secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Kamis, 17 Maret 2011

MANAJEMEN BAHAN BAKAR DALAM RANGKA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN


Ichsan talks about fire.. : faktor penting dari bahan bakar yang dapat dikelola dengan treatment silvikultur adalah faktor susunan dan kesinambungan bahan bakar.....

SUSUNAN/KEKOMPAKAN DAN KESINAMBUNGAN BAHAN BAKAR
(ARRANGEMENT AND CONTINUOUSLY OF FUEL)
Oleh:
Ichsan Suwandhi

Ringkasan
Karakteristik bahan bakar merupakan salah satu faktor dari segitiga lingkungan api yang berpengaruh terhadap perilaku api, dua faktor yang lainnya adalah cuaca dan topografi.  Dalam kondisi yang memungkinkan perbedaan suatu karakteristik atau gabungan beberapa karakteristik bahan bakar akan menghasilkan perilaku api yang bervariasi pula. Susunan/Kekompakan (arrangement) dan kesinambungan (continuity) bahan bakar merupakan parameter penting dari karakteristik bahan bakar yang memberikan pengaruh sangat besar terhadap perilaku api.
Berdasarkan penjelasan Syaufina (2008)[1], kekompakan suatu bahan bakar menunjukkan keterikatan komponen-komponen atau partikel-partikel penyusun bahan bakar dalam suatu tumpukan yang memengaruhi suplai udara dan kemudahan perpindahan panas sehingga lebih lanjut memengaruhi kecepatan dan tinggi nyala api.  Lebih lanjut, kesinambungan bahan bakar sangat berpengaruh secara horizontal dan vertikal terhadap perilaku api, adanya gap akan menghambat terjadinya penjalaran api.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa kekompakan akan berpengaruh terhadap kecepatan dan tinggi nyala api, sedangkan kesinambungan lebih berpengaruh dalam penjalaran api.  Kedua karakteristik ini akan menghasilkan intensitas dan tipe kebakaran hutan yang terjadi.
Dalam rangka menggali lebih detail pengaruh kedua faktor terhadap perilaku api terutama dalam kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan, selain membahas aspek teoritis makalah ini juga memberikan informasi hasil-hasil penelitian yang membuktikan bahwa treatmen-treatmen terhadap distribusi bahan bakar baik secara horizontal maupun vertikal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan atau penurunan tingkat kebakaran hutan/lahan.

PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan telah menjadi issu penting di Indonesia selama satu dekade terakhir yang berdampak secara serius terhadap degradasi hutan dan lahan, berbagai permasalahan lingkungan bermunculan akibat kebakaran hutan dan lahan baik secara ekologi maupun sosial dan ekonomi.  Dalam konteks iklim global Indonesia termasuk salah satu negara  dengan tingkat emisi karbon terbesar yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan.  Dampak global sangat jelas terlihat dengan menurun atau hilangnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya gas-gas rumah kaca ke atmosfer (kasus terbesar terjadi akibat kebakaran tahun 1997 melepaskan gas-gas mencapai sekitar 2,67 milyar ton karbon dioksida). Dalam area tertentu, kebakaran ini meracuni udara dan dikaitkan dengan berkurangnya hujan.
Pada dasarnya kebakaran hutan dan lahan hampir selalu terjadi setiap tahun karena sejak jaman dahulu masyarakat di Indonesia menggunakan api untuk membuka lahan pertanian, permasalahan menjadi semakin besar pada saat sistem membuka lahan dengan cara membakar ini diterapkan oleh perusahaan-perusahan besar seperti perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri, dampak dari kebakaran ini tidak hanya menimbulkan permasalahan lokal, asap-asap hasil kebakaran hutan bahkan sampai mengganggu ke negara-negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura.
Besarnya permasalahan lingkungan yang dihasilkan baik secara nasional maupun global akibat kebakaran hutan dan lahan mengharuskan Indonesia untuk mampu mengatasi, disamping penegakan hukum bagi para pelaku pelanggaran juga secara teknis dan konstruktif lebih mengefektifkan manajemen pengendalian  kebakaran hutan dan lahan yang diterapkan.  Meskipun upaya-upaya telah dilakukan, namun kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam skala besar (dalam ribuan hektar) sampai saat ini masih terus terjadi terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan, sebagai contoh sampai Juli 2009 berdasarkan laporan berbagai media massa terjadi kebakaran mencapai 6000 Ha di Sumatera.
Sehubungan dengan masih latennya kasus kebakaran hutan di Indonesia sampai saat ini maka berbagai pemahaman tentang upaya pengendalian perlu dilakukan terutama bagi para rimbawan untuk lebih intensif menyiapkan kemampuan dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan melalui analisis kebakaran hutan dan lahan.  Selain penguatan dalam hal kebijakan, dalam kaitannya dengan analisis kebakaran hutan dan lahan sangat diperlukan pemahaman lebih lanjut terhadap perilaku api dan faktor-faktor yang berpengaruh agar manajemen kebakaran hutan dan lahan dapat dilaksanakan secara efektif. 
Dalam rangka mendukung hal tersebut, penulisan makalah ini ditekankan pada bahan bakar sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perilaku api, terutama mengenai hubungan susunan/kekompakan dan kesinambungan bahan bakar terhadap perilaku api.
PERILAKU API
Dalam suatu kebakaran hutan selain dikenal segitiga api dikenal pula segitiga lingkungan api.  Payne et al (1996) dalam Syaufina (2008) menjelaskan bahwa perilaku api dipengaruhi oleh unsur-unsur segitiga lingkungan api, yaitu bahan bakar, cuaca dan topografi.  Dijelaskan lebih lanjut bahwa perilaku api cenderung dinamis selalu berubah menurut ruang, waktu atau keduanya, hal ini sangat terkait dengan perubahan unsur-unsur pada segitiga lingkungan api tersebut.  Diantara ketiga unsure, cuaca merupakan unsure yang paling cepat berubah menurut ruang dan waktu.




 
PENGARUH BAHAN BAKAR TERHADAP PERILAKU API
Salah satu faktor yang berperan dalam kebakaran hutan adalah bahan bakar. Selain itu faktor-faktor yang berperan yang masih dekat hubungannya dengan bahan bakar adalah jenis vegetasi dan kerapatan tanaman. Jenis vegetasi dan kerapatan untuk jenis hutan tropis terjadi proses siklus makanan yang tetap, dimana jika kondisi stabil tanpa ada kegiatan penebangan maka proses dekomposisi dapat berjalan dengan normal sehingga serasah, ranting dan lainnya mengalami proses pembusukan alami untuk sumber makanan kembali bagi tanaman. Hal tersebut berimplikasi pada tingkat kerawanan kebakaran pada hutan tropis sangat kecil sekali. Akan tetapi kedua hal tersebut akan menjadi potensi bahan bakar yang besar pada kondisi yang tidak stabil dan ekstrim untuk mendukung kebakaran hutan bila ada sumber penyulut api.
Sebagaimana dilaporkan oleh Whelan (1995) dalam Syaufina (2008) bahwa karakteristik bahan bakar sangat berpengaruh terhadap perilaku api.  Tingkat atau bentuk pengaruh ditentukan oleh susunan, distribusi, kadar air dan kandungan kimia bahan bakar sebagaimana diuraikan pada Tabel 1.
Tabel 1.  Bentuk pengaruh  muatan bahan bakar terhadap perilaku api
Sifat bahan bakar
Pengaruh
Muatan
Menentukan ketersediaan energy maksimum untuk terbakar
Susunan
Menentukan aerasi, penjalaran api secara vertikal dan horizontal
Distribusi ukuran
Kemudahan penyalaan awal
Kandungan kimia
Meningkatkan atau menurunkan kemampuan untuk terbakar (flamabilitas). Meningkatkan : resin atau minyak
Menurunkan : kandungan mineral
Sumber (Syaufina, 2008)

HUBUNGAN KEKOMPAKAN/SUSUNAN DAN KESINAMBUNGAN BAHAN BAKAR TERHADAP PERILAKU API
Menurut Syaufina (2008), kekompakan bahan bakar menunjukkan keterikatan komponen-komponen atau partikel-partikel penyusun bahan bakar dalam suatu tumpukan yang lebih lanjut akan memengaruhi suplai udara terhadap individu partikel bahan bakar dan kemudahan perpindahan panas dalam tumpukan sehingga memengaruhi kecepatan dan tinggi nyala api.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa suplai udara dapat didekati dengan pengukuran massa bahan bakar per satuan volume tumpukan bahan bakar (bulk density) dan porositas bahan bakar.
Letak potongan-potongan bahan bakar yang satu dengan lainnya di dalam hutan akan sangat mempengaruhi perilaku api. Penyusunan bahan bakar akan berpengaruh terhadap:
a. Laju pemasokan oksigen untuk reaksi pembakaran
b. Laju penguapan air dari bahan bakar
c. Tingkat pemindahan panas melalui radiasi dan konduksi
d. Arah penjalaran api
e. Laju pembakaran dan penjalaran
Penyusunan bahan bakar menggambarkan sebaran (distribusi) semua potongan bahan bakar yang dapat terbakar pada bidang horizontal dan vertikal. Penyusunan bahan bakar juga sekaligus menggambarkan kesinambungan (kontinuitas) bahan bakar ke arah horizontal dan vertikal. Syaufina (2008) menegaskan, adanya gap akan menghambat terjadinya penjalaran api.  Reaksi pembakaran akan berlangsung paling baik bila bahan bakar cukup tersebar untuk memberi kesempatan pemasokan oksigen ke zona nyala, tetapi cukup rapat, agar terjadi pemindahan panas yang efisien.
Gorte (2009)[2] menguatkan penjelasan tersebut, untuk mengukur distribusi baik secara horizontal maupun vertikal suatu bahan bakar perlu memperhatikan dua hal penting  yaitu kekompakan (compactness or porosity) tumpukan bahan bakar dan kesinambungan (continuity) bahan bakar.  Semakin tinggi kekompakan bahan bakar akan semakin resisten untuk terbakar karena ventilasi dalam keadaan terbatas sehingga perubahan kelembaban untuk menjadi kering sangat lambat.  Selain itu api membutuhkan kesinambungan bahan bakar untuk menjalar dan menyebar, secara horizontal ditentukan oleh kerapatan bahan bakar dan secara vertikal ditentukan oleh keberadaan bahan bakar mulai dari tingkat bawah, permukaan dan kanopi.
Berdasarkan tingkatan atau susunan secara vertikal, bahan bakar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian yang selanjutnya akan menyebabkan adanya tipe penggolongan kebakaran hutan, yaitu :
a.    Bahan bakar atas, Semua bahan bakar hijau (hidup) dan mati yang terdapat di kanopi hutan, meliputi cabang ranting dan tajuk pohon dan dedaunan yang berada di bagian atas pohon.
b.    Bahan bakar permukaan , meliputi vegetasi tingkat semai dan pancang, semak belukar dan limbah pembalakan.
c.    Bahan bakar bawah, terdiri atas lapisan bahan organik yang terdapat di permukaan lantai hutan dan bawah permukaan tanah, meliputi bonggol akar, batubara, akar-akar tanaman dan pembusukan bahan-bahan kayu lainnya. Contoh lainnya adalah lapisan gambut.
Hasil penelitian yang dilakukan Saharjo et al (2010)[3] memberikan gambaran bahwa kualitas dan kuantitas bahan bakar sangat berpengaruh besar terhadap perilaku api. Hasil percobaan lapangan terhadap rumput gambut, tanah gambut dan padang alang-alang di Sumatera Selatan menunjukkan bahwa perbedaan tipe dan perlakuan bahan bakar menghasilkan tingkat kebakaran yang berbeda.  Hasil percobaan tersebut memberikan gambaran pada bahan bakar kering, alang-alang lebih cepat dan mengalami kebakaran terbesar, sedangkan pada gambut lebih lambat tetapi menghasilkan pembaraan yang tertinggi.   Dari hasil penelitian ini dapat diduga bahwa alang-alang cenderung memiliki kekompakan yang lebih rendah dibandingkan lahan gambut, porositas lebih tinggi sehingga menghasilkan flammabilitas yang tinggi.  Disamping itu lahan alang-alang lebih berpotensi menghasilkan kebakaran permukaan dan kebakaran atas (kanopi) apabila kesinambungan bahan bakar memadai.
Ohman (2006)[4] memfokuskan penelitian pada kehadiran Smilax rotundifolia yang merupakan semak yang infasif pada areal rumput belukar meningkatkan jumlah dan muatan bahan bakar, percobaan pembakaran yang dilakukan pada area terinvasi Smilax dengan sampling seluas 0.2 ha yang mewakili seluruh areal dengan ketinggian semak berkisar 1-2 m.  Ditinjau dari segi muatan (fuel load) menghasilkan peningkatan nilai muatan bahan bakar yang jauh lebih tinggi dari standar, (10 ton/acre dari standar 7.3 ton/acre), sedangkan tinggi nyala api (flame length) dan rate of spread hasil observasi menunjukkan lebih tinggi (mencapai 17 ft atau sekitar 5 m lebih) dan lebih cepat (mencapai 15 m/menit) dibandingkan standar model yang dibuat (kurang dari 5 m dan 14 m/menit).  Ditinjau dari segi susunan dan kesinambungan, dari hasil penelitian tersebut dapat diduga bahwa kehadiran spesies infasif Smilax ini justru menambah persoalan baru dimana susunan tumpukan yang cenderung lebih tinggi dan sebaran horizontal yang merata sangat mendukung terjadinya perilaku api yang lebih agresif, sehingga secara vertikal juga dapat memicu kesinambungan kebakaran atas.

Hasil penelitian terkini terkait karakteristik bahan bakar bawah telah dilakukan lebih lanjut oleh Davies et al (2010)[5] dengan melihat perkembangan karaktereistik bahan bakar secara berkelanjutan sejak tahun 1936 sampai saat ini.  Penelitian ini mengambil judul pengaruh “long-term livestock grazing” studi kasus di Sagebrush Steppe Rangelands terhadap karakteristik bahan bakar.  Perlakuan yang dilakukan adalah membuat 2 tipe plot sampling berupa “grazed” (terletak di sebelah eksklosur) dan “non-grazed” (pada area eksklosur) dengan luasan masing-masing 2 ha, kondisi fisik tanah dan lahan kedua lokasi cenderung sama.
Hasil pengukuran tahun 2009 mengindikasikan kedua area penelitian telah ditutupi oleh berbagai jenis cover (Gambar 2) mencakup perennial buncgrass (PG), vegetasi herba (Therb), gap, berbagai jenis semak (shrub) dan serasah (litter). Penelitian menghasilkan informasi bahwa ditinjau dari aspek covering bahan bakar terlihat pada kedua area tidak lagi didominasi rumput.

Gambar 3 menjelaskan lebih lanjut bahwa ditinjau dari segi kontinuitas  bahan bakar terlihat bahwa area non grazed memiliki resiko kebakaran lebih tinggi, hal ini didukung oleh kualitas bahan bakar berupa perennial grass dan serasah yang lebih tinggi, panjang bahan bakar dan total biomasa.  Berbagai fakta hasil penelitian yang mendukung kesimpulan ini antara lain :
 

1)        The height and amount of fine fuels are correlated positively with the ability of fire to spread, especially across fuel gaps (Bradstock and Gill 1993; Blackmore and Vitousek 2000).
2)        Similarly, Miller and Heyerdahl (2008) reported that variation in fire frequency in rangelands was driven by fine fuel abundance and continuity, and Miller and Urban (2000) demonstrated that fine fuels from grass were critical for fire spread and were correlated positively with increasing fire frequency in drier plant communities.
3)        Waldram et al. (2008) also reported that the removal of a large herbivore in Africa increased the fuel loads and continuity and  this caused larger fires with less unburned patches.  Larger fuel gaps in moderately grazed sagebrush rangelands would require longer flame heights to be crossed; however, the effects of grazing on other fuel characteristics would decrease flame lengths.
4)        Less fine fuel and shorter fuel height produces shorter flame lengths (Bradstock and Gill 1993). Thus, moderate grazing affects several fuel characteristics to cumulatively decrease the flammability of  agebrush rangelands.

Hasil-hasil penelitian di atas merupakan contoh kehadiran bahan bakar pada tingkat permukaan dan bawah yang memberikan dampak langsung terhadap kesinambungan bahan bakar, sehingga memicu kebakaran pada tingkat di atasnya.  Hasil-hasil penelitian lainnya terkait dengan karakteristik bahan bakar atas diuraikan secara ringkas sebagai berikut :
Scott dan Reinhard (2006)[6] meneliti karakteristik bahan bakar kanopi terhadap perilaku api dalam hubungannya dengan kebakaran atas.   Dalam artikelnya menguraikan secara detail hasil pengukuran berbagai variasi biomassa untuk mensimulasi pengaruh beberapa perlakuan silvikultur seperti penjarangan, pemangkasan dan prescribed fire terhadap karakteristik bahan bakar kanopi.  Penelitian ini melihat variasi dari kepadatan tajuk 5 jenis tegakan sebagaimana disajikan pada Gambar 4.









Hasil penelitian menunjukkan model-model simulasi sebagai berikut :
Perlakuan penjarangan ringan, penjarangan tajuk dan pembatasan limit diameter untuk ditebang berkorelasi dengan kepadatan tajuk (CBD), muatan bahan bakar (CFL) dan tinggi tajuk (CBH).  Penjarangan ringan menghasilkan hubungan semakin rendah target basal area akan semakin rendah  nilai ketiga karakteristik bahan bakar. 
Perlakuan pemangkasan (pruning) menghasilkan respon yang unik, yaitu semakin tinggi (panjang) tajuk yang dipangkas semakin menurunkan CBD dan CFL tetapi justru meningkatkan CBH.
Penelitian ini memberikan gambaran bagaimana mengelola karakteristik bahan bakar dengan menggunakan perlakuan terhadap tegakan, terutama terhadap tajuk pohon.  Dalam kaitannya dengan kekompakan bahan bakar, adanya perlakuan terhadap tajuk justru menurunkan kekompakan tajuk yang berimplikasi pada meningkatnya porositas, sehingga dapat meningkatkan kebakaran tajuk.  Namun demikian baik secara horizontal maupun vertikal kesinambungan bahan bakar menjadi terputus, artinya penjalaran api akan berkurang.

















Penyajian hasil penelitian di atas sebelumnya didukung oleh model kalkulasi karakteristik bahan bakar dengan menggunakan program computer oleh Reinhardt (2006)[7] yang disebut program “FuelCalc”.  Program ini merupakan perangkat untuk menganalisis dan menghitung muatan dan karakteristik bahan bakar hasil inventarisasi baik di permukaan maupun kanopi untuk mendukung keputusan perlakuan bahan bakar melalui simulasi pengaruh perlakuan silvikultur baik pada permukaan maupun kanopi tegakan.
Bentuk-bentuk aktivitas yang dapat dilakukan terkait dengan manajemen kekompakan dan kontinuitas bahan bakar pada suatu hutan atau lahan antara lain :
a.    Menebas tumbuhan bawah di lantai hutan secara periodik, dilakukan pada musim hujan. Tindakan ini tergolong usaha merubah kekompakan bahan bakar. Bila tidak ditebas, dapat pula dilakukan penggilasan dengan menggunakan silinder besi yang ditarik traktor atau dengan mesin giling.  Penggilasan ini sekaligus dapat memutus kontinuitas vertikal bahan bakar.
b.    Menggilas padang alang-alang dengan silinder besi yang ditarik traktor atau mesin giling, sehingga kekompakannya ditingkatkan.
c.    Melakukan penyiangan tanaman selebar 1 meter di sepanjang larikan tanaman hutan (HTI/strip weeding). Tindakan ini tergolong usaha memutus kesinambungan bahan bakar atau sebaran horisontalnya.
d.    Melakukan pemangkasan cabang pohon pada tanaman HTI. Dahan/cabang bagian bawah dipangkas untuk memutus kontinuitas vertikal bahan bakar.

URGENSI PENELITIAN
Berdasarkan uraian tentang pengaruh kekompakan dan kontinuitas bahan bakar terhadap perilaku api, serta perkembangan hasil-hasil penelitian maka bagi Indonesia sangat penting untuk melanjutkan penelitian-penelitian yang secara rinci dan spesifik terutama tentang perlakuan-treatmen terhadap tegakan antara lain :
1)   Tingkat penjarangan yang optimal untuk menurunkan bahaya kebakaran tetapi tidak menurunkan produktivitas hutan (penjarangan tegakan atau penjarangan tajuk)
2)   Tingkat pemangkasan tajuk yang optimal untuk memutus kesinambungan bahan bakar untuk setiap jenis sesuai karakteristik masing-masing pohon
3)   Pengelolaan limbah penebangan secara terstruktur agar tidak menimbulkan timbunan bahan bakar dan kesinambungan dengan tumpukan bahan bakar di sekitarnya
PENUTUP
Manajemen kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya adalah manajemen perilaku api (fire management) dan pemahaman terhadap perilaku api perlu dilengkapi dengan pemahaman yang cukup terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku api, yaitu segitiga lingkungan api yang terdiri atas bahan bakar, topografi dan cuaca.  Bahan bakar merupakan faktor yang sangat esensial untuk dapat dimanipulasi sedemikian rupa dibandingkan dua faktor lainnya yang cenderung lebih dipengaruhi oleh alam, sehingga berbagai faktor yang terkait dengan karakteristik bahan bakar perlu dipahami secara lengkap.
Selain upaya-upaya yang terkait dengan sifat-sifat bahan bakar lainnya seperti ukuran dan bentuk, kadar air, kandungan kimia dan muatan, maka upaya-upaya manipulasi kekompakan dan kontinuitas bahan bakar menjadi faktor kunci dalam rangka menurunkan potensi bahaya kebakaran hutan dan lahan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan tentunya disesuaikan dengan tipe bahan bakar mencakup bahan bakar bawah, permukaan dan atas dengan perlakuan-perlakuan silvikultur seperti penjarangan, pemangkasan, pembuatan jalur-jalur gap dan lain-lain.

DAFTAR PUSTAKA
Davies, K.W,  J.D. Bates, T. J. Svejcar, and C.S. Boyd.  2010.  Effects Of Long-Term Livestock Grazing On Fuel Characteristics In Rangelands: An Example From The Sagebrush Steppe.  Rangeland Ecology & Management 63(6) November 2010

Reinhardt, E, D. Lutes and J. Scott.  2006.  FuelCalc: A Method for Estimating Fuel Characteristics.  USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-41.

Reinhardt, E., J. Scott, K.Gray. and R. Keane.  2006.  Estimating canopy fuel characteristics in five conifer stands in the western US using tree and stand measurements.  Can.J.For.Res. 36: 2803-2814 (2006).

Gorte, R.W.  2009.  Wildfire Fuels and Fuel Reduction.  CRS Report for Congress.  Congressional Research Service.

Saharjo, B. H, S. Sudo, S. Yonemura, And  H. Tsuruta.  2010.  Fuel Characteristics And Trace Gases Produced Through Biomass Burning.  Biodiversitas Vol.11 (1), January 2010: 40-45
Scott, J. H and E. D. Reinhardt.  2007.  Effects of Alternative Treatments on Canopy Fuel Characteristics in Five Conifer Stands.  USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-203.

Syaufina, L.  2008.  Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran.  Malang : Bayumedia Publishing.

Tacconi, L.  2003.  Kebakaran hutan di Indonesia : penyebab, biaya dan implikasi kebijakan.  Bogor : Center for International Forestry Research.

Ohman, M.C. 2006.   Characteristics of Fuel Beds Invaded By Smilax Rotundifolia. A Thesis.  Department of Natural Resources Conservation.  University of Massachusetts Amherst


[1] Syaufina, L.  2008.  Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia : perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran.  Malang : Bayumedia Publishing.
[2] Gorte, R.W.  2009.  Wildfire Fuels and Fuel Reduction.  CRS Report for Congress.  Congressional Research Service.

[3] Saharjo, B. H, S. Sudo, S. Yonemura, And  H. Tsuruta.  2010.  Fuel Characteristics And Trace Gases Produced Through Biomass Burning.  Biodiversitas Vol.11 (1), January 2010: 40-45

[4] Ohman, M.C. 2006.   Characteristics of Fuel Beds Invaded By Smilax Rotundifolia. A Thesis.  Department of Natural Resources Conservation.  University of Massachusetts Amherst
[5] Davies, K.W,  J.D. Bates, T. J. Svejcar, and C.S. Boyd.  2010.  Effects Of Long-Term Livestock Grazing On Fuel Characteristics In Rangelands: An Example From The Sagebrush Steppe.  Rangeland Ecology & Management 63(6) November 2010
[6] Scott, J. H and E. D. Reinhardt.  2007.  Effects of Alternative Treatments on Canopy Fuel Characteristics in Five Conifer Stands.  USDA Forest Service Gen. Tech. Rep. PSW-GTR-203.

[7] Reinhardt, E, D. Lutes and J. Scott.  2006.  FuelCalc: A Method for Estimating Fuel Characteristics.  USDA Forest Service Proceedings RMRS-P-41.