penting  yaitu kekompakan (compactness or porosity) tumpukan bahan bakar dan kesinambungan (continuity) bahan bakar.  Semakin tinggi kekompakan bahan bakar akan semakin resisten untuk terbakar karena ventilasi dalam keadaan terbatas sehingga perubahan kelembaban untuk menjadi kering sangat lambat.  Selain itu api membutuhkan kesinambungan bahan bakar untuk menjalar dan menyebar, secara horizontal ditentukan oleh kerapatan bahan bakar dan secara vertikal ditentukan oleh keberadaan bahan bakar mulai dari tingkat bawah, permukaan dan kanopi.
Berdasarkan tingkatan atau susunan secara vertikal, bahan bakar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yang selanjutnya akan menyebabkan adanya tipe penggolongan kebakaran hutan, yaitu :
a.    Bahan bakar atas, Semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan, meliputi cabang ranting dan tajuk pohon dan dedaunan yang berada di bagian atas pohon.
b.    Bahan bakar permukaan , meliputi vegetasi tingkat semai dan pancang, semak belukar dan limbah pembalakan.
c.    Bahan bakar bawah, terdiri atas lapisan bahan organik yang terdapat di permukaan lantai hutan dan bawah permukaan tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan bahan-bahan kayu lainnya. Contoh lainnya adalah lapisan gambut.
Hasil penelitian yang dilakukan Saharjo et al (2010)[3] memberikan gambaran bahwa kualitas dan kuantitas bahan bakar sangat berpengaruh besar terhadap perilaku api. Hasil percobaan lapangan terhadap rumput gambut, tanah gambut dan padang alang-alang di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa perbedaan tipe dan perlakuan bahan bakar menghasilkan tingkat kebakaran yang berbeda.  Hasil percobaan tersebut memberikan gambaran pada bahan bakar kering, alang-alang lebih cepat dan mengalami kebakaran terbesar, sedangkan pada gambut lebih lambat tetapi menghasilkan pembaraan yang tertinggi.   Dari hasil penelitian ini dapat diduga bahwa alang-alang cenderung memiliki kekompakan yang lebih rendah dibandingkan lahan gambut, porositas lebih tinggi sehingga menghasilkan flammabilitas yang tinggi.  Disamping itu lahan alang-alang lebih berpotensi menghasilkan kebakaran permukaan dan kebakaran atas (kanopi) apabila kesinambungan bahan bakar memadai.
Ohman (2006)[4] memfokuskan penelitian pada kehadiran Smilax rotundifolia yang merupakan semak yang infasif pada areal rumput belukar meningkatkan jumlah dan muatan bahan bakar, percobaan pembakaran yang dilakukan pada area terinvasi Smilax dengan sampling seluas 0.2 ha yang mewakili seluruh areal dengan ketinggian semak berkisar 1-2 m.  Ditinjau dari segi muatan (fuel load) menghasilkan peningkatan nilai muatan bahan bakar yang jauh lebih tinggi dari standar, (10 ton/acre dari standar 7.3 ton/acre), sedangkan tinggi nyala api (flame length) dan rate of spread hasil observasi menunjukkan lebih tinggi (mencapai 17 ft atau sekitar 5 m lebih) dan lebih cepat (mencapai 15 m/menit) dibandingkan standar model yang dibuat (kurang dari 5 m dan 14 m/menit).  Ditinjau dari segi susunan dan kesinambungan, dari hasil penelitian tersebut dapat diduga bahwa kehadiran spesies infasif Smilax ini justru menambah persoalan baru dimana susunan tumpukan yang cenderung lebih tinggi dan sebaran horizontal yang merata sangat mendukung terjadinya perilaku api yang lebih agresif, sehingga secara vertikal juga dapat memicu kesinambungan kebakaran atas.

Hasil penelitian terkini terkait karakteristik bahan bakar bawah telah dilakukan lebih lanjut oleh Davies et al (2010)[5] dengan melihat perkembangan karaktereistik bahan bakar secara berkelanjutan sejak tahun 1936 sampai saat ini.  Penelitian ini mengambil judul pengaruh “long-term livestock grazing” studi kasus di Sagebrush Steppe Rangelands terhadap karakteristik bahan bakar.  Perlakuan yang dilakukan adalah membuat 2 tipe plot sampling berupa “grazed” (terletak di sebelah eksklosur) dan “non-grazed” (pada area eksklosur) dengan luasan masing-masing 2 ha, kondisi fisik tanah dan lahan kedua lokasi cenderung sama.
Hasil pengukuran tahun 2009 mengindikasikan kedua area penelitian telah ditutupi oleh berbagai jenis cover (Gambar 2) mencakup perennial buncgrass (PG), vegetasi herba (Therb), gap, berbagai jenis semak (shrub) dan serasah (litter). Penelitian menghasilkan informasi bahwa ditinjau dari aspek covering bahan bakar terlihat pada kedua area tidak lagi didominasi rumput.

Gambar 3 menjelaskan lebih lanjut bahwa ditinjau dari segi kontinuitas  bahan bakar terlihat bahwa area non grazed memiliki resiko kebakaran lebih tinggi, hal ini didukung oleh kualitas bahan bakar berupa perennial grass dan serasah yang lebih tinggi, panjang bahan bakar dan total biomasa.  Berbagai fakta hasil penelitian yang mendukung kesimpulan ini antara lain :
 

1)        The height and amount of fine fuels are correlated positively with the ability of fire to spread, especially across fuel gaps (Bradstock and Gill 1993; Blackmore and Vitousek 2000).
2)        Similarly, Miller and Heyerdahl (2008) reported that variation in fire frequency in rangelands was driven by fine fuel abundance and continuity, and Miller and Urban (2000) demonstrated that fine fuels from grass were critical for fire spread and were correlated positively with increasing fire frequency in drier plant communities.
3)        Waldram et al. (2008) also reported that the removal of a large herbivore in Africa increased the fuel loads and continuity and  this caused larger fires with less unburned patches.  Larger fuel gaps in moderately grazed sagebrush rangelands would require longer flame heights to be crossed; however, the effects of grazing on other fuel characteristics would decrease flame lengths.
4)        Less fine fuel and shorter fuel height produces shorter flame lengths (Bradstock and Gill 1993). Thus, moderate grazing affects several fuel characteristics to cumulatively decrease the flammability of  agebrush rangelands.

Hasil-hasil penelitian di atas merupakan contoh kehadiran bahan bakar pada tingkat permukaan dan bawah yang memberikan dampak langsung terhadap kesinambungan bahan bakar, sehingga memicu kebakaran pada tingkat di atasnya.  Hasil-hasil penelitian lainnya terkait dengan karakteristik bahan bakar atas diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
Scott dan Reinhard (2006)[6] meneliti karakteristik bahan bakar kanopi terhadap perilaku api dalam hubungannya dengan kebakaran atas.   Dalam artikelnya menguraikan secara detail hasil pengukuran berbagai variasi biomassa untuk mensimulasi pengaruh beberapa perlakuan silvikultur seperti penjarangan, pemangkasan dan prescribed fire terhadap karakteristik bahan bakar kanopi.  Penelitian ini melihat variasi dari kepadatan tajuk 5 jenis tegakan sebagaimana disajikan pada Gambar 4.









Hasil penelitian menunjukkan model-model simulasi sebagai berikut :
Perlakuan penjarangan ringan, penjarangan tajuk dan pembatasan limit diameter untuk ditebang berkorelasi dengan kepadatan tajuk (CBD), muatan bahan bakar (CFL) dan tinggi tajuk (CBH).  Penjarangan ringan menghasilkan hubungan semakin rendah target basal area akan semakin rendah  nilai ketiga karakteristik bahan bakar. 
Perlakuan pemangkasan (pruning) menghasilkan respon yang unik, yaitu semakin tinggi (panjang) tajuk yang dipangkas semakin menurunkan CBD dan CFL tetapi justru meningkatkan CBH.
Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana mengelola karakteristik bahan bakar dengan menggunakan perlakuan terhadap tegakan, terutama terhadap tajuk pohon.  Dalam kaitannya dengan kekompakan bahan bakar, adanya perlakuan terhadap tajuk justru menurunkan kekompakan tajuk yang berimplikasi pada meningkatnya porositas, sehingga dapat meningkatkan kebakaran tajuk.  Namun demikian baik secara horizontal maupun vertikal kesinambungan bahan bakar menjadi terputus, artinya penjalaran api akan berkurang.

















Penyajian hasil penelitian di atas sebelumnya didukung oleh model kalkulasi karakteristik bahan bakar dengan menggunakan program computer oleh Reinhardt (2006)[7] yang disebut program “FuelCalc”.  Program ini merupakan perangkat untuk menganalisis dan menghitung muatan dan karakteristik bahan bakar hasil inventarisasi baik di permukaan maupun kanopi untuk mendukung keputusan perlakuan bahan bakar melalui simulasi pengaruh perlakuan silvikultur baik pada permukaan maupun kanopi tegakan.
Bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan terkait dengan manajemen kekompakan dan kontinuitas bahan bakar pada suatu hutan atau lahan antara lain :
a.    Menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik, dilakukan pada musim hujan. Tindakan ini tergolong usaha merubah kekompakan bahan bakar. Bila tidak ditebas, dapat pula dilakukan penggilasan dengan menggunakan silinder besi yang ditarik traktor atau dengan mesin giling.  Penggilasan ini sekaligus dapat memutus kontinuitas vertikal bahan bakar.
b.    Menggilas padang alang-alang dengan silinder besi yang ditarik traktor atau mesin giling, sehingga kekompakannya ditingkatkan.
c.    Melakukan penyiangan tanaman selebar 1 meter di sepanjang larikan tanaman hutan (HTI/strip weeding). Tindakan ini tergolong usaha memutus kesinambungan bahan bakar atau sebaran horisontalnya.
d.    Melakukan pemangkasan cabang pohon pada tanaman HTI. Dahan/cabang bagian bawah dipangkas untuk memutus kontinuitas vertikal bahan bakar.

URGENSI PENELITIAN
Berdasarkan uraian tentang pengaruh kekompakan dan kontinuitas bahan bakar terhadap perilaku api, serta perkembangan hasil-hasil penelitian maka bagi Indonesia sangat penting untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang secara rinci dan spesifik terutama tentang perlakuan-treatmen terhadap tegakan antara lain :
1)   Tingkat penjarangan yang optimal untuk menurunkan bahaya kebakaran tetapi tidak menurunkan produktivitas hutan (penjarangan tegakan atau penjarangan tajuk)
2)   Tingkat pemangkasan tajuk yang optimal untuk memutus kesinambungan bahan bakar untuk setiap jenis sesuai karakteristik masing-masing pohon
3)   Pengelolaan limbah penebangan secara terstruktur agar tidak menimbulkan timbunan bahan bakar dan kesinambungan dengan tumpukan bahan bakar di sekitarnya
PENUTUP
Manajemen kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya adalah manajemen perilaku api (fire management) dan pemahaman terhadap perilaku api perlu dilengkapi dengan pemahaman yang cukup terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku api, yaitu segitiga lingkungan api yang terdiri atas bahan bakar, topografi dan cuaca.  Bahan bakar merupakan faktor yang sangat esensial untuk dapat dimanipulasi sedemikian rupa dibandingkan dua faktor lainnya yang cenderung lebih dipengaruhi oleh alam, sehingga berbagai faktor yang terkait dengan karakteristik bahan bakar perlu dipahami secara lengkap.
Selain upaya-upaya yang terkait dengan sifat-sifat bahan bakar lainnya seperti ukuran dan bentuk, kadar air, kandungan kimia dan muatan, maka upaya-upaya manipulasi kekompakan dan kontinuitas bahan bakar menjadi faktor kunci dalam rangka menurunkan potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan tentunya disesuaikan dengan tipe bahan bakar mencakup bahan bakar bawah, permukaan dan atas dengan perlakuan-perlakuan silvikultur seperti penjarangan, pemangkasan, pembuatan jalur-jalur gap dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Davies, K.W,  J.D. Bates, T. J. Svejcar, and C.S. Boyd.  2010.  Effects Of Long-Term Livestock Grazing On Fuel Characteristics In Rangelands: An Example From The Sagebrush Steppe.  Rangeland Ecology & Management 63(6) November 2010

Reinhardt, E, D. Lutes and J. Scott.  2006.  FuelCalc: A Method for Estimating Fuel Characteristics.  USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-41.

Reinhardt, E., J. Scott, K.Gray. and R. Keane.  2006.  Estimating canopy fuel characteristics in five conifer stands in the western US using tree and stand measurements.  Can.J.For.Res. 36: 2803-2814 (2006).

Gorte, R.W.  2009.  Wildfire Fuels and Fuel Reduction.  CRS Report for Congress.  Congressional Research Service.

Saharjo, B. H, S. Sudo, S. Yonemura, And  H. Tsuruta.  2010.  Fuel Characteristics And Trace Gases Produced Through Biomass Burning.  Biodiversitas Vol.11 (1), January 2010: 40-45
Scott, J. H and E. D. Reinhardt.  2007.  Effects of Alternative Treatments on Canopy Fuel Characteristics in Five Conifer Stands.  USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-203.

Syaufina, L.  2008.  Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran.  Malang : Bayumedia Publishing.

Tacconi, L.  2003.  Kebakaran hutan di Indonesia : penyebab, biaya dan implikasi kebijakan.  Bogor : Center for International Forestry Research.

Ohman, M.C. 2006.   Characteristics of Fuel Beds Invaded By Smilax Rotundifolia. A Thesis.  Department of Natural Resources Conservation.  University of Massachusetts Amherst


[1] Syaufina, L.  2008.  Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran.  Malang : Bayumedia Publishing.
[2] Gorte, R.W.  2009.  Wildfire Fuels and Fuel Reduction.  CRS Report for Congress.  Congressional Research Service.

[3] Saharjo, B. H, S. Sudo, S. Yonemura, And  H. Tsuruta.  2010.  Fuel Characteristics And Trace Gases Produced Through Biomass Burning.  Biodiversitas Vol.11 (1), January 2010: 40-45

[4] Ohman, M.C. 2006.   Characteristics of Fuel Beds Invaded By Smilax Rotundifolia. A Thesis.  Department of Natural Resources Conservation.  University of Massachusetts Amherst
[5] Davies, K.W,  J.D. Bates, T. J. Svejcar, and C.S. Boyd.  2010.  Effects Of Long-Term Livestock Grazing On Fuel Characteristics In Rangelands: An Example From The Sagebrush Steppe.  Rangeland Ecology & Management 63(6) November 2010
[6] Scott, J. H and E. D. Reinhardt.  2007.  Effects of Alternative Treatments on Canopy Fuel Characteristics in Five Conifer Stands.  USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-203.

[7] Reinhardt, E, D. Lutes and J. Scott.  2006.  FuelCalc: A Method for Estimating Fuel Characteristics.  USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-41.

Rabu, 16 Maret 2011

MENGATASI TOXIC AREAL TAMBANG DENGAN FITOREMEDIASI


MEKANISME MODEL- MODEL FITOREMEDIASI

Oleh:
Dede Sudrajat; Dadan Mulyana; Ichsan Suwandhi
Student of IPB Doctoral Programme


I.      PENDAHULUAN

Istilah fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “phyto” yang berarti tanaman dan dari bahasa Latin, yaitu “remedium” yang berarti membersihkan atau memperbaiki. Beberapa pengertian fitoremediasi adsalah sebagai berikut:
-     suatu teknologi yang didasarkan pada penggunaan tanaman secara alami atau melalui rekayasa genetik yang bertujuan agar tanaman tersebut dapat membersihkan lingkungan yang tercemar/terkontaminasi (Cunningham et al., 1997).  
-     Suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan suatu mikroorganisme dalam media (tanah, koral, dan air) dapat mengubah zat kontaminan menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi (Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003).
-     Penggunaan tanaman untuk memperbaiki sebagian atau subtansi kontaninan tertentu dalam tanah, endapan, kotoran/lumpur, air tanah, air permukaan, dan air sampah (Pivetz, 2001).
-     Teknologi alternatif atau pelengkap yang dapat digunakan dengan atau dalam beberapa kasus pada tempat teknologi pembersihan konvensional yang sering memerlukan input biaya tinggi dan tenaga serta energi intensif (Erakhrumen, 2007)

Berdasarkan jenis kontaminan, kondisi tapak, tingkat bebas kontaminan yang diperlukan, dan tipe tanaman, maka teknologi fitoremediasi dapat digunakan untuk tujuan penahanan (containment) seperti phytoimmobilization dan phytostabilization, dan pembuangan (removal) seperti phytoextraction dan phytovolatization (Thangavel dan Subhuram, 2004). Perbedaan teknologi fitoremediasi tersebut disebabkan adanya perbedaan mekanisme aksi untuk meremediasi tanah, endapan, atau air yang tercemar logam (Padmavathiamma dan Li, 2007).  Menurut Pivetz (2001), phytoremediation terdiri dari beberapa metode melalui beberapa mekanisme seperti degradasi kontaminan, penghilangan melalui akumulasi atau immobolisasi dengan rincian sebagai berikut (Tabel 1) :

1.    Akumulasi (untuk penahanan atau pembuangan kontaninasi organik dan anorganik/logam).
-    Phytoextraction (phytoaccumulation) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari tanah atau media tercemar sehingga zat-zat kontaminan tersebut berakumulasi di dalam bagian-bagian tanaman.
-    Rhyzofiltration adalah peoses absorbsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.

2.     Penghilangan atau dissipation (untuk menghilangkan kontaminasi organic dan/atau anorganik)
-    Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk larutan terurai sebagai bahah yang tidak berbahaya lagi yang selanjutnya diuapkan (divolatisasi) ke atmosfer.

3.     Immobilisasi (untuk pengikatan kontaminasi organic dan/atau anorganik).
-    Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar tanaman yang tidak mungkin diserap ke dalam batang tanaman tersebut. Zat-zat kontaminan tersebut menempet kuat (stabil) pada akar sehingga tidak terbawa oleh aliran air.

4.        Degradasi (untuk penguraian kontaminasi organik)
-    Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tanaman untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunytai rantai molekul kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana dan dapat berguna untuk pertumbuhan tanaman itu sendiri. Proses ini bisa berlangsung pada daun, batang, akar atau di sekitar akar dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan tersebut.
-    Rhizodegradation disebut juga enhanced rhizosphere biodegradation atau planted assisted bioremediation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya fungi dan bakteri.

Tabel 1. Perbedaan mekanisme fitoremediasi (Ghosh dan Singh, 2005; Erakhrumen, 2007)
No.
Proses
Mekanisme
Kontaminan
1.
Phytoextraction
Hyper accumulation
Inorganik
2.
Phytovolatization
Volatisation by leaves
Organik, inorganik
3.
Rhizofiltration
Rhizosphere accumulation
Organik, inorganik
4.
Phytostabilization
Complexation
Inorganik
5.
Phytodegradation
Degradation in plant
Organik
6.
Rhyzodegradation
Rhizosphere biodegradation
Organik

Masalah-masalah ekologi perlu untuk dievaluasi ketika mengembangkan suatu strategi fitoremediasi untuk tapak-tapak yang tercemar.  Satu hal yang harus dipertimbangkan bagaimana upaya-upaya fitoremediasi berpengaruh terhadap keterkaitan ekologi lokal (Padmavathiamma dan Li, 2007). 


II.    PHYTOEXTRACTION

Phytoextraction juga disebut phytoaccumulation yang merujuk pada  pengambilan atau translokasi kontaminan logam dalam tanah oleh akar tanaman ke bagian atas komponen-komponen tanaman (Gambar 1).   Tingkat konsentrasi logam berat yang berpengaruh terhadap tanaman dapat dilihat pada Tabel 2. Tanaman yang mampu mengabsorpsi sejumlah besar logam dibandingkan tanaman lainnya disebut sebagai hyper accumulator. Akumulator logam secara alami merupakan tanaman yang dapat mengakumulasi dan toleran terhadap konsentrasi logam berat, tanpa memperlihatkan gejala keracunan.  Hyperaccumulator juga harus mampu mengakumulasi logam yang melebihi ambang batas nilai konsentrasi logam pada bagian atas tanaman, yaitu 1% (Zn, Mn), 0,1% (Ni,Co, Cr, Cu, Pb and Al), 0.01% (Cd dan Se) atau  0.001% (Hg) pada kondisi berat kering tanaman.

Tabel 2. Pengaruh tingkat konsentrasi logam berat pada tanaman

Status
Konsentrasi logam (mg/kg)
Cd
Cu
Pb
Zn
Deficient
-
<1-5
-
-
Normal
0,05-2
3-30
0,5-10
10-150
Phytotoxic
5-700
20-100
30-300
>100



Gambar 1. Skema mekanisme phytoextraction
(Sumber : Padmavathiamma dan Li, 2007)

Waktu yang diperlukan untuk remediasi tergantung pada tipe dan luasnya kontaminan logam, lamanya musim pertumbuhan, dan efisiensi penghilangan logam oleh tanaman, tetapi secara normalnya berlangsung antara 1 hingga 20 tahun.  Teknik phytoextraction cocok untuk meremediasi areal yang luas pada lahan-lahan yang terkontaminasi dengan kontaminasi rendah hingga sedang (Blaylock dan Huang, 2000 dalam Padmavathiamma dan Li, 2007).   
Keberhasilan phytoextraction tergantung pada beberapa karakteristik tanaman, dua karakteristik penting yang menjadikan tanaman mampu mengakumulasi biomasa dalam jumlah besar secara cepat dan mempunyai kemampuan mengakumulasi logam penting dalam jumlah besar dalam tanaman bagian atas.  Efektivitas phytoextraction membutuhkan kemampuan tanaman secara genetik dan praktek budidaya tanaman yang optimal, meliputi :
1) praktek manajemen tanah untuk memperbaiki efisiensi phytoextration,
2) praktek manajemen tanaman untuk mengembagkan sitem tanaman komersial.

Phytoextraction lebih aplikatif hanya pada tapak-tapak yang terkontaminasi logam rendah hingga sedang, sebab pertumbuhan tanaman tidak dapat tumbuh pada tanah yang tercemar berat.  Lahan harus bebas hambatan/gangguan seperti pohon-pohon yang tumbang, mempunyai topografi cocok untuk praktek budidaya secara umum, dan dapat mempergunakan peralatan pertanian.  Tanaman terseleksi sebaiknya mudah untuk dikembangkan dan dipelihara, tumbuh cepat, mempunyai kerapatan tajuk tinggi dan sistem perakaran baik, dan toleran terhadap kontaminan (Padmavathiamma dan Li, 2007). 
Phytoextraction melibatkan tanaman secara berulang pada tanah terkontaminasi hingga konsentrasi logam menurun pada taraf yang dapat diterima (tidak membahayakan).  Setiap tanaman dibuang dari tapak tersebut. Jika phytoextraction dapat dikombinasikan dengan upaya meningkatkan biomasa dan teknik ini digunakan untuk kegunaan komersil sebagai sumber energi, kemudian dapat dikembangkan menjadi kegiatan yang menguntungkan. 
Phytomining melibatkan peningkatan nilai dengan mengekstraksi metal yang terlarut yang dihasilkan oleh abu biomasa tanaman, yang dikenal dengan bio-ore.  Dengan beberapa logam seperti Ni, Zn, Cu, dan lainnya, nilai logam yang direklamasi dapat memberikan insentif tambahan dalam kegiatan phytoremediasi (Thangavel dan Subhuram, 2004).

III.   PHYTOVOLATIZATION
Beberapa kontaminan logam seperti As, Hg, dan Se dapat berada dalam bentuk gas.  Dewasa ini, peneliti menemukan tanaman alami atau tanaman rekayasa genetik yang mampu mengabsorpsi bentuk unsur-unsur logam dari tanah, secara biologi mengubah menjadi gas dalam tanaman, dan melepaskannya ke atmosfir.  Proses ini disebut phytovolatization dengan mekanisme sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Tidak seperti teknik remediasi lainnya, suatu kontaminan dihilangkan melalui volatisasi, sehingga ada kemungkinan kehilangan kontrol adanya perpindahan kointaminan ke tempat lainnya.  Beberapa ahli menyatakan bahwa penambahan konsentrasi unsur-unsur tertentu melalui phytovolatization tidak akan berpengaruh nyata pada pool atmosfir, sebab kontaminan akan lebih cepat terdegragasi secara alai seperti photodegradation (Azaizeh et al., 1997).  Namun, phytovolatization sebaiknya dihindari untuk tapak-tapak yang dekat pusat pemukiman atau penduduk dan pada tempat-tempat dengan kondisi meteorologi unik yang mempromosikan deposisi senyawa volatile secara cepat.  Dengan demikian, konsekuensi pelepasan logam ke atmosfir memerlukan pertimbangan secara hati-hati sebelum metode ini diadopsi sebagai perangkat remediasi.



Gambar 2. Skema mekanisme phytovolatization


IV.  RHIZOFILTRATION

Rhizofiltration (phytofiltration) merupakan penggunaan akar tanaman atau bibit (blastofiltration) untuk menyerap polutan, utamanya logam, dari air dan aliran sampah berair (Prasad dan Freitas, 2003).  Mekanisme rhyzofiltration melibatkan biosorption yang meliputi chemisortion, complexation, pertukaran ion, penyimpanan micro, kondensasi hydroksida di atas biosurface dan adsorpsi permukaan. Rhizofiltration menggunakan tanaman terrestrial (daratan) daripada tanaman air sebab memiliki sistem perakaran yang fibrous besar yang ditutupi akar rambut dengan areal permukaan yang luas.  
Tanaman yang digunakan untuk rhyzofiltration memiliki persyaratan sebagai berikut (Dushenkov dan Kapulnik, 2000) :
1)    sebaiknya mampu mengakumulasi dan toleran terhadap logam target,
2)    mudah dibudidayakan atau ditangani,
3)    pemeliharaannya murah,
4)    mengeluarkan sampah sekunder yang minimum. 
5)    mampu menghasilkan jumlah biomasa atau areal permukaan akar yang besar.


V.    PHYTOSTABILIZATION

Phytostabilization menggunakan jenis-jenis tanaman untuk mengikat kontaminan dalam tanah, melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar,  absorpsi, absorpsi di sekitar akar atau pengendapan dalam zona akar dan stabilisasi fisik tanah. Skema mekanisme phytostabilization diilustrasikan pada Gambar 3. Proses ini mengurangi mobilisasi kontaminan dan mencegah perpindahannya ke air tanah atau udara (Padmavathiamma dan Li, 2007).  Phytostabilization dapat dibangun dengan mengembangkan tanaman penutup tanah (vegetative cover) pada suatu tapak dimana vegetasi alami sangat kurang yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi logam (Tordoff et al. 2000).


Gambar 3. Skema mekanisme phytostabilization

Jenis-jenis toleran logam dapat digunakan untuk memperbaiki tanaman untuk tapak-tapak tercemar sehingga mampu menurunkan potensi migrasi kontaminan melalui angin, perpindahan pada tanah-tanah permukaan yang terekspose, pencucian tanah, dan kontaminasi air tanah.  Phytostabilization tidak bertujuan untuk kontaminasi logam dari suatu tapak, tetapi lebih pada untuk menstabilkan kontaminan tersebut dengan mengakumulasikannya dalam akar atau menimbunnya pada daerah atau zona perakaran, mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Padmavathiamma dan Li, 2007). 
Phytostabilization sangat efektif untuk tanah bertekstur baik dengan kandungan bahan organik tinggi, namun teknik ini juga cocok untuk tipe-tipe tapak dengan kisaran kondisi yang luas yang tercemar oleh kontaminasi permukaan (Cunningham et al., 1997).  Beberapa tapak yang terkontaminasi berat tidak sesuai untuk phytostabilization karena tanaman sulit untuk tumbuh. Phytostabilization mempunyai keuntungan lebih dalam praktek perbaikan tanah karena  lebih mudah diterapkan dan sedikit lebih murah.  Pendekatan-pendekatan dalam revegetasi diringkas pada Tabel 3.

Tabel 3. Pendekatan untuk revegetasi

Karakteristik tanah
Teknik reklamasi
Masalah yang dihadapi
Toksisitas rendah-total kadar logam <0,1%
Ameliorasi dan direct seeding dengan rumput-rumputan dan legume. Benih atau bahan tanaman secara ekologi beradaptasi secara alami.  Penerapan kapur, bahan organik dan pupuk masih diperlukan.
Program pemeliharaan jangka menengah dan panjang. Keahlian diperlukan pada karakteristik tumbuhan setempat.
Toksisitas tinggi-total kadar logam
Ameliorasi dan direct seeding dengan jenis toleran logam atau garam. Penerapan kapur, bahan organik dan pupuk masih diperlukan. Ameliorasi dengan 10-50 cm  sampah logam tidak berbahaya dan materi organik dan seeding dengan rumput dan legum. 
Komitmen untuk pengelolaan secara regular. Keahlian diperlukan untuk seleksi ekotipe toleran.
Toksisitas ekstrim
Isolasi; perlakuan permukaan dengan 30-100 cm bahan pembatas tidak berbahaya dan penimbunan permukaan dengan 10-30 cm media perakaran.  Penerapan kapur dan pupuk jika diperlukan.
Biaya tinggi dan pembatasan ketersediaan bahan.


Karakteristik tanaman yang cocok untuk phytostabilization di antaranya adalah:
1)    toleran terhadap kontaminan dengan konsentrasi tinggi,
2)    menghasilkan biomasa perakaran tinggi untuk menjerat kontaminan melalui pengambilan, penimbunan, atau pengurangan, dan penyimpanan kontaminan dalam akar,.
Stabilisasi juga melibatkan penambahan tanah untuk mempromosikan formulasi komplek logam yang tidak dapat terurai yang dapat membatasi ketersediaan biologi tanah dan pengambilan hara tanaman.  Penambahan bahan organik sebagai pelembab seperti kompos bersamaan dengan kapur dapat meningkatkan pH tanah, teknik ini merupakan praktek yang umum dilakukan untuk menjerat logam berat dan memperbaiki kondisi tanah, dan untuk memfasilitasi revegetasi tanah-tanah terkontaminasi.

VI.  PHYTODEGRADATION

Phytodegradation merupakan pengambilan, metabolisme, dan degradasi kontaminan pada tanaman, atau degradasi kontaminan dalam tanah, endapan, kotoran/lumpur, air tanah, atau air permukaan dengan enzim yang diproduksi dan dilepaskan oleh tanaman (Pivetz, 2001)Phytodegradation tidak tergantung terhadap mikroorganisme yang berasosiasi dengan perakaran. Kontaminan yang menjadi tujuan phytodegradation meliputi senyawa organik seperti munition, chlorinated solvent, herbisida, dan insektisida, dan nutrisi organik.  Phytodegradation juga dikenal dengan phytotransformation dan merupakan suatu proses destruksi kontaminan.
Enzim-enzim yang diproduksi tumbuhan untuk memetabolisme kontaminan kemungkinan terletak di dalam rhizosphere, hal tersebut terlihat adanya bekas-bekas pada saat transformasi kontaminan.  Sedangkan pembentukan enzim-enzim telah ditemukan pada sedimen-sedimen dan tanah.  Enzim-enzim tersebut mencakup dehalogenase, nitroreductase, peroxidase, laccase, and nitrilase (Schnoor et al., 1995), mereka berasosiasi secara nyata dengan proses tranformasi chlorinated compounds, munitions, phenols, the oxidative step in munitions, dan herbisida.


VII.   RHIZODEGRADATION

Rhizodegradation adalah suatu proses peningkatan peran biodegradation di dalam tanah secara alami dengan menggunakan pengaruh akar-akar tanaman, dan secara ideal menghancurkan atau mendetoksifikasi kontaminan-kontaminan an-organik.  Istilah rhizodegradation ini sering juga disebut dengan istilah enhanced rhizosphere biodegradation.
Kontaminan-kontaminan organic di dalam tanah seringkali diuraikan ,menjadi produk-produk turunan atau secara lengkap dimineralisasi menjadi produk-produk an-organik seperti karbondioksida dan air melalui bantuan mikroorganisme.  Kehadiran akar-akar tanaman  akan meningkatkan ukuran dan variasi populasi mikrobia di dalam tanah mengelilingi akar (rhizosphere) atau di dalam mikoriza.
Hasil penelitian yang dilakukan Jordahl et al (1997) menunjukkan secara signifikan  di dalam plot menggunakan tanah rhizosfer pada tanaman hybrid poplar (Populus deltoides × nigra DN-34, Imperial Carolina) menghasilkan lebih tinggi populasi heterotrop, denitrifier, pseudomonas, BTX (benzene, toluene, xylene) degraders dan atrazine degrader, daripada tanah-tanah non rizosfir.
Peningkatan populasi mikrobia pada tanah dipicu oleh produksi eksudat tanaman berupa produk campuran yang terdapat pada akar.  Eksudat tersebut mengandung gula, asam amino, asam organic, asam pati, sterol, factor-faktor pertumbuhan, nukleotida, enzim flavanones, dan campuran lainnya (Shimp et al, 1993).  Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan populasi mikroba tersebut menghasilkan peningkatan pada biodegradation di dalam tanah, dan pada sisi lain degradasi eksudat dapat merangsang terjadinya kometabolisme kontaminan di rhizosfir.
Rhizodegradation ini secara umum terjadi di dalam tanah, namun demikian aktivitas mikroba di dalam zona perakaran pada tanaman air juga secara potensial dapat memicu terjadinya rhizodegradation.   Stimulasi mikroba tanah oleh eksudat akar juga dapat menghasilkan kondisi geoshemical di dalam tanah, seperti pH yang kemungkinan dihasilkan dalam perubahan dalam transport kontaminan an organic.  Baik tanaman maupun akar tanaman juga dapat mempengaruhi kandungan air, pengangkutan nutrisi, aerasi, struktur, suhu, pH atau parameter lain yang sering lebih menghasilkan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme tanah dengan mengabaikan produksi eksudat, hal ini belum terdata secara pasti dalam penelitan fitoremediasi.
Beberapa contoh hasil studi skala laboratorium tentang rhizodegration disajikan sebagai berikut :
1)    One laboratory study did raise the possibility that transpiration due to alfalfa plants drew methane from a saturated methanogenic zone up into the vadose zone where the methane was used by methanotrophs that cometabolically degraded trichloroethylene (TCE) (Narayanan et al., 1995).
2)    Lin and Mendelssohn (1998) indicate that the salt marsh grasses Spartina alterniflora and S. patens could potentially increase subsurface aerobic biodegradation of spilled oil by transporting oxygen to their roots.

Secara umum dapat disimpulkan rhizodegradation berperan dalam pembinasaan kontaminan pada area tercemar, mineralisasi kontaminan organic menjadi bahan an-organik dan translokasi bahan-bahan campuran ke tumbuhan atau ke atmosfir yang hamper serupa dengan teknologi fitoremediasi lainnya. Factor yang paling berpengaruh adalah tingkat penetrasi akar ke dalam tanah untuk melakukan kontak dengan kontaminan.  Tanah-tanah yang tidak subur atau area dengan konsentrasi kontaminan sangat tinggi dapat menurunkan tingkat penetrasi akar ke dalam tanah.  Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan pemahaman yang cukup tentang tingkat kedalaman akar (root zone) masing-masing jenis tanaman.   Factor-faktor tanah yang membatasi penetrasi antara lain kelembaban dan tingkat kekerasan atau kaliatan tanah (Olson and Fletcher, 2000). 
Area-area yang banyak mengandung kontaminan organic merupakan objek rhizodegradation, seperti petroleum hydrocarbons, PAHs, pesticides, chlorinated solvents, PCP,  polychlorinated biphenyls (PCBs), dan surfactants. Beberapa bukti hasil penelitian dan investigasi pada wilayah terkontaminasi sebagai berikut :
1)     Higher populations of benzene-, toluene-, and o-xylene-degrading bacteria were found in soil from the rhizosphere of poplar trees than in non-rhizosphere soil, although it was not clear that the  populations were truly statistically different. Root exudates contained readily biodegradable organic macromolecules (Jordahl et al., 1997).
2)     Schwab and Banks (1999) menyatakan bahawa total petroleum hydrocarbon (TPH) telah hilang pada beberapa lokasi yang terkontaminasi crude oil, diesel fuel, atau petroleum refinery wastes, pada initial petroleum hydrocarbon contents of 1,700 to 16,000 mg/kg TPH. Pertumbuhan tanaman bervariasi menurut spesies, beberapa spesies memiliki kemampuan lebih baik dari spesies lainnya, sebagai contoh di area crude oil yang terkontaminasi di Mexico, diketahui jenis tanaman tahunan rye-soybean dan St. Augustine grass-cowpea memiliki kemampuan menghilangkan kontaminan paling tinggi dibandingkan jenis-jenis lainnya di wilayah lainnya.  Secara umum Schwab and Banks (1999) melaporkan bahwa secara kualitatif plot bervegetasi memiliki kemampuan menghilangkan TPH lebih tinggi daripada area yang tidak bervegetasi.
3)     Untuk PAHs juga telah dibuktikan dengan berbagai penggunaan tanaman rumput memiliki efektifitas lebih tinggi dalam menurunkan kontaminan dibandingkan dengan area yang tidak ditanami (Aprill dan Sims, 1990; Ferro et al., 1999; Reilley et al., 1996).
4)    Beberapa hasil percobaan dalam skala laboratorium Pesticide biodegradation dengan menggunakan tanaman dapat mendegradasi pestisida.  Kochia sp. mampu meningkatkan laju degradasi herbisida ditandai dengan meningkatnya mineralisasi dalam zona perakaran di dalam tanah (Anderson et al 1994); contoh lain yang telah berhasil sebelumnya adalah penggunaan tanaman “bush bean” meningkatkan mineralisasi organopospat insecticides parathion dan diazinon (Hsu and Bartha, 1979); hasil studi di rumah kaca mengindikasikan penggunaan tanaman padi meningkatkan jumlah Gram-negative bacteria yang dapat mempercepat transformasi propanil melalui eksudat pada akar (Hoagland et al.,1994); dan kesimpulan umum yang dikemukakan oleh Boyle dan Shann (1995) bahwa herbicide biodegradation yang dikumpulkan dari tanah rhizosfir memiliki kandungan lebih tinggi daripada non-rhizosfir.
5)    Chlorinated solvents mungkin merupakan subjek untuk rhizodegradation. In a growth chamber study, TCE mineralization was increased in soil planted with a legume (Lespedeza cuneata (Dumont)), Loblolly pine (Pinus taeda (L.)), and soybean (Glycine max (L.) Merr., cv. Davis), compared to non-vegetated soil (Anderson and Walton,1995). In another laboratory study, the presence of alfalfa possibly contributed to the dissipation 1,1,1-trichloroethane (TCA) in ground water, through the effect of root exudates on soil bacteria (Narayanan et al., 1995).
6)    Beberapa kontaminan juga merupakan calon objek rhizodegradation berdasarkan berbagai indikasi oleh  studi-studi yang telah dilakukan di greenhouse, laboratorium, dan growth chamber studies. Beberapa contoh antara lain :
-        Mineralization rates of 100 mg/kg PCP were greater in soil planted with Hycrest crested wheatgrass than in unplanted controls (Ferro et al., 1994).
-        Proso millet (Panicum miliaceum L.) seeds treated with a PCP-degrading bacterium germinated and grew well in soil containing 175 mg/L PCP, compared to untreated seeds (Pfender, 1996).
-        Compounds (such as flavonoids and coumarins) found in leachate from roots of specific plants stimulated the growth of PCB-degrading bacteria (Donnelly et al., 1994; Gilbert and Crowley, 1997).
-        Spearmint (Mentha spicata) extracts contained a compound that induced cometabolism of a PCB (Gilbert and Crowley, 1997).
-        Red mulberry (Morus rubra L.), crabapple (Malus fusca (Raf.) Schneid), and osage orange (Maclura pomifera (Raf.) Schneid) produced exudates with relatively high levels of phenolic compounds, at concentrations capable of supporting growth of PCB-degrading bacteria (Fletcher and Hegde, 1995).
-        A variety of ectomycorrhizal fungi, which grow symbiotically with the roots of a host plant, metabolized various congenors of PCBs (Donnelly and Fletcher, 1995).
-        The surfactants linear alkylbenzene sulfonate (LAS) and linear alcohol ethoxylate (LAE) at 1 mg/L had greater mineralization rates in the presence of cattail (Typha latifolia) root microorganisms than in non-rhizosphere sediments (Federle and Schwab, 1989).

VIII.    PENUTUP

Dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menurunkan, memindahkan atau menghilangkan kontaminan pada area-area tercemar yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, penggunaan pestisida dan lain-lain, maka fitoremediasi yang didasarkan pada mekanisme fisiologis tanaman merupakan pilihan strategis bila dibandingkan pendekatan kimiawi.
Kajian-kajian penelitian terkait dengan penggunaan jenis-jenis tanaman di Indonesia untuk fitoremediasi masih perlu dilakukan, hal ini mengingat pada area-area terkontaminasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, berbagai pilihan fitoremediasi perlu disesuaikan dengan jenis dan tingkat pencemaran yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Azaizeh, H. A., Gowthaman, S., and Terry, N. 1997. Microbial selenium volatilization in rhizosphere and bulk soils from a constructed wetland. Journal of Environmental Quality, 26(3):666672.
Cunningham, S. D., Shann, J. R., Crowley, D. E., and Anderson, T. A. 1997. Phytoremediation of contaminated water and soil. In E. L. Kruger, T. A. Anderson, & J. R. Coats (Eds.), Phytoremediation of soil and water contaminants. ACS Symposium series 664 (pp. 219). Washington, DC: American Chemical Society.
Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. 2003. Fitoremediasi: upaya mengolah air limbah dengan media tanaman. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.
Dushenkov, S., and Kapulnik, Y. 2000. Phytofilitration of metals. In I. Raskin & B. D. Ensley (Eds.), Phytoremediation of toxic metals – Using plants to clean-up the environment (pp. 89106). New York: Wiley.
Erakhrumen, A. A. 2007. Phytoremediation: an environmentally sound technology for pollution prevention, control and remediation in developing countries. Educational Research and Review Vol. 2 (7): 151-156.
Ghosh, M., and Singh, S. P. 2005. A review on phytoremediation of heavy metals and utilization of its by-products. Applied Ecology and Environmental Research, 3(1):118.
Kachout, S.S., Leclerc, J.C.,  Mansoura,  A.B., Rejeb, M.N., and Ouerghi, Z. 2009.  Effects of Heavy Metals on Growth and Bioaccumulation of the Annual Halophytes Atriplex Hortensis and A. Rosea. Journal of Applied Sciences Research 5(7): 746-756.
Padmavathiamma, P.K. and  Li, L.Y. 2007. Phytoremediation Technology: Hyper-accumulation Metals in Plants. Water Air Soil Pollut 184:105126.
Pivetz, B.E. 2001. Phytoremediation of Contaminated Soil and Ground Water at Hazardous Waste Sites. EPA/540/S-01/500. National Risk Management Research Laboratory Subsurface Protection and Remediation Division.  Oklahoma.
Prasad, M. N. V, and Freitas, H. 2003. Metal hyperaccumulation in plants Biodiversity prospecting for phytoremediation technology. Electronic Journal of Biotechnology, 6, 275321.
Thangavel, P., and Subhuram, C. V. 2004. Phytoextraction Role of hyper accumulators in metal contaminated soils. Proceedings of the Indian National Science Academy. Part B, 70(1):109130.
Tordoff, G. M., Baker, A. J. M., and Willis, A. J. 2000. Current approaches to the revegetation and reclamation of metalliferous mine wastes. Chemosphere, 41(12):219228.





Lampiran 1. Tinjauan beberapa proses fitoremediasi

Mekanisme
Tujuan proses
Media
Kontaminan
Tanaman
Status
Phytoextraction
Hyper-accumulator
Tanah, endapan, lumpur
Inorganic:logam: Ag, Cd, Co, Cr, Cu, Hg, Mn, Mo, Ni, Pb, Zn, radionuclides:  Sr, 137Cs, 230Pb, 238,234U
Alyssum, bunga matahari, poplar hybrid
Laboratorium, pilot dan penerapan lapangan
Rhyzofiltration
Akumulasi di perakaran,
Contaminant extraction and
capture
Air tanah, air permukaan
Organik/Inorganik: logam,
radionuclides
Bunga matahari, bunga bakung
Laboratorium, skala pilot
Phytostabilization
Complexation, Contaminant
destruction
Tanah, endapan, lumpur
Inorganik: As, Cd, Cr, Cu, Hs,
Pb, Zn
Poplar hybrid, rumput-rumputan
Penerapan lapangan
Rhizodegradation
Contaminant destruction
Tanah, endapan, lumpur, air tanah
Senyawa organik (TPH,
PAHs, pesticides, chlorinated
solvents, PCBs)
Red mulberry, rumput-rumputan,
Poplar hybrid, cattail, padi
Penerapan lapangan
Phytodegradation
Contaminant destruction
Tanah, endapan, lumpur, air tanah, air permukaan
Organic compounds,
chlorinated solvents,phenols,
herbicides,munitions
Ganggang, stonewort, hybrid
Poplar hybrid, black willow, bald
cypress
Penerapan lapangan
Phytovolatilization
Volatilisation by leaves,
Contaminants extraction from
media and release into air
Air tanah,  Tanah, endapan, lumpur
Organik/Inorganik:
Chlorinated solvents, beberapa inorganik (Se, Hg, As)
Poplar, alfalfa, black locust,
Indian mustard
Laboratorium dan penerapan lapangan
Sumber : Ghosh and Singh (2005).