secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Rabu, 06 Juli 2011

Meningkatkan produktivitas hutan berbasis manajemen nutrisi


KONSEP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN TROPIS TERDEGRADASI
MELALUI PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN BERBASIS MANAJEMEN NUTRISI
Oleh :
Ichsan Suwandhi
Dosen Kehutanan ITB Kampus Jatinangor
Doctoral Student of  Tropical Silviculture IPB

PENDAHULUAN
Hutan hujan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan yang paling terancam di muka bumi. Menurut Butler (2007), antara tahun 1990 – 2005, negara ini telah kehilangan lebih dari 28 juta hektar hutan, termasuk 21,7 persen hutan perawan. Penurunan hutan-hutan primer yang kaya secara biologi ini adalah yang kedua di bawah Brazil. Jumlah hutan-hutan di Indonesia makin menurun dan banyak dihancurkan karena  aktivitas manusia. Data pada tahun 1960-an, sebanyak 82% luas negara Indonesia ditutupi oleh hutan hujan, turun menjadi 68% di tahun 1982, 53% di tahun 1995, dan 49% pada saat ini. Umumnya, hutan tersebut bisa dikategorikan sebagai hutan yang telah terdegradasi.
Manusia adalah penyebab utama terdegradasinya hutan hujan tropis. Di Indonesia, aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu, pembakaran, penambangan di wilayah hutan, agrikultur, pembangunan konstruksi jalan, perkampungan, dan peternakan. Hutan di Indonesia kini sedang dalam kondisi yang parah karena kehilangan lebih dari dua juta hektare area hutan pada setiap tahun.
Dari sekian banyak penyebab terdegradasinya hutan tropis, aktivitas penebangan hutan dan kebakaran memberikan kontribusi tertinggi.  Penebangan hutan dilakukan dengan alasan kebutuhan kayu untuk bangunan dan kayu bakar. Aktivitas penebangan hutan di Indonesia dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan-perusahan industry kayu baik secara legal maupun illegal. Praktek penebangan hutan sangat luas terjadi di pulau Kalimantan dan Papua setelah sebelumnya di Sumatera, di mana perusahaan kayu terus masuk semakin dalam ke daerah interior untuk mencari pohon yang cocok. Hal tersebut telah menimbulkan kerusakan yang semakin parah pada hutan hujan di Indoensia. Sebagai contoh, di pertengahan 1990-an sekitar 7% dari ijin penebangan berada di Irian Jaya (Papua), namun saat ini lebih dari 20 persen ada di kawasan tersebut (Butler, 2007).
Dalam melindungi hutan hujan, kita juga butuh melihat bagaimana hutan yang rusak dapat disehatkan kembali. Walaupun tidak mungkin untuk menanam kembali sebuah hutan hujan, beberapa hutan hujan dapat memulihkan diri setelah ditebangi, terutama jika mereka mendapat bantuan melalui penanaman pohon kembali.
RUMUSAN MASALAH
Produktivitas hutan semakin menurun seiring dengan laju peningkatan deforestasi, illegal logging dan konversi lahan hutan. Sedangkan permintaan terhadap hasil hutan terus meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, proferti dan industri. Hal ini menyebabkan adanya ketimpangan supply dan demand hasil hutan. Supply hasil hutan berkaitan erat dengan produktivitas lahn hutan, jika supply ingin dinaikan maka produktivitas hutan harus ditingkatkan.   
Kondisi hutan saat ini mengalami penurunan produktivitasnya seiring dengan berkurangnya luas hutan. Menurut hasil TGHK (1983) luas hutan Indonesia tercatat 143,57 juta ha. Namun dalam kurun waktu 20 tahun luas hutan Indonesia tinggal 109,37 juta ha (Badan Planologi Kehutanan, 2000). Selama kurun waktu dua dekade telah terjadi konversi kawasan hutan menjadi kawasan non hutan hampir mencapai 34 juta ha. Dengan demikian setiap tahunnya terjadi deforestasi seluas 1,7 juta ha. Pengurangan kawasan hutan terbesar jatuh pada kawasan hutan produksi yang mencapai 31,19 ha. (Dirjen BPK Dephut, 2003). Nugraha (2005) berpendapat laju deforestasi mencapai 2,8 juta ha/th.
Lebih lanjut BPK (2003) melaporkan bahwa dewasa ini hutan yang rusak di luar kawasan sebesar 42,11 juta ha, sedangkan yang di dalam kawasan sebesar 59,62 juta ha. Konfigurasi kerusakan hutan di dalam kawasan adalah sebagai berikut: seluas 44,42 juta ha kerusakan terjadi di kawasan hutan produksi (79,19%). Sementara itu kerusakan di kawasan hutan lindung mencapai 10,52 juta ha (17,64%) dan kerusakan di hutan konversi kurang dari 4,69 juta ha (7,87%).
Penurunan produktivitas hutan tropis secara langsung terlihat pada penurunan kandungan nutrisi pada tanah hutan, hal ini disebabkan di wilayah tropika nutrisi banyak disimpan pada biomassa (vegetasi) di atas tanah sebagai bentuk dari system siklus hara tertutup, sehingga pada saat dilakukan pengambilan biomassa berimplikasi pada terambilnya sebagian besar nutrisi hutan.
Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan suatu upaya peningkatan produktivitas hutan agar kelestarian hasil dan manfaatnya dapat berjalan dengan baik, maka dalam paper ini dirumuskan suatu konsep peningkatan produktivitas hutan tropis terdegradasi berbasis manajemen nutrisi.  Peningkatan produktivitas hutan dengan memahami keseimbangan input output nutrisi merupakan pilihan yang rasional mengingat kondisi hutan yang telah terdegradasi sangat sulit untuk pulih sebagaimana kondisi hutan semula apabila tidak diimbangi dengan input nutrisi yang memadai.


PRODUKTIVITAS HUTAN TROPIKA
Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup lainnya dan antara makhluk hidup dengan lingkungan abiotik (habitat). Interaksi dalam ekosistem didasari adanya hubungan saling membutuhkan antara sesama makhluk hidup dan adanya eksploitasi lingkungan abiotik untuk kebutuhan dasar hidup bagi makhluk hidup. Jika dilihat dari aspek kebutuhannya, sesungguhnya interaksi bagi makhluk hidup umumnya merupakan upaya mendapatkan energy bagi kelangsungan hidupnya yang meliputi pertumbuhan, pemeliharaan, reproduksi dan pergerakan.
Sumber energy primer bagi ekosistem adalah cahaya matahari. Energi cahaya matahari hanya dapat diserap oleh organisme tumbuhan  hijau dan organisme fotosintetik. Energi cahaya digunakan untuk mensintesis molekul anorganik menjadi molekul organik yang kaya energy. Molekul tersebut selanjutnya disimpan dalam bentuk makanan dalam tubuhnya dan menjadi sumber bahan organic bagi organisme lain yang heterotrof. Organisme yang memiliki kemampuan untuk mengikat energy dari lingkungan disebut produsen.
Produktivitas Primer
Produksi bagi ekosistem merupakan proses pemasukan dan penyimpanan energy dalam ekosistem. Pemasukan energy dalam ekosistem yang dimaksud adalah pemindahan energy cahaya menjadi energy kimia oleh produsen. Sedangkan penyimpanan energy yang dimaksudkan adalah penggunaan energy oleh konsumen dan mikroorganisme. Laju produksi makhluk hidup dalam ekosistem disebut sebagai produktivitas.
Produktivitas primer merupakan laju penambatan energy yang dilakukan oleh produsen.  Menurut Campbell (2002), Produktivitas primer menunjukkan Jumlah energy cahaya yang diubah menjadi energy kimia oleh autotrof suatu ekosistem selama suatu periode waktu tertentu. Total produktivitas primer dikenal sebagai produktivitas primer kotor (gross primary productivity, GPP). Tidak semua hasil produktivitas ini disimpan sebagai bahan organik pada tubuh organisme produsen atau pada tumbuhan yang sedang tumbuh, karena organisme tersebut menggunakan sebagian molekul tersebut sebagai bahan bakar organic dalam respirasinya. Dengan demikian, Produktivitas primer bersih (net primary productivity, NPP) sama dengan produktivitas primer kotor dikurangi energy yang digunakan oleh produsen untuk respirasi (Rs):
NPP = GPP – Rs
Dalam sebuah ekosistem, produktivitas primer menunjukkan simpanan energy kimia yang tersedia bagi konsumen. Pada sebagian besar produsen primer, produktivitas primer bersih dapat mencapai 50% – 90% dari produktivitas primer kotor. Menurut Campbell et al (2002), Rasio NPP terhadap GPP umumnya lebih kecil bagi produsen besar dengan struktur nonfotosintetik yang rumit, seperti pohon yang mendukung sistem batang dan akar yang besar dan secara metabolik aktif.
Produktivitas primer dapat dinyatakan dalam energy persatuan luas persatuan waktu (J/m2/tahun), atau sebagai biomassa (berat kering organik) vegetasi yang ditambahkan ke ekosistem persatuan luasan per satuan waktu (g/m2/tahun). Namun demikian, produktivitas primer suatu ekosistem hendaknya tidak dikelirukan dengan total biomassa dari autotrof fotosintetik yang terdapat pada suatu waktu tertentu, yang disebut biomassa tanaman tegakan (standing crop biomass). Produktivitas primer menunjukkan laju di mana organisme-organisme mensintesis biomassa baru. Meskipun sebuah hutan memiliki biomassa tanaman tegakan yang sangat besar, produktivitas primernya mungkin sesungguhnya kurang dari produktivitas primer beberapa padang rumput yang tidak mengakumulasi vegetasi (Campbell et al., 2002).
Estimasi Fotosintesis
Estimasi potensi produktivitas primer maksimum dapat diperoleh dari efisiensi potensial fotosintetis. Energi cahaya yang dipancarkan matahari ke bumi ± 7.000 kkal/m2/hari pada musim panas atau daerah tropis dalam keadaan tidak mendung. Dari jumlah tersebut, sebanyak ± 2.735 kkal dapat dimanfaatkan secara potensial untuk fotosintetis bagi tumbuhan. Sekitar 70% energy yang tersedia berperan dalam perantara pembentukan pemindahan energy secara fotokhemis ke fotosintesis. Dari total energy tersebut, hanya sekitar 28% diabsorbsi ke dalam bentuk yang menjadi bagian dari pemasukan energy ke dalam ekosistem. Prinsipnya dibutuhkan minimum 8 Einstein (mol quanta) cahaya untuk menggerakkan 1 mol karbohidrat.
Secara teoritis produktivitas primer bruto ekosistem dapat dihasilkan 635 kkal/m2/hari dan sebanyak 165 g/m2/hari berubah ke massa bahan organik. Untuk keperluan respirasi harian, tumbuhan menggunakan ± 25% dari produk organik. Dengan demikian produksi netto yang diperoleh ekosistem ± 124 g/m2/hari. Estimasi hasil itu dapat diperoleh jika cahaya maksimal, efisiensi maksimal dalam perubahan cahaya menjadi karbohidrat dan respirasi minimum. Salah satu bukti catatan produktivitas bersih harian adalah sebesar 54 g/m2/hari pada ekosistem padang rumput tropis dengan radiasi cahaya yang tinggi.
Pengukuran Produktivitas
Pengukuran produktivitas dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti metode biomassa, metode penandaan  dan metode metabolisme. Penelitian produktivitas di Indonesia umumnya menggunakan metode penandaan. Produktivitas yang diperoleh dari hasil pengukuran ini bisa lebih kecil dari produktivitas yang sebenarnya karena tidak memperhitungkan kehilangan seresah, pengaruh grazing hewan-hewan herbivore yang memakan tumbuhan. Beberapa peneliti membagi biomassa atau produktivitas menurut letaknya terhadap substrat yaitu biomassa di atas substrat (meliputi batang, helaian dan pelepah daun) dan biomassa di bawah substrat meliputi akar, dan rhizome (Dedi, 2009).
Tunas-tunas fotosintetik pada tumbuhan merupakan organ penting untuk berproduksi. Namun banyak hasil fotosintesis ditranslokasikan ke bawah tanah, di mana hasil fotosintesis tersebut mendukung pertumbuhan akan dan disimpan. Menurut Mcnaughton dan Wolf (1998), siklus tahunan biomassa tumbuhan di atas dan di bawah tanah mengarah kepada hubungan terbalik. Selama musim pertumbuhan, ketika biomassa di atas tanah meningkat cepat, biomas di bawah tanah umumnya cenderung menurun. Sedangkan pada akhir musim, biomassa di bawah tanah umumnya meningkat kembali karena kelebihan produksi yang dihasilkan tunas-tunas kemudian dipindahkan ke bawah.
Produktivitas Ekosistem Dunia
Ekosistem yang berbeda sangat bervariasi dalam produktivitasnya. Hutan hujan tropis merupakan salah satu ekosistem terrestrial yang paling produktif. Di samping karena  hutan hujan tropis menutupi sebagian besar bumi dan memiliki keanekaragaman yang sangat tinggi, besarnya volume biomassa tumbuhan persatuan luas pada hutan hujan tropis sehingga memberi kesan produktivitas yang sangat tinggi dan lahan yang sangat subur.
Muara dan terumbu karang juga memiliki produktivitas yang sangat tinggi, akan tetapi sumbangan total mereka terhadap produktivitas global relative kecil karena areal ekosistem yang tidak begitu luas di Bumi. Lautan terbuka menyumbangkan lebih banyak produktivitas primer dibandingkan dengan ekosistem lain, akan tetapi hal ini disebabkan oleh ukurannya yang sangat besar sedangkan produktivitas persatuan luasnya relative rendah. Gurun dan tundra juga memiliki produktivitas yang rendah.
Tabel 1.  Produktivitas Primer Biosfer
No
Tipe Ekosistem
Bahan Kering (g/m2/tahun)
1
Hutan Hujan Tropis
1000 – 3500
2
Hutan Musim Tropis
1000 – 2500
3
Hutan  Iklim Sedang:-          Selalu Hijau
-          Luruh

600 – 2500
600 – 2500
4
Hutan Boreal
400 – 2000
5
Savana
200 – 2000
6
Padang Rumput Iklim Sedang
200 – 1500
7
Tundra dan Alvin
10 – 400
8
Gurun dan Semak Gurun
10 – 250
Sumber : Whittaker & Likens (1975) dalam Wiharto (2007)

Berdasarkan data tabel 1 di atas, hutan hujan tropis memiliki produktivitas primer 1000 – 3500 g/m2/tahun dan hanya berbeda rentang dengan hutan musim tropis yakni 1000-2500 g/m2/tahun. Produktivitas primer ekosistem terendah dimiliki oleh tipe ekosistem gurun dan semak gurun yakni 10–250 g/m2/tahun yang juga berbeda rentang dengan ekosistem tundra dan Alvin yakni 10 – 400 g/m2/tahun. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa produktivitas primer ekosistem hutan hujan tropis paling tinggi dibandingkan dengan produktivitas ekosistem hutan musim tropis, hutan iklim sedang, hutan boreal, savanna, padang rumput iklim sedang, tundra dan Alvin, serta gurun dan semak.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Menurut Jordan (1985) dalam Wiharto (2007), Jika produktivitas suatu ekosistem hanya berubah sedikit dalam jangka waktu yang lama maka hal itu menandakan kondisi lingkungan yang stabil, tetapi jika perubahan yang dramatis maka menunjukkan telah terjadi perubahan lingkungan yang nyata atau terjadi perubahan yang penting dalam interaksi di antara organisme penyusun eksosistem. Menurut Campbell (2002), terjadinya perbedaan produktivitas pada berbagai ekosistem dalam biosfer disebabkan oleh adanya faktor pembatas dalam setiap ekosistem. Faktor yang paling penting dalam pembatasan produktivitas bergantung pada jenis ekosistem dan perubahan musim dalam lingkungan.
Produktivitas pada ekosistem dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
Suhu
Berdasarkan gradasi suhu rata-rata tahunan, maka produktivitas akan meningkat dari wilayah kutub ke ekuator. Namun pada hutan hujan tropis, suhu bukanlah menjadi faktor dominan yang menentukan produktivitas, tapi lamanya musim tumbuh. Adanya suhu yang tinggi dan konstan hampir sepanjang tahun dapat bermakna musim tumbuh bagi tumbuhan akan berlangsung lama, yang pada gilirannya meningkatkan produktivitas.
Suhu secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh pada produktivitas. Secara langsung suhu berperan dalam mengontrol reaksi enzimatik dalam proses fotosintetis, sehingga tingginya suhu dapat meningkatkan laju maksimum fotosintesis. Sedangkan secara tidak langsung, misalnya suhu berperan dalam membentuk stratifikasi kolom perairan yang akibatnya dapat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton.
Cahaya
Cahaya merupakan sumber energy primer bagi ekosistem. Cahaya memiliki peran yang sangat vital dalam produktivitas primer, oleh karena hanya dengan energy cahaya tumbuhan dan fitoplankton dapat menggerakkan mesin fotosintesis dalam tubuhnya. Hal ini berarti bahwa wilayah yang menerima lebih banyak dan lebih lama penyinaran cahaya matahari tahunan akan memiliki kesempatan berfotosintesis yang lebih panjang sehingga mendukung peningkatan produktivitas primer.
Pada ekosistem terrestrial seperti hutan hujan tropis memilik produktivitas primer yang paling tinggi karena wilayah hutan hujan tropis menerima lebih banyak sinar matahari tahunan yang tersedia bagi fotosintesis dibanding dengan iklim sedang (Wiharto, 2007). Sedangkan pada eksosistem perairan, laju pertumbuhan fitoplankton sangat tergantung pada ketersediaan cahaya dalam perairan. Laju pertumbuhan maksimum fitoplankton akan mengalami penurunan jika perairan berada pada kondisi ketersediaan cahaya yang rendah.
Air, curah hujan dan kelembaban
Produktivitas pada ekosistem terrestrial berkorelasi dengan ketersediaan air. Air merupakan bahan dasar dalam proses fotosintesis, sehingga ketersediaan air merupakan faktor pembatas terhadap aktivitas fotosintetik.  Secara kimiwi air berperan sebagai pelarut universal, keberadaan air memungkinkan membawa serta nutrient yang dibutuhkan oleh tumbuhan.
Air memiliki siklus dalam ekosistem. Keberadaan air dalam ekosistem dalam bentuk air tanah, air sungai/perairan, dan air di atmosfer dalam bentuk uap. Uap di atmosfer dapat mengalami kondensasi lalu jatuh sebagai air hujan. Interaksi antara suhu dan air hujan yang banyak yang berlangsung sepanjang tahun menghasilkan kondisi kelembaban yang sangat ideal tumbuhan terutama pada hutan hujan tropis untuk meningkatkan produktivitas.
Menurut Jordan (1995) dalam Wiharto (2007), tingginya kelembaban pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas mikroorganisme. Selain itu, proses lain yang sangat dipengaruhi proses ini adalah pelapukan tanah yang berlangsung cepat yang menyebabkan lepasnya unsure hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan. Terjadinya petir dan badai selama hujan menyebabkan banyaknya nitrogen yang terfiksasi di udara, dan turun ke bumi bersama air hujan.
Namun demikian, air yang jatuh sebagai hujan  akan menyebabkan tanah-tanah yang tidak tertutupi vegetasi rentan mengalami pencucian yang akan mengurangi kesuburan tanah. Pencucian adalah penyebab utama hilangnya zat hara dalam ekosistem.
Nutrien
Tumbuhan membutuhkan berbagai ragam nutrient anorganik, beberapa dalam jumlah yang relatif besar dan yang lainnya dalam jumlah sedikit, akan tetapi semuanya penting. Pada beberapa ekosistem terrestrial, nutrient organic merupakan faktor pembatas yang penting bagi produktivitas. Produktivitas dapat menurun bahkan berhenti jika suatu nutrient spesifik atau nutrient tunggal tidak lagi terdapat dalam jumlah yang mencukupi. Nutrient spesifik yang demikian disebut nutrient pembatas (limiting nutrient). Pada banyak ekosistem nitrogen dan fosfor merupakan nutrient pembatas utama, beberapa bukti juga menyatakan bahwa CO2 kadang-kadang membatasi produktivitas.
Produktivitas di laut umumnya terdapat paling besar diperairan dangkal dekat benua dan disepanjang terumbu karang, di mana cahaya dan nutrient melimpah. Produktivitas primer persatuan luas laut terbuka relative rendah karena nutrient anorganic khusunya nitrogen dan fosfor terbatas ketersediaannya dipermukaan. Di tempat yang dalam di mana nutrient melimpah, namun cahaya tidak mencukupi untuk fotosintesis. Sehingga fitoplankton, berada pada kondisi paling produktif ketika arus yang naik ke atas membawa nitrogen dan fosfor kepermukaan.
Tanah 
Potensi ketersedian hidrogen yang tinggi pada tanah-tanah tropis disebabkan oleh diproduksinya asam organik secara kontinu melalui respirasi yang dilangsungkan oleh mikroorganisme tanah dan akar (respirasi tanah). Jika tanah dalam keadaan basah, maka karbon dioksida (CO2) dari respirasi tanah beserta air (H2O) akan membentuk asam karbonat (H2CO3 ) yang kemudian akan mengalami disosiasi menjadi bikarbonat (HCO3-) dan sebuah ion hidrogen bermuatan positif (H+). Ion hidrogen selanjutnya dapat menggantikan kation hara yang ada pada koloid tanah, kemudian bikarbonat bereaksi dengan kation yang dilepaskan oleh koloid, dan hasil reaksi ini dapat tercuci ke bawah melalui profil tanah (Wiharto, 2007).
Hidrogen yang dibebaskan ke tanah sebagai hasil aktivitas biologi, akan bereaksi dengan liat silikat dan membebaskan aluminium. Karena aluminium merupakan unsur yang terdapat dimana-mana di daerah hutan hujan tropis, maka alminiumlah yang lebih dominan berasosiasi dengan tanah asam di daerah ini. Sulfat juga dapat menjadi sumber pembentuk asam di tanah. Sulfat ini dapat masuk ke ekosistem melalui hujan maupun jatuhan kering, juga melalui aktivitas organisme mikro yang melepaskan senyawa gas sulfur. Asam organik juga dapat dilepaskan dari aktivitas penguraian serasah (Jordan, 1985 dalam Wiharto, 2007 ). 
 Herbivora
Menurut Barbour at al. (1987) dalam Wiharto (2007), sekitar 10 % dari produktivitas vegetasi darat dunia dikonsumsi oleh herbivora biofag. Persentase ini bervariasi menurut tipe ekosistem darat. Namun demikian, menurut McNaughton dan Wolf (1998) bahwa akibat yang ditimbulkan oleh herbivore pada produktivitas primer sangat sedikit sekali diketahui. Bahkan hubunga antar herbivore dan produktivitas primer bersih kemungkinan bersifat kompleks, di mana konsumsi sering menstimulasi produktivitas tumbuhan sehingga meningkat mencapai tingkat tertentu yang kemudian dapat menurun jika intensitasnya optimum. 
Jordan (1985) dalam Wiharto (2007) menyatakan, bahwa walaupun defoliasi pada individu pohon secara menyeluruh sering sekali terjadi, hal ini disebabkan oleh tingginya keanekaragaman di daerah hutan hujan tropis. Selain itu, banyak pohon mengembangkan alat pelindung terhadap herbivora melalui produksi bahan kimia tertentu yang jika dikonsumsi oleh herbivora memberi efek yang kurang baik bagi herbivora. 

KERENTANAN EKOSISTEM HUTAN TROPIKA
Kawasan hutan di Indonesia mempunyai tipe ekosistem khusus. Karena letaknya di kawasan tropika, maka kawasan hutan di Indonesia digolongkan dalam kawasan hutan tropika. Kawasan ekosistem hutan tropika sendiri mempunyai cakupan seluruh kawasan hutan yang terletak di antara 23 ½ 0 LU - 23 ½ 0 LS. Di dunia kawasan yang masih mempunyai hutan tropika tersebar di tiga lokasi, yakni Amerika (Amazone) dengan dominasi tumbuhan dari famili leguminoceae, Asia Tenggara (Indomalayan) yang didominasi oleh tumbuhan dari famili Dipterocarpaceae , dan daerah Zaire (Kongo) dengan dominasi tumbuhan dari famili melliceae.

Sumber : Nurdin (2002)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa luas ekosistem hutan tropika di hutan Indonesia seluas 10,85 % dari luas total ekosistem hutan tropika dunia. Seluruh kawasan hutan di Indonesia merupakan kawasan ekosistem hutan tropika. Melihat hal ini tentunya pengetahuan tentang karakteristik ekosistem hutan tropika sangat diperlukan guna menunjang pembangunan kehutanan di Indonesia yang berbasis pada ekologi dan kelestarian.
Fungsi Hutan Tropika
Secara garis besar, fungsi Hutan Tropika dapat dibagi kedalam tiga fungsi utama yakni :
1.    Fungsi Perlindungan
Adanya berbagai macam vegetasi yang tumbuh di kawasan ekosistem hutan tropika, menyebabkan tanah bawah vegetasi hutan tropika terlindungi dari sinar matahari secara langsung. Proses perlindungan tanah hutan tropika terjadi melalui proses penyerapan dan pemantulan radiasi sinar matahari oleh vegetasi di kawasan ini.  Disamping itu adanya vegetasi juga bisa menjaga tingkat kelembaban dan kandungan CO2 melalui proses penahanan angin oleh vegetasi sehingga bisa membentuk suatu lingkungan yang cocok untuk organisme lain di lantai hutan.
2.    Fungsi Pengontrol
Adanya Hutan tropika menyebabkan partikel-partikel udara yang berbahaya bagi mahluk hidup dapat dinetralisir. Melalui proses fotosintesis, tumbuhan menyerap CO2 suatu zat yang berbahaya bagi mahluk hidup dan mengeluarkan O2 yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan demikian adanya hutan tropika juga bisa dikatakan sebagai pengontrol tingkat pencemaran udara. Disamping itu hutan tropika juga berfungsi sebagai pengontrol tata air. Hutan tropika bisa menyimpan air dalam tanah dan kemudian mengeluarkannya dalam bentuk mata air dan sungai, dengan demikian siklus air menjadi lancar.

3.    Fungsi Produksi
Hutan tropika bisa berfungsi sebagai produksi dalam bentuk berbagai hasil hutan baik kayu maupun non kayu seperti damar, resin, buah-bauhan, obat-obatan dan lain-lain.  Bila kondisi lingkungan sesuai artinya ekosistemnya tidak terganggu, hutan tropika bisa mengatur proses regenerasi sendiri produksi hutannya.
Karakteristik Hutan Tropika
Ekosistem hutan tropika mempunyai karakteristik khusus, berbeda dengan ekosistem-ekosistem lainya. Adapun berbagai karakteristik tersebut antara lain :
• Mempunyai curah hujan yang tinggi, berkisar antara 2000 – 3000 cm / th.
• Mempunyai perbedaan temperatur yang rendah.
• Mempunyai kelembaban udara yang tinggi.
• Mempunyai tajuk yang berlapis-lapis atau berstrata.
• Mempunyai tingkat keaneka ragaman jenis atau Biodeversitas yang tinggi
• Selalu hijau atau evergreen.
Hutan Tropika merupakan Ekosistem yang labil
Dibalik keindahan dan kelebatan hutan tropika, ternyata hutan tropika merupakan suatu ekosistem yang labil atau rentan. Kerentanan ekosistem ini disebabkan oleh beberapa sebab antara lain :
Adaptasi terhadap lingkungan yang rendah
Ekosistem hutan tropika muncul setelah jaman Dinosaurus, ekosistem ini telah ada dan berkembang sejak jutaan tahun yang lalu dalam keadaan tertentu (tanpa gangguan atau campur tangan manusia), sehingga apabila terjadi kerusakan pada ekosistem ini yang disebabkan oleh kegiatan pembalakan atau lainnya, maka ekosistem hutan tropika akan mengalami kesulitan dalam memperbaiki kondisinya seperti sediakala dan proses ini akan memakan waktu yang sangat lama.
Tingkat kesuburan tanah (soil fertility) yang rendah
Kebanyakan orang mengira kalau tanah di ekosistem hutan tropika adalah subur, ini dilihat dari banyaknya berbagai jenis pohon dan tumbuhan yang hidup didalamnya.  Pohon-pohon yang tumbuh bisa mencapai diameter ratusan centimeter dan tingginyapun bisa mencapai puluhan meter. Hal ini memperkuat anggapan orang bahwa tanah di ekositem hutan tropika ini subur. Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, karena pada umumnya kondisi tanah pada ekosistem hutan tropika adalah tidak subur. Pohon-pohon dan tumbuhan tertentu saja yang dapat tumbuh pada ekosistem hutan tropika. Jenis-jenis pohon dan tumbuhan yang dapat tumbuh pada ekosistem hutan tropika adalah jenis-jenis yang tidak memerlukan nutrisi yang banyak dalam pertumbuhannya. Jenis-jenis pohon Dipterocarpaceae yang banyak tumbuh pada ekosistem hutan tropika adalah salah satu contohnya. Nutrisi yang diperlukan oleh tumbuhan banyak terdapat pada lapisan tanah atas (top soil), sedangkan top soil di hutan tropika relativ sedikit hanya beberapa centimeter dalamnya. Oleh karena itu sebenarnya tanah di hutan tropika kurang cocok untuk dijadikan areal pertanian yang memerlukan nutrisi yang banyak untuk pertumbuhannya.
Siklus Nutrisi yang tertutup (close nutrision cycle)
Hutan tropika mempunyai strategi yang unik untuk mengatasi kemiskinan hara makanan dalam tanah, berbeda sekali dengan hutan di daerah iklim sedang dan dingin. Bila kita telaah hutan tropis, akan terlihat bahwa sebenarnya tidak tersimpan dalam tanah, melainkan dalam tubuh tumbuhan yang masih hidup.   Dalam sebuah ekosistem hutan, mahluk hidup merupakan gudang makanan. Namun pada kenyataannya pohon-pohon hidup itu selalu diancam oleh kematian dan serangan hewan herbivora setiap saat. Bila tumbuhan itu mati dan bersama organisme mati lainnya akan segera pula mengalami dekomposisi yang melepaskan hasilnya ke dalam tanah. Di daerah tropika yang lembab dan panas, dekomposisi berjalan sangat cepat, bila dibarengi curah hujan yang tinggi, maka hasil dekomposisi akan cepat hilang di bawa air tanah ke tempat lain. Ini berarti suatu kebocoran ekosistem. Kesuburan hilang, padahal cadangan dalam tanah tidak ada. Tetapi pada lapisan atas tanah tersebar rapat akar-akar halus atau bulu akar pohon-pohon, yang siap dengan cepat menyerap hara makanan dalam larutan air tanah. Penyerapan ni dibantu pula oleh kehadiran jamur yang bersimbiosisi dengan pohon dan membentuk mikoriza pada akar. Tidak jarang pula akar bulu dan meiselium (beneng-benang pada jamur) menembus langsung pada daun-daun mati yang sedang mengalami dekomposisi. Dengan cara itulah hara makanan yang dilepas oleh proses dekomposisi dengan cepat diserap dan dikembalikan ke dalam tubuh pohon untuk disintesis menjadi bahan yang lebih kompleks dan membentuk tubuh pohon itu lagi. Dengan demikian kemungkinan hara makanan hilang ke lingkungan lain dapat dicegah.  Sistem penndauran hara yang seperti inlah yang dinamakan dengan sisitem peredaran tertutup.
Adanya kegiatan pembalakan merangsang akar untuk mengeluarkan nutrisi yang tersimpan ke dalam tanah, sehingga bila terjadi hujan akan mudah tercuci oleh air hujan (erosi).  Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tentunya sangat membutuhkan banyak dana untuk melakukan pembangunan. Salah satunya adalah memanfaatkan sumberdaya alam dalam hal ini hutan tropika. Melihat kerentanan-kerentanan ekosistem hutan tropika perlu adanya kearifan dalam memanfaatkan hutan tropika sehingga hutan tropika di Indonesia dapat memberikan manfaat yang optimal tanpa merusak kelestariannya.
Di Australia, pemupukan pada tegakan Pinus radiata pasca penjarangan pertama dengan pupuk N dan P dapat meningktkan produktivitas yang signifikan (>30% dalam luas bidang dasar dan volume dalam kurun waktu 7 tahun) (Sar dan Crane 1984, Turner et al 1995). Di Selandia Baru, pemupukan setelah penjarangan meningktkan pertumbuhan berkisar antara 28 % sampai 69 %. (Crane, 1984). Hara yang berpengaruh pada pemupukan pasca penjarangan adalah N dan P. (Turner, et al, 1995).
Kajian kelestarian produktivitas hutan tanaman daur pendek telah dilakukan pada A.mangium. Hasilnya pada daur kedua, pada tanah PMK di Sumatera Selatan mennjukkan bahwa produktivitasnya A.mangium tidak menurun, malahan lebih tinggi dari daur pertama. Pertanaman daur kedua pada umur 3 tahun memiliki volume batang (total) berkisar antara 132-160 m3/ha. Peningkatan produktivitas ini disebabkan oleh penggunaan bibit bermutu, dikombinasikan dengan praktik silvikultur yang tepat, antara lain penyiapan lahan minimum, manajemen bahan organik, masukan hara, dan pengendalian gulma (Hardiyanto et al. 2004).

PROBLEM PENURUNAN PRODUKTIVITAS HUTAN

Penurunan produktivitas hutan seiring dengan menurunnya luasan efektif hutan produksi.  Pada tahun 1997 jumlah HPH aktif tercatat sebanyak 450 buah dengan luas areal konsesi sebesar 52.813.041 ha. Total kayu bulat dari berbagai jenis yang dapat diproduksi saat itu sebesar 23.950.247 m3/th. Tahun 2000 jumlah HPH berkurang menjadi 407 buah dengan luas areal konsesi sebesar 37.471.714 ha (turun 29,05%). Pada tahun ini produksi kayu bulat yang diproduksi mencapai 13.059.808 m3/th atau mengalami penurunan sebesar 45,47%. Pada awal tahun 2003 kondisi pengusahaan hutan semakin memburuk, hal ini bisa dilihat dari jumlah HPH yang mampu bertahan hanya berjumlah 270 buah. Luas areal konsesi hanya sebesar 28.885.864 ha atau mengalami penurunan sebesar 25,05%, sedangkan produksi kayu bulat yang dihasilkannya mencapai 6.700.000 m3/th (turun 48,69%).
Penurunan produktivitas di hutan alam sebahagian orang berpendpat sebagai indikasi kegagalan sistem silvikultur yang dipakai saat ini yaitu sistem Tebang Pilih Tananm Indonesia (TPTI). Sistem TPTI merupakan sistem silvikultur hutan daratan yang ditetapkan melalui SK Menhut No. 485/Kpts-II/1989, sedangkan pedoman TPTI nya ditetapkan dengan SK Dirjen PH No. 564/Kpts/IV-BPHH/1989. Sistem silvikultur ini merupakan penyempurnaan dari sistem silvikultur sebelumnya yaitu sistem Tebang Pilih Indonesia (TPI) yang ditetapkan dengan SK Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/I/1972. Pada tahun 1993 pedoman TPTI sempat direvisi menjadi lebih banyak tahapan melalui SK Dirjen PH no. 151/Kpts/IV-BPHH/1993.
Dilihat dari segi konsep, sistem TPTI ini sudah bagus namun dalam implementasinya seringkali tidak sesuai. Aspek yang sulit dikendalikan adalah upaya pembinaan terhadap tegakan tinggal (pohon binaan). Menurut Soekotjo (2005) masalahnya terletak pada kontrol yang sulit dilakukan yang menyebabkan hasil pekerjaannya tidak mudah dilacak, sehinnga HPH(IUPHHK) tidak melaksanakan kewajibannya dengan sepenuh hati. Pelaksanaan pembinaan hutan sejujurnya tidak berkembang lebih baik daripada TPI. Seringkali pembuatan persemaian hanya merupakan pajangan agar penilai yakin bila HPH yang bersangkutan juga melakukan tanaman pengayaan.
Kegiatan tebang pilih dalam TPTI disinyalir telah menjadi pemicu penyempitan keragaman genetika populasi tegakan hutan alam. Dengan pendekatan batas limit diameter, mungkin saja pohon yang ditebang adalah pohon yang memiliki mutu genetik unggul dan yang dibiarkan justru yang memiliki mutu genetik jelek. Misalkan pohon A pada saat ini memiliki diameter (dbh) 49 cm, sedangkan pohon B memiliki diameter 50 cm, maka menurut sistem TPTI pohon yang ditebang adalah pohon B. Pohon A menjadi status pohon binaan, dengan asumsi riap diameter 1 cm/th maka pada tahun yang akan datang pohon A ini akan mencapai ukuran diameter 50 cm. Namun bisa saja pohon A ini umurnya sudah lebih tua dari pohob B, sehingga pohon A sudah stagnan dan tidak mampu mencapai ukuran diameter 50 cm. Dengan kata lain pohon A bisa memiliki mutu genetik jelek karena tidak mampu mencapai ukuran diameter ideal.
Semakin banyak kasus-kasus tersebut di atas terjadi maka generasi yang ditinggalkan adalah individu-individu yang berfenotif (genetik) jelek sehingga terjadilah penyempitan genetik (the bottle neck generation) di hutan alam. Hal ini harus dicegah dengan upaya pembangunan konservasi genetik jenis-jenis yang dibudidayakan, baik secara eksitu maupun insitu.
Penurunan produktivitas tidak hanya di hutan alam, tetapi juga terjadi di hutan tanaman di P. Jawa. Penurunan produktivitas lahan hutan terjadi pula di hutan tanaman jati yang dikelola lebih intensif. Penurunan produkstivitas lahan hutan jati disinyalir disebabkan karena kualitas tegakan jati semakin menurun sebagai akibat tidak menggunakan benih yang bergenetik unggul. Selain itu daya dukung lahannya sudah muali menurun akibat peurunan kandungan hara tanah dari tahun-ke tahun. Menurut Marsono (2002), struktur hutan monokultur menjadikan stabilitas hutan (natural stabilizing factor) tidak berfungsi, sehingga cenderung mengganti menjadi chemical stabilizing factor, yang biayanya mahal dan tidak ramah lingkungan.
Penentuan kelas kesuburan lahan di hutan jati ditentukan dari bonitanya. Bonita ditentukan dari nilai peninggi dan umur tegakan jati. Peninggi dihitung dari rata-rata tinggi sepuluh pohon tertinggi dalam petak penjarangan yang luasnya 0,1 ha. Praktek ini sudah berjalan lama dan menjadi dasar penetuan Rencana Pengaturan Kelestarian Hutan dalam kurun waktu 20 tahun. Metode penggunaan nilai bonita untuk menilai daya dukung lahan merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Mengingat kondisi tegakan jati sudah jauh berbeda maka perlu kiranya kebijakan ini ditinjau kembali. Penilaian daya dukung lahan lebih rasional dengan pendekatan ekosistem site (tapak) seperti dicontohkan oleh Marsono, (2005).
Dari hasil perhitungan penurunan produktivitas di hutan alam terjadi dari 0,5 m3/ha/th (TGHK,1983) menjadi 0,21-0,26 m3/ha/th (Suparna, 2005). Dengan demikian terjadi penurunan sebesar 48-58%. Sedangkan penurunan produktivitas hutan tanaman di Jawa (khususnya hutan tanaman jati) terjadi dari angka 4-6 m3/ha/th (data Wolf von Wulfing, sebelum 1900 - an) menjadi 1,298 m3/ha/th (Revilla & Setyarso, 1992), dengan kata lain terjadi penurunan produktivitas antara 67,5% - 78,4%.


KONSEPSI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN

Pada pembangunan hutan tanaman yang menjadi output bisa berupa kayu dan non kayu (termasuk jasa lingkungan). Untuk output berupa kayu biasanya dinyatakan dalam satuan rata-rata riap per tahun (mean annual increament) yaitu m3/ha/th. Sedangkan yang menjadi faktor input adalah jenis tanaman, tapak, iklim, unsur hara, teknik silvikultur, dan faktor-faktor lainnya. Dari berbagai infut tersebut , Zobel et al (1987) mengatakan bahwa faktor pemilihan jenis dan provenans merupakan kunci sukses program pembangunan hutan tanaman. Bahkan, Zobel & Talbert (1984) mengatakan bahwa hasil yang maksimal dari hutan tanaman hanya dapat dicapai jika aktifitas manjemen penghutanan yang intensif menggunakan materi genetik terbaik.
Penurunan kualitas tapak juga telah dilaporkan pada banyak hutan tanaman seperti pada hutan tanaman jati yang sebagian besar tapak penanamannya di Pulau Jawa telah mengalami penurunan kualitas (Sukresno et al. 2003).  Menurut Burger (2009), konversi hutan atau pergantian daur pada hutan tanaman akan menurunkan kandungan bahan organik tanah dan menjadikan siklus hara terbuka. Sistem pemanenan juga berpengaruh terhadap cadangan karbon tanah. Pemanenan batang kayunya saja menyebabkan meningkatnya karbon tanah 18%, sedangkan pemanenan seluruh pohon menyebabkan menurunnya karbon tanah 6%.  Penghilangan karbon organik berhubungan dengan pengurangan nutrisi, yang dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan tegakan (Burger, 2009). 
Daya dukung akan menurun yang disebabkan oleh erosi, kehilangan bahan organik, berkurangnya hara, atau ketidakseimbangan udara/air, dan produksi biomasa akan menurun meskipun adanya perbaikan genotif, pengendalian gulma, dan pemupukan  (Squire et al., 1979; Fox et al., 1989; Burger, 1994). Peningkatan produktivitas dengan pengelolaan yang intensif yang dapat meningkatkan produktivitas di atas rata-rata secara alami dapat dicapai bila dapat menghindari terjadinya degragasi kualitas tapak. Untuk itu, penelitian pada pengaruh komulatif perlakuan tanah dan silvikultur hutan tanaman akan sangat penting sebagai kebutuhan baru yang diletakan pada hutan tanaman dengan hasil tinggi dan pemanenan yang lebih intensif (Burger, 2009).
Strategi peningkatan produktivitas lahan hutan

Peningkatan produktivitas lahan hutan bisa ditempuh melalui dua pendekatan yaitu (1) pendekatan peningkatan kualitas tegakannya (vegetasi) dan (2) melalui peningkatan daya dukung lahannya. Peningkatan kualitas tegakan bisa ditempuh melaui upaya antara lain:

a.    Pemakaian benih/bibit unggul secara genetic
Kualitas tegakan yang akan datang ditentukan dri kualitas benih yang ditanam saat ini,  merupakan prinsip yang penting dalam manajemen produktivitas hutan, sebab benih yang berkualitas akan menghasilkan bibit berkualitas, bibit berkualitas akan menghasilkan tanaman berkualitas dan tanaman berkualitas akan menghasilkan pohon yang berkualitas, dengan catatan prosesnya dilakukan secara baik dan benar. Proses tersebut tidak lain adalah silvikultur intensif.
b.    Penerapan teknik silvikultur intensif
Teknik silvikultur adalah suatu metode bagaimana menangani pembangunan hutan mulai dari perbenihan, persemaian, penanaman dan pemeliharaan tanaman dan tegakan sampai siap panen (tebangan akhir daur). Teknik silvikultur intensif adalah suatu istilah untuk membedakan dengan teknik silvikultur biasa (tradisional). Teknik silvikultur intensif mencakup beberapa aspek yaitu; pemakaian materi benih bergenetik unggul (berkualitas), pengolahan tanah dengan prinsip Reduce Impact Loggging (RIL) atau Low Tillage, penanaman tepat waktu pada musim penghujan, penambahan input hara tanah dengan pupuk buatan atau bahan organik, pemeberantasan hama dan penyakit, pemeliharaan intensif (pendangiran, wiwil, pemangkasan dan penjarangan), perlindungan gangguan hutan.
c.    Penerapan pemuliaan pohon
Hasil-hasil pemuliaan pohon (Breeding) akan menghasilkan karakter (traits) yang unggul dan diinginkan sehingga akan membantu peningkatan produktivitas. Tujuan dari pemuliaan pohon adalah memperoleh peningktan genetik (genetic gain) dari sifat yang diinginkan, terutama sifat ketahanan terhadap hama atau cekaman lingkungan.
d.   Perlindungan gangguan hutan
Gangguan hutan meliputi gangguan hama penyakit, kebakaran, pencurian, dan bencana alam. Yang bisa diintensifkan adalah pencegahan dari gangguan hama/penyakit, kebakaran dan pencurian dengan bekerjasama dengan stakeholder yang terkait.
e.    Pengadaan sumber benih unggul
Pangadaan sumber benih unggul antara lain dengan membangun kebun benih dari Uji keturunan yang selanjutnya dikonversi ke kebub benih. Tipe kebun benih yang dibangun bisa berupa kebub benih semai (seedling seeed orchard) atau kebun benih klonal (Clonal seed orchard). Selain untuk penyediaan benih kebun benih juga berfungsi sebagai konservasi meteri genetik tanaman.
Peningkatan daya dukung lahan hutan dapat dilakukan melalui pengendalian neraca hara tanah hutan, penerapan RIL, pemanfaatan mikroorganisme tanah hutan, stabilisasi pH tanah, dan penerapan KTA. Penambahan input nutrisi (hara) ke lantai hutan sangat bermanfaat untuk stabilisasi sifat fisik dan kimia tanah hutan, terutama pada saat tajuk pohon belum menutupi areal (awal pertumbuhan). Setidaknya pemberian input nutrisi yang tepat adalah pada awal pertumbuhan tanaman dan pasaca penjarangan.

PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN BERBASIS MANAJEMEN NUTRISI
Merubah Tanah Terdegradasi Menjadi Tanah Produktif  (Keseimbangan Input Output Nutrisi Tanah)
Peningkatan daya dukung lahan hutan dapat dilakukan melalui pengendalian neraca hara tanah hutan, penerapan RIL, pemanfaatan mikroorganisme tanah hutan, stabilisasi pH tanah, dan penerapan KTA. Penambahan input nutrisi (hara) ke lantai hutan sangat bermanfaat untuk stabilisasi sifat fisik dan kimia tanah hutan, terutama pada saat tajuk pohon belum menutupi areal (awal pertumbuhan). Setidaknya pemberian input nutrisi yang tepat adalah pada awal pertumbuhan tanaman dan pasaca penjarangan.
Tanah produktif harus mempuyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman. Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah subur akan produktif jika dikelaola dengan tepat, menggunakan jenis tanaman dan teknik pengelolaan yang sesuai. Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur hara tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman, dalam bentuk senyawa-senyawa yang dapat dimanfaatkan tanaman dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman tertentu dengan didukung oleh faktor pertumbuhan lainnya (Yuwono dan Rosmarkam 2008).
Pada umumnya kondisi lahan hutan alam (di luar Jawa) adalah lahan marginal. Jenis tanahnya sebagian besar adalah tanah pozsolik merah kuning (PMK), tanah ini termasuk ordo oxisols dan ultisol. Kedua tanah tersebut merupakan tanah tua yang sudah sangat lapuk (highly-weathered) dan berkembang lanjut, sehingga memiliki tingkat kesuburan rendah, terutama akibat rendahnya kandungan kation-kation basa (Ca, Mg, dan K) dan fosfor (P), serta rentan terhadap usikan. Kehilangan vegetasi penutup (hutan) mengakibatkan mudah tererosi dan cepat mengalami penurunan kapasitas produksi, yang pada akhirnya terbentuk tanah-tanah yang terdegradasi.
Hasil penelitian status hara di hutan alam yang dilakukan oleh Munawar (2005), menunjukkan bahwa kandungan unsur hara tanah di bawah tegakan hutan perawan (virgin forest) secara umum cenderung lebih tinggi daripada di hutan bekas tebangan yang sudah berumur satu hingga 4 tahun. Pada tanah ultisol pH tanah berkisar antara 3,5 - 5,5 (sangat masam) dan pada tanah di bawah tegakan hutan perawan pada kedalaman 0,5 cm lebih rendah daripada hutan bekas tebangan.
Kesuburan lahan hutan tropis terletak pada biomassa vegetasi di atasnya, apabila vegetasi diatasnya ditebang habis dan biomassa dikeluarkan dari tapak tersebut maka tanah hutan menjadi sangat miskin hara. Kondisi curah hujan yang tinggi mengakibatkan pencucian hara pada lantai hutan lebih tinggi, apalagi jika kondisinya gundul. Oleh karena itu pada tanah-tanah yang terbuka perlu input nutrisi lebih tinggi sampai tanah tersebut tertutup oleh vegetasi di atasnya. Menurut Goncalves et al, (2004) setelah kanopi (tajuk) menutup kebutuhan hara sebagian besar akan dipenuhi melalui penyerapan hara yang tersedia dari mineralisasi serasah (siklus biogeokhemis hara) dan retranslokasi (resorpsi) hara internal (siklus biokhemis). Semakin instens siklus hara, pohon semakin kurang bergantung pada penyerapan hara dari dalam tanah.
Berdasarkan kondisi tersebut, maka manajemen tanah untuk pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman pada prinsipnya merupakan manajemen ketersediaan hara pada tanah dan mampu diserap oleh tanaman secara berimbang (Gambar 1).
Penelitian retranslokasi hara pada spesies cepat tumbuh seperti A. mangium telah dilaporkan (Hardiyanto et al, 2004). Penelitian tersebut berusaha untuk memahami strategi pohon untuk mempertahankan pertumbuhan yang cepat sampai dengan akhir daur. Pada A. mangium berumur 2 tahun retranslokasi hara dalam pohon ternyata cukup besar. Misalnya pada plot yang kurang subur ketika daun berkembang dari fase hijau-hidup ke fase sanesen (senescent) – kuning, persentase hara yang diretranslokasikan dari daun senesen adalah 26,8% N, 76,5% P, 30,8%K, setara dengan (ha/th) 50 kg N, 5,2 kg P, dan 18,3 kg K, berdasrkan deposisi serasah sebesar 9,1 ton/ha/th. Pada plot yang lebih subur angka-angka ini adalah 30,3% N, 84,4% P, 34,5% K, setara dengan (ha/th) 56 kg N, 5,7 kg P dan 20,3 kg K berdasarkan deposisi serasah sebesar 9,0 ton/ha/th.

-atmosfer

M-pupuk

M-tanaman
M-ternak
M-bahan organik
Bentuk M-yang cepat berkesetimbangan
M-larutan tanah
Bentuk M-lambat medium

M Mineral Primer
Kehilangan erosi
Panen
Penguapan
Menurut Mulyana (2011; komunikasi pribadi) bahwa agar keseimbangan dapat dicapai diperlukan hubungan yang seimbang antara input dan output.  Input berupa nutrisi yang diterima oleh hutan harus sama atau lebih besar daripada output (hara yang hilang/keluar dari hutan).  Hal ini sesuai dengan Young dan Giese (2002) sebagaimana digambarkan secara skematik hubungan antara input dan output di dalam suatu ekosistem (Gambar 2).


Input bahan organic pada tanah
Bahan organik merupakan bahan-bahan yang dapat diperbaharui, didaur ulang, dirombak oleh bakteri-bakteri tanah menjadi unsur yang dapat digunakan oleh tanaman tanpa mencemari tanah dan air. Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan binatang yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan organik demikian berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa serangan jasad mikro. Sebagai akibatnya bahan tersebut berubah terus dan tidak mantap sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau binatang.
1)   Sumber Bahan Organik
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang, ranting, daun, dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan- bahan pektin dan lignin. Selain itu nitrogen merupakan unsur yang paling banyak terakumulasi dalam bahan organik karena merupakan unsur yang penting dalam sel mikroba yang terlibat dalam proses perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini akan mengalami dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan tanah. Tumbuhan tidak saja sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik dari seluruh makhluk hidup. Sumber sekunder bahan organik adalah fauna. Fauna terlebih dahulu harus menggunakan bahan organik tanaman setelah itu barulah menyumbangkan pula bahan organik. Bahan organik tanah selain dapat berasal dari jaringan asli juga dapat berasal dari bagian batuan.
Perbedaan sumber bahan organik tanah tersebut akan memberikan perbedaan pengaruh yang disumbangkannya ke dalam tanah. Hal itu berkaitan erat dengan komposisi atau susunan dari bahan organik tersebut. Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal yaitu; tipe vegetasi yang ada di daerah tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase tanah, curah hujan, suhu, dan pengelolaan tanah. Komposisi atau susunan jaringan tumbuhan akan jauh berbeda dengan jaringan binatang. Pada umumnya jaringan binatang akan lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan. Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air yang beragam dari 60-90% dan rata-rata sekitar 75%. Bagian padatan sekitar 25% dari hidrat arang 60%, protein 10%, lignin 10-30% dan lemak 1-8%. Ditinjau dari susunan unsur karbon merupakan bagian yang terbesar (44%) disusul oleh oksigen (40%), hidrogen dan abu masing-masing sekitar 8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari seluruh unsur hara yang diserap dan diperlukan tanaman kecuali C, H dan O.
2)   Humus
Humus merupakan salah satu bentuk bahan organik. Jaringan asli berupa tubuh tumbuhan atau fauna baru yang belum lapuk terus menerus mengalami serangan-serangan jasad mikro yang menggunakannya sebagai sumber energinya dan bahan bangunan tubuhnya. Hasil pelapukan bahan asli yang dilakukan oleh jasad mikro disebut humus.Humus biasanya berwarna gelap dan dijumpai terutama pada lapisan tanah atas. Definisi humus yaitu fraksi bahan organik tanah yang kurang lebih stabil, sisa dari sebagian besar residu tanaman serta binatang yang telah terdekomposisikan.
Humus merupakan bentuk bahan organik yang lebih stabil, dalam bentuk inilah bahan organik banyak terakumulasi dalam tanah. Humus memiliki kontribusi terbesar terhadap durabilitas dan kesuburan tanah. Humuslah yang aktif dan bersifat menyerupai liat, yaitu bermuatan negatif. Tetapi tidak seperti liat yang kebanyakan kristalin, humus selalu amorf (tidak beraturan bentuknya). Humus merupakan senyawa rumit yang agak tahan lapuk (resisten), berwarna coklat, amorf, bersifat koloidal dan berasal dari jaringan tumbuhan atau hewan yang telah diubah atau dibentuk oleh berbagai jasad mikro. Humus tidaklah resisten sama sekali terhadap kerja bakteri. Mereka tidak stabil terutama apabial terjadi perubahan regim suhu, kelembapan dan aerasi.Adanya humus pada tanah sangat membantu mengurangi pengaruh buruk liat terhadap struktur tanah, dalam hal ini humus merangsang granulasi agregat tanah. Kemampuan humus menahan air dan ion hara melebihi kemampuan liat. Tinggi daya menahan (menyimpan) unsur hara adalah akibat tingginya kapasitas tukar kation dari humus, karena humus mempunyai beberapa gugus yang aktif terutama gugus karboksil. Dengan sifat demikian keberadaan humus dalam tanah akan membantu meningkatkan produktivitas tanah.
3)   Sifat dan Ciri Humus
·         Bersifat koloidal seperti liat tetapi amorfous.
·         Luas permukaan dan daya jerap jauh melebihi liat.
·         Kapasitas tukar kation 150-300 me/100 g, liat hanya 8-100 me/100 g.
·         Daya jerap air 80-90% dari bobotnya, liat hanya 15-20%.
·         Daya kohesi dan plastisitasnya rendah sehingga mengurangi sifat lekat dari liat dan membantu granulasi agregat tanah.
·         Misel humus tersusun dari lignin, poliuronida, dan protein liat yang didampingi oleh C, H, O, N, S, P dan unsur lainnya.
·         Muatan negatif berasal dari gugus -COOH dan -OH yang tersembul di pinggiran dimana ion H dapat digantikan oleh kation lain.
·         Mempunyai kemampuan meningkatkan unsur hara tersedia seperti Ca, Mg, dan K.
4)   Faktor yang Mempengaruhi Bahan Organik Tanah
Diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik dan nitrogen tanah, faktor yang penting adalah kedalaman tanah, iklim, tekstur tanah dan drainase. Kedalaman lapisan menentukan kadar bahan organik dan N. Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm (15-20%). Semakin ke bawah kadar bahan organik semakin berkurang. Hal itu disebabkan akumulasi bahan organik memang terkonsentrasi di lapisan atas.
Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin ke daerah dingin, kadar bahan organik dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu tahunan rata-rata turun 100C. bila kelembaban efektif meningkat, kadar bahan organik dan N juga bertambah. Hal itu menunjukkan suatu hambatan kegiatan organisme tanah. Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat maka makin tinggi kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis.
Pada tanah dengan drainase buruk, dimana air berlebih, oksidasi terhambat karena kondisi aerasi yang buruk. Hal ini menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi daripada tanah berdrainase baik. Disamping itu vegetasi penutup tanah dan adanya kapur dalam tanah juga mempengaruhi kadar bahan organik tanah. Vegetasi hutan akan berbeda dengan padang rumput dan tanah pertanian. Faktor-faktor ini saling berkaitan, sehingga sukar menilainya sendiri (Hakim et al, 1986).
5)   Peranan Bahan Organik Bagi Tanah
Bahan organik berperan penting untuk menciptakan kesuburan tanah. Peranan bahan organik bagi tanah adalah dalam kaitannya dengan perubahan sifat-sifat tanah, yaitu sifat fisik, biologis, dan sifat kimia tanah. Bahan organik merupakan pembentuk granulasi dalam tanah dan sangat penting dalam pembentukan agregat tanah yang stabil. Bahan organik adalah bahan pemantap agregat tanah yang tiada taranya. Melalui penambahan bahan organik, tanah yang tadinya berat menjadi berstruktur remah yang relatif lebih ringan. Pergerakan air secara vertikal atau infiltrasi dapat diperbaiki dan tanah dapat menyerap air lebih cepat sehingga aliran permukaan dan erosi diperkecil. Demikian pula dengan aerasi tanah yang menjadi lebih baik karena ruang pori tanah (porositas) bertambah akibat terbentuknya agregat.
Bahan organik umumnya ditemukan dipermukaan tanah. Jumlahnya tidak besar, hanya sekitar 3-5% tetapi pengaruhnya terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Sekitar setengah dari kapasitas tukar kation berasal dari bahan organik. Ia merupakan sumber hara tanaman. Disamping itu bahan organik adalah sumber energi bagi sebagian besar organisme tanah. Dalam memainkan peranan tersebut bahan organik sangat ditentukan oleh sumber dan susunannya, oleh karena kelancaran dekomposisinya, serta hasil dari dekomposisi itu sendiri.
Secara umum, pemberian bahan organik dapat meningkatkan pertumbuhan dan aktivitas mikroorganisme. Bahan organik merupakan sumber energi dan bahan makanan bagi mikroorganisme yang hidup di dalam tanah. Mikroorganisme tanah saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan organik karena bahan organik menyediakan karbon sebagai sumber energi untuk tumbuh. Kegiatan jasad mikro dalam membantu dekomposisi bahan organik meningkat. Bahan organik segar yang ditambahkan ke dalam tanah akan dicerna oleh berbagai jasad renik yang ada dalam tanah dan selanjutnya didekomposisisi jika faktor lingkungan mendukung terjadinya proses tersebut. Dekomposisi berarti perombakan yang dilakukan oleh sejumlah mikroorganisme (unsur biologi dalam tanah) dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana. Hasil dekomposisi berupa senyawa lebih stabil yang disebut humus. Makin banyak bahan organik maka makin banyak pula populasi jasad mikro dalam tanah

IMPLIKASI TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN
Konversi tipe hutan telah terjadi selama puluhan tahun sejak manusia menemukan bahwa jenis-jenis pilihan, native atau eksotik, lebih memenuhi kebutuhanya karena muda dikelola, tipe kayu, panjang serat, kelurusan batang, laju pertumbuhan, atau hasil hutan non kayu yang dihasilkannya. Sebagai contoh konversi native oak menjadi hutan tanaman loblolly pine di Amerika Serikat Bagian Tenggara,  campuran pinus menjadi Ponderosa pine di Barat Daya Amerika Serikat, hutan alam menjadi Pinus radiata di Australia dan New Zeland, dan oak menjadi Norway spruce di Eropa.  Meskipun sedikit jasa yang diberikan, konversi hutan menjadi hutan tanaman yang dikelola intensif dapat memberikan nilai besar dengan memaksimalkan produksi kayu. Isu yang muncul adalah bahwa konversi hutan tidak kompromis terhadap stabilitas ekosistem, produktivitas tanah, tidak akan kembali mencapai struktur dan fungsi aslinya.  Kestabilan suatu ekosistem dapat berubah karena adanya gangguan dan memerlukan waktu untuk kembali ke kondisi awalnya (namun tidak semua sama seperti kondisi awal) melalui proses suksesi.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa konversi hutan menurunkan kandungan bahan organik tanah dan menjadikan siklus hara terbuka.  Pada pengelolaan hutan intensif di Amerika Bagian Tenggara, pemupukan nitrogen dan pengendalian gulma dapat meningkatkan produktivitas dengan menurunkan rotasi panen. Peningkatan produksi ini dicapai dengan pemahaman respon hutan terhadap setiap praktek yang merupakan pengaruh komulatif dari silvikultur intensif (Burger, 1994).  Pengaruh perlakuan tanah yang dikombinasikan dengan pemuliaan pohon dan pengendalian gulma diperlihatkan pada kurva produksi Gambar 3.


Kurva tidak terputus menggambarkan produksi biomasa hutan tanpa pengelolaan intensif. Perbaikan genotif, pengendalian gulma, dan pemupukan nitrogen meningkatkan laju produksi biomasa (garis terputus), memperpendek rotasi. Perbaikan drainase dan pemupukan fosfor meningkatkan daya dukung lahan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas berarti memperpendek rotasi dan meningkatkan daya dukung (carrying capacity). 
Daya dukung akan menurun yang disebabkan oleh erosi, kehilangan bahan organik, berkurangnya hara, atau ketidakseimbangan udara/air, dan produksi biomasa akan menurun meskipun adanya perbaikan genotif, pengendalian gulma, dan pemupukan  (Squire et al., 1979; Fox et al., 1989; Burger, 1994). Dengan demikian, peningkatan produktivitas dengan pengelolaan yang intensif yang dapat menigkatkan produktivitas di atas rata-rata secara alami dapat dicapai bila dapat menghindari terjadinya degragasi kualitas tapak seperti Gambar 4, yang memperlihatkan meningkatnya produktivitas dan menurunnya umur rotasi. Hasil ini mendemonstrasikan nilai dari fokus penelitian tanah terapan. Penelitian pada pengaruh komulatif perlakuan tanah dan silvikultur hutan tanaman akan sangat penting sebagai kebutuhan baru yang diletakan pada hutan tanaman dengan hasil tinggi dan pemanenan yang lebih intensif.



Sistem pemanenan berpengaruh terhadap cadangan karbon tanah. Pemanenan batang untuk kayu gergajian menyebabkan meningkatnya karbon tanah 18%, sedangkan pemanenan seluruh pohon menyebabkan menurunnya karbon tanah 6%.  Penghilangan karbon organik berhubungan dengan pengurangan nutrisi, yang dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan tegakan.  Melalui kombinasi percobaan tingkat lapang dengan studi langsung pada proses tanah, kita dapat mempelajari banyak tentang pengaruh perlakuan silvikultur terhadap produktivitas hutan.     

1)     Pengelolaan Tapak-tapak Khusus
Salah satu kegiatan kehutanan intensif yang penting adalah pengelolaan tapa-tapak khusus (sites specific management).  Evaluasi dan pemetaan tapak hutan di Amerika Utara dilakukan dengan menggunakan kriteria iklim, vegetasi, bentuk lahan, tanah, atau kombinasi dua atau lebih sebagai kriteria klasifikasi.   Klasifikasi dan pemetaan menjadi makin komplek dan lebih berguna dengan pendekatan inovatif untuk mengklasifikasikan kompleksitas spasial, dan penerapan teknologi baru seperti statistic spasial, sistem informasi geografi, dan global positioning system. 
Tanah diintepretasikan sebagai input dalam manejemen hutan intensif yang meliputi persiapan lahan, penerapan herbisida, pemupukan, penampilan bibit, dan proyeksi hasil. Tingkatan baru dari intensitas pengelolaan, precision forestry, memerlukan spesifikasi tapak yang lebih tinggi. Taylor et al. (2006) mendeskripsikan precision forestry sebagai perencanaan dan pelaksanaan kegiatan dan operasional pengelolaan hutan tapak khusus untuk memperbaiki kualitas produk kayu dan kegunaannya, mengurangi sampah dan meningkatkan keuntungan, dan memelihara kualitas lingkungan. GIS dan GPS dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi operasional dengan penerapan perlakuan tapak pada level sub-stand (bagian suatu tegakan), dan dengan menggunakan LiDAR dapat melihat pertumbuhan dan hasil pada tingkat pohon (Brodbeck et al., 2007). Dengan kapasitas tersebut, klasifikasi dan pemetaan tapak hutan harus lebih spesifik, yang meliputi proyeksi hasil, dan kemampuan memberikan data tanah untuk peta-peta operasional GIS/GPS.

2)     Pengelolaan Tanah, Tapak, dan Hutan Terdegradasi
Degradasi ekosistem hutan telah banyak terjadi di Amerika Utara. Para ilmuwan tanah hutan dilibatkan dalam 5 areal ekologi restorasi: 1) pemulihan tipe hutan, 2) pengaruh berkurangnya hidupan liar terhadap tanah hutan, 3) pengaruh deposisi asam terhadap tanah dan hutan, 4) reklamasi dan reforestasi lahan tambang, dan 5) afforestasi dan pemulihan lahan pertanian terdegradasi.
Pengaruh kebakaran terhadap tanah hutan merupakan isu pengelolaan saat ini sebab jumlah dan frekwensinya cukup tinggi. Namun kebakaran lahan dalam skala tertentu secara periodik juga dapat bermanfaat dalam pengelolaan hutan. Secara umum, kebakaran akan menyebabkan menurunnya bahan organik tanah, menurunnya infiltrasi, dan meningkatkan aliran permukaan. Di Amerika, restorasi ekosistem yang adaptif kebakaran menjadi harus menjadi prioritas tinggi. 
 Ekologi restorasi muncul sebagai praktek yang menggabungkan berbagai disiplin ilmu dalam pengelolaan lahan hutan (Sarr et al., 2004). Meskipun ekologi restorasi merupakan suatu ilmu namun ilmu tersebut relatif baru yang telah dipraktekkan selama 30 tahun untuk mitigasi lahan basah, reklamasi lahan bekas tambang, dan pemulihan tanah terdegradasi. Dalam banyak kasus, penelitian dan praktek dalam areal ini telah diaplikasikan secara pragmatis, dalam memperbaiki kondisi-kondisi yang terdegradasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan nilai hutan.  Sebagai tambahan, diperlukan penelitian untuk memahami proses-proses pemulihan tanah dan hutan dan pembatas ekonomi serta kelembagaan dalam memperbaiki ekosistem hutan yang terdegradasi.

3)     Pengelolaan Kelestarian dan Adaftif 
Isu terakhir dalam aktivitas peneliti dan praktisi tanah hutan adalah proses pengelolaan hutan lestari. Kelestarian tanah hutan dan ekosistem belum dieksplorasi secara luas dalam konteks pengelolaan hutan lestari (SFM).  Pengertian kehutanan lestari diusulkan oleh Franklin (1993), yaitu “maintain the potential for our land and water ecosystems to produce the same quantity and quality of goods and services in perpetuity”. Sample et al. (1993) membuat prinsip ini lebih sederhana yang menyatakan bahwa SFM dicapai ketika secara simultan secara ekologi sehat, secara ekonomi berkembang (viable), dan secara sosial bertanggung jawab (Gambar 5).  Model pengelolaan lestari ini berisi prinsip dan tujuan multi guna, pengelolaan ekosistem, dan triad zoning (Tabel 1). Berdasarkan prinsip SFM, beberapa negara berbagi pengalaman dalam pengembangan kriteria dan indikator pengelolaan sumber daya hutan lestari yang merupakan ukuran dan monitor kelestarian. Kriteria dan indikator tersebut memberikan kerangka untuk menentukan status kondisi  ekologi, dan sosial hutan, dan memberikan dasar untuk program SFM pada lahan perorangan dan publik.  
Kriteria kelestarian disetujui tahun 1995 oleh 10 negara yang meliputi konservasi dan pemeliharaan keragaman biologi ekosistem hutan, kapasitas produksi, vitalitas dan kesehatan, sumber daya air dan tanah, siklus karbon global, manfaat social ekonomi jangkan panjang, dan kerangka legal, kelembagaan, dan ekonomi untuk konservasi hutan dan pengelolaan lestari.  US National Forest System menerapkan the Montreal Process C&I melalui kebijakan pengelolaan ekosistem.  Sertifikat dikeluarkan bila memenuhi standar yang digunakan untuk mencapai SFM.
Dari 11 kategori pengelolaan hutan lestari, ada 3 kategori dimana ilmuwan tanah hutan banyak terlibat, yaitu 1). kesehatan dan produktivitas hutan, 2). Keilmiahan hutan yang berhubungan dengan pengetahuan, 3). Monitoring, assessment, dan pelaporan penggunaan kriteria dan indikator, semua ketidakpuasan dirangking yang merupakan upaya pencapaian kelestarian. Model triparti SFM secara teori diyakini, namun secara fungsi mengalami cacat (Gambar 5A).  Teori menyatakan bahwa ketika 3 lingkaran merepresentasikan perhatian terhadap ekonomi, lingkungan, dan sosial yang bergerak secara bersama menuju kelestarian hutan. Realitanya adalah adanya motivasi yang menyimpang oleh tujuan-tujuan khusus.  Pertanian Amerika menjalankan model kelestarian, dan model tersebut kurang berfungsi karena adanya konversi lahan ribuan acre.
Burger (2009) merekomendasikan model alternatif biocentric yang memperlihatkan bahwa struktur dan fungsi sosial (human communities) dibatasi oleh feasibilitas ekonomi (business of forestry), dan feasibilitas ekonomi dibatasi oleh (nested within) ekosistem (hutan) yang tergantung juga pada kondisi ekonomi dan sosial masyarakat (Gambar 5B). Ini berlawanan dengan pesimistik, model anthropocentric yang banyak mempertimbangkan realita saat ini: hutan dieksploitasi manusia yang menikmatinya dengan standar yang tidak lestari yang hidup pada kondisi ekonomi yang terus menurun karena makin berkurangnya sumber daya hutan (Gambar 5C). SFM melalui model biocentric memerlukan pedoman atau aturan program sertifikasi dan menajemen ekosistem secara volunter.

Gambar 5. Model simultan (A), biocentric, dan anthropogenic (C) pengelolaan hutan lestari (Burger, 2009)

Sebuah proposal telah disusun oleh beberapa kelompok kehutanan swasta dan public melalui the Roundtable on Sustainable Forest yang merepresentasikan ketidaksabaran beberapa kelompok dengan tidak berfungsinya model SFM. Aturan ini memerlukan nilai ekonomi, lingkungan, dan sosial dari hutan melintasi berbagai kepemilikan lahan, dan secara juridis didukung oleh aturan legal, struktur financial dan kelembagaan dimana nilai-nilai tersebut saling mendukung. 
Pendekatan umum untuk mencapai dan memonitor SFM telah disusun oleh oleh ilmuwan dan praktisi kehutanan di seluruh dunia.  Pendekatan ini sering disebut model logik, reliable procces, atau adaptive management, yang terdiri dari beberapa elemen, yaitu: 1) pendefinisian SFM, 2) pemahaman penyebab dan pengaruh hubungan antara pemanenan hutan, perubahan tanah, dan kesehatan hutan, 3) indikator perubahan tanah yang meyebabkan kemunduran/degradasi hutan, 4) kemampuan untuk memetakan sensivitas tapak berdasarkan potensi perubahan dalam indikator kelestarian, 5) dasar prinsip ilmiah dan uji empiris dari pendugaan dari tingkat pemanenan yang dapat diterima dan praktek kehutanan yang menggambarkan dasar sensivitas tapak (best management practices, BMP), 6) protokol indikator monitoring untuk menentukan praktek majemen sesuai dengan kriteria kelestarian, dan 7) review secara periodik untuk merevisi pedoman untuk meyakinkan efektifitas BMP (adaptive management).


Model adaptive management (Gambar 6) yang dikembangkan oleh Henninger et al. (1998) menekankan perlunya pedoman pengelolaan yang penyusunannya didasarkan kondisi tapak-tapak khusus, dan pedoman-pedoman tersebut diaplikasikan pada hutan sebagai best management practices oleh personal yang terlatih. Monitoring digunakan untuk meyakinkan diterapkannya BMP secara benar.  Efektifitas monitoring digunakan untuk menentukan praktek-praktek tersebut bekerja secara actual pada jangka pendek, dan validasi monitoring digunakan untuk menentukan apakah semua pendekatan berkerja dalam jangka panjang.  Indikator kualitas tanah dan standar gangguan merupakan contoh monitoring efektivitas jangka pendek  dan digunakan untuk memperbaiki pedoman jika diperlukan, dan tingkat produktivitas merupakan suatu validasi indikator jangka panjang. Monitoring pada semua tingkat akan mengidentifikasi gap-gap yang perlu diteliti dalam jangka pendek dan jangka panjang sehingga strategi pengelolaan atau pencapaian kelestarian dapat ditingkatkan.    

PENUTUP
Areal hutan alam yang telah terdegradasi perlu ditangani secara serius agar menjadi produktif, sehingga mampu meningkatkan produktivitas hutan.  Pembangunan hutan tanaman merupakan solusi yang tepat untuk mewujudkan hal tersebut, namun perlu dibarengi dengan pemahaman prinsip dan teknis dari kualitas tegakan dan daya dukung lahan melalui manajemen nutrisi, yaitu manajemen keseimbangan antara input dan output hara pada tanah.  Treatment-treatment penting yang perlu dilakukan adalah perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah melalui pembenahan lahan secara intensif.  Selanjutnya system silvikultur yang akan diterapkan juga perlu mempertimbangkan manajemen nutrisi ini melalui pengembangan system silvikultur yang adaptif.

DAFTAR PUSTAKA
Goncalves, J.LM., Stape, J.L., Benedetti, V.,Fesel, V.A.G and Gava,J.L. 2004. An Evaluation of minimum and intensive spil preparation regarding Fertility and Tree Nutrition. In: Goncalves, J.L.M. and Benedetti, V (Eds). Forest Nutrition and Fertilization. Institute of Forest Research and Study, Piracicaba, Sao Paulo. Pp 13-64
Hardiyanto, E.B. 2004. Biodiversitas hutan tanaman Acacia mangium dalam : Hardiyanto, E.B dan Arisman, H (Eds) Pembangunan Hutan Tanaman acacia mangium Pengalaman di PT Musi Hutan Persada , Sumatera Selatan. PT. Musi Hutan Persada. Palembang. Hal 397-418.
Buckman, H dan Brady, N. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.
Maftu’ah, E., Arisoesilaningsih, E. dan Handayanto. E,. 2001. Potensi diversitas makrofauna tanah sebagai indicator kualitas tanah pada beberapa penggunaan lahan. Makalah Seminar Nasional Biologi 2. ITS. Surabaya.
Parr, J.F., R.I. Papendick, S.B.,S.B.Hornick, and R.E. Meyer.1992. Soil Quality: Attributes and relationship to Alternative and Sustainable Agriculture.USDA- Natural Conservation Service.
Petal, J. 1998. The Influence of ants on Carbon and Nitrogen Mineralization in Drained Fen Soil. App. Soil Ecol. 9: 271-272
Rosmarkam, A dan N.W Yuwono. 2002. Ilmu kesuburan tanah. Kanisius. Yogyakarta.
Burger James A. 2009.  Management effects on growth, production and sustainability of managed forest ecosystems: Past trends and future directions.  Forest Ecology and Management 258 (2009): 2335–2346