secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Rabu, 03 Oktober 2012

SFM certification of PT BIOS by Sarbi International Certification


Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) Pada Pemegang Izin Atau Hutan Hak dan/atau pada Unit Manajemen Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (UM IUPHHK/Auditee) oleh Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP-PHPL) bersifat mandatory, yang dilakukan berdasarkan ketentuan-ketentuan pada: 1) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 jo. P.68/Menhut-II/2011 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, 2) Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.8/VI-BPPHH/2011 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu, 3) SNI 19-19011-2005 Panduan Audit Sistem Manajemen Mutu dan/atau Lingkungan, 4) ISO/IEC 17021:2011 Conformity Assessment - Requirement for Bodies Providing Audit and Certification of Management Systems, 5) ISO/IEC 19011:2011 Guidelines for Quality and/or Environmental Management Systems Auditing,  6) Dokumen KAN DPLS 13 Rev.0 : Syarat dan Aturan Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) dan 7) Surat Edaran Dirjen BPK Nomor SE.8/VI-Set/2010 tentang Penjelasan Kedudukan Sertifikasi PHPL dan VLK.
PT. BINA OVIVIPARI SEMESTA (Selanjutnya disebut PT. BiOS) yang didirikan melalui Akte Notaris Elisabeth Veronika Ely, SH Nomor 23 pada Tanggal 10 Nopember 2000. adalah perusahaan swasta yang bergerak dibidang pengusahaan hutan mangrove. PT. BiOS mendapat izin kegiatan pengusahaan hutan mangrove sejak Tahun 2001, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Pontianak No.122 tanggal 2 juli tahun 2001. PT. BiOS mendapatkan Surat Keputusan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (SK IUPHHK) melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 68/Menhut-II/2006 tentang Pembaharuan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu PT. BiOS seluas ± 10.100 ha di Provinsi Kalimantan Barat.
Pada Tahun 2008, pada areal PT. BiOS telah dilakukan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) oleh Lembaga Penilai Independen (LPI) PT. Sarbi Moerhani Lestari dengan menggunakan pedoman penilaian yang terdapat pada Peraturan Direktur Jendral Bina Produksi Kehutanan No. P.03/BPHA/2007 tentang perubahan SK Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. 42/Kpts/VI-PHP/2003 tentang Kriteria dan Indikator Pemanfaatan Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Manajemen.  Pada penilaian PHAPL tersebut, PT. BIOS mendapat Nilai Kinerja PHAPL dengan predikat Baik.
Keberadaan areal kerja PT. BiOS berada pada 2 (dua) blok terpisah, yaitu: Blok A seluas   + 6.030 ha berada di Selat Sekh dan blok Blok B seluas + 4.070 ha di Sungai Bun-bun, masuk dalam wilayah Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Selain PT. BiOS, di wilayah Batu Ampar juga terdapat perusahaan-perusahaan lainnya yaitu IUPHHK-HA PT. Kandelia Alam dan IUPHHK-HT PT. Bina Sylva Nusa
Keberadaan areal kerja dan aktivitas pengelolaan hutan yang dilakukan PT. BiOS dan perusahaan-perusahaan lainnya di wilayah Batu Ampar, pada tiga tahun terakhir ini tidak terlepas dari berbagai isu lingkungan dan sosial yang cukup santer diberitakan media masa di wilayah pesisir Kubu Raya.  Beberapa isu penting yang diberitakan antara lain rusaknya ekosistem mangrove oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, menurunnya produksi ikan akibat pembabatan mangrove dan pencemaran air oleh kulit-kulit pohon bakau yang ditumpuk. Beberapa pemberitaan juga menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan IUPHHK dipandang bertanggungjawab terhadap berbagai isu tersebut. 
Kegiatan konsultasi publik yang diselenggarakan sebelum kegiatan penilaian lapangan dilakukan cukup banyak memberikan informasi mengenai isu-isu penting yang terjadi terkait dengan keberadaan areal PT. BiOS dan segala aktifitasnya. Hasil tangkapan informasi yang diperoleh antara lain adalah permasalahan-permasalahan yang terjadi ternyata berada pada daerah-daerah yang jauh dari areal kerja PT. BiOS, pembabatan mangrove yang diisukan dilakukan oleh Auditee juga sesuai dengan aturan yang berlaku yaitu di hutan produksi yang menjadi bagian dari ijin konsesi dari Menteri Kehutanan.  Permasalahan yang justru menjadi mencuat adalah penurunan produksi ikan dan pengambilan kayu mangrove di areal hutan lindung sepanjang pesisir.  Keberadaan dapur-dapur arang menjadi salah satu isu permasalahan saat ini.
Gambar 1.  aktivitas auditor SIC di PT BIOS Kalbar

Semakin pesatnya pertambahan dapur arang masyarakat yang sampai saat ini sudah mencapai 350 unit (sesuai penyampaian Camat Batu Ampar) ternyata menjadi salah satu penyebab terjadinya perusakan mangrove di wilayah peisisir Kubu Raya, pengambilan bahan-bahan kayu mangrove dilakukan  umumnya pada areal yang ditetapkan sebagai hutan lindung, sehingga terlihat bagian sebelah dalam hutan mangrove terlihat terbuka.  Para pengrajin arang ini justru tidak mengambil bahan dari areal PT. BiOS, hal ini disebabkan lokasi areal yang cukup jauh dari pemukiman dan taransportasi air yang tergolong mahal.
Dalam kaitannya dengan keberadaan PT. BiOS di wilayah ini dapat diketahui berdasarkan hasil verifikasi dalam rangka penilaian PHPL yang dilakukan PT. Sarbi International Certification secara umum menunjukkan lokasi dan aktifitas PT. BiOS tidak banyak menimbulkan permasalahan lingkungan di sekitarnya, kondisi areal cenderung terjaga dengan baik, hampir tidak dijumpai bentuk-bentuk tekanan sosial, yang dijumpai justru dampak positif bagi masyarakat pencari ikan, udang dan kepiting, mereka secara rutin dapat memanfaatkan areal kerja PT. BiOS untuk mencari sumberdaya tersebut. Pada saat areal baru dilakukan penebangan memang dirsakan masyarakat mengurangi keberadaan ikan, udang dan kepting, hal ini diduga oleh banyaknya tumpukan kayu dan limbah pemanenan termasuk kulit-kulit kayu bakau, namun setelah 2 bulan kondisi areal dan sungai/alur kembali normal dan jumlah sumberdaya kebutuhan masyarakat tersebut kembali melimpah. Disamping itu perusahaan selalu memenuhi kewajiban sosial terhadap desa binaan.  Adapun bentuk-bentuk keterbukaan areal yang dijumpai di lapangan adalah bentuk-bentuk kegiatan produksi PT. BiOS dalam areal kerjanya sesuai ijin RKT yang berlaku.
Pada Tahun 2012, LP-PHPL PT. Sarbi International Certification (PT. SIC) mendapat tugas  untuk melakukan penilaian kinerja PHPL dan VLK pada areal PT. BiOS seluas + 10.100 ha di Daerah Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat. Pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan VLK pada PT. BiOS dilakukan melalui 3 (tiga) tahapan, yaitu: persiapan kegiatan penilaian, penilaian lapangan serta penyusunan laporan dan pengambilan keputusan hasil penilaian kinerja PHPL dan VLK.
Di samping mempertimbangkan kondisi tipologi kawasan, Penilaian Kinerja PHPL dan VLK pada PT. BiOS oleh LP-PHPL PT. SIC pada Tahun 2012 menggunakan acuan: alat penilaian atau verifier-verifier pada kriteria dan indikator penilaian kinerja PHPL dan VLK, bobot verifier berbasis usia kinerja Auditee > 5 Tahun dan norma atau nilai kematangan verifier yang terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.8/VI-BPPHH/2011 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu.
Hasil penilaian yang dilakukan pada tahun 2012 ini terhadap PT. BIoS secara umum adalah BAIK, dengan beberapa rekomendasi perbaikan pada beberapa verifier penting diantarana adalah pengelolaan kawasan lindung, pemanenan ramah lingkungan


bedah buku: ecological method in forest pest management


BEDAH BUKU
Judul   Buku                    :  Ecological Method in Forest Pest Management
Penulis                           :  David Wainhouse (Forest Research, Surrey, UK)
Penerbit                          :  Oxford University Press. Oxford New York
Tahun Penerbita              :  2005
Bab/Chapter yang dibedah        :  7 - 9

Oleh :
Ichsan Suwandhi
Phd student of tropical silviculture IPB
Research group of ecology, SITH ITB


Sinopsis
Buku ini membahas tentang metode-metode ekologi dalam pengelolaan hama hutan.  Bagian-bagian di dalamnya membahas secara berurutan dan sistematis mengenai pengelolaan hama hutan, definisi-definisi penting terkait perlindungan hutan terhadap hama, pada pada tiap bab disajikan metode tertentu dalam pngelolaan hama hutan.
Bab 7-9 dalam buku ini merupakan bagian akhir yang berhubungan erat dengan bab-bab sebelumnya terutama dalam kaitannya dengan metode-metode pengendalian secara biologi dan diakhiri dengan bahasan mengenai pengelolaan hama terpadu secara keseluruhan.  Secara lebih spesifik pembagian materi pada masing-masing bab adalah :
1)    Bab 7 membahas mengenai metode “Microbial Control” atau pengendalian dengan menggunakan mikroba pathogen hama,
2)    Bab 8 khusus membahas mengenai “Semiochemical” atau penanda kimia (feromon) dan
3)    Bab 9 sebagai penutup buku membahas secara komprehensif mengenai “Pengelolaan Hama Terpadu”.


Resume subtansi masing-masing Bab

Bab 7. Microbial Control (Pengendalian dengan Mikroba/Patogen Hama)
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit di dalam serangga pemakan tumbuhan (fitofag) kadang-kadang memungkinkan digunakan untuk pengendalian secara biologi dan pada prinsipnya dapat berfungsi seperti halnya predator atau parasitoid, dimana pathogen hama ini dapat menekan populasi hama tertentu bahkan dapat menghasilkan mortalitas hama cukup tinggi. 
Cara kerja pengendalian secara microbial ini adalah dengan cara menyebarkan pathogen serangga pada suatu areal yang terserang oleh jenis serangga hama tertentu.  Beberapa fakta di Amerika menunjukkan bahwa metode ini cukup efektif untuk menekan hama agar tidak melebihi ambang ekonomi.  Sejenis serangga Eropa yang disebut “sawfly” Gilpinia hercyniae menjadi berkembang di wilayah Amerika Utara, pada tahun 1900-an semakin pesat berkembang di Kanada dan Amerika Serikat.  Beberapa jenis parasitoid yang sudah diberi virus “nucleopolyhedrovirus” (NPV) yang berasal dari Swedia dicoba disebarkan pada area yang terserang hama tersebut dan berhasil menekan populasi hama Gilpinia tersebut (Balch and Bird 1944; Cunningham and Entwistle 1981). 
Beberapa contoh lainnya adalah penggunaan pathogen hama berupa fungi di Amerika dan nematode di Australia dan Asia terbukti cukup efektif pula mengendalikan  populasi hama tertentu. Contoh penggunaan fungi pathogen adalah Entomophaga maimaiga berhasil mengendalikan serangga Lymantria dispar dicoba di bagian timur Amerika.  Sedangkan penggunaan nematode adalah Beddingia (Deladenus) siricidicola  berhasil mengendalikan populasi hama Sirex noctilio.  Tipe pathogen lain yang cukup popular digunakan sebagai pathogen hama adalah bakteri.
Mikroorganisme utama yang umum teridentifikasi sebagai pathogen hama untuk pengendalian hama-hama hutan antara lain jenis bakteri Bacillus thuringinensis (Bt), NPV, fungi entomopatogenik dan nematode.  Khusus untuk nematode biasanya bergabung bersama mikroorganisme lain terutama bakteri-bakteri tertentu yang berasosiasi dengannya untuk membunuh hama, jadi hama tidak mati semata-mata oleh nematode sendiri tetapi oleh bakteri yang bersasosiasi tersebut.  Masing-masing tipe pathogen hama memiliki cara-cara yang berbeda satu sama lain dalam menginfeksi inangnya, tingkat dan kecepatan mortalitas yang diakibatkan, sebaran alami dan kepadatannya, mereka juga memiliki host range yang berbeda-beda pula.

Karakteristik dan Ekologi Agen Patogen Hama
1.      Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt)
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah yang tersebar di seluruh dunia.  Bakteri ini umum ditemukan secara alami pada daun-daun pohon baik berdaun lebar maupun conifer, tetapi tempat hidup utamanya adalah di dalam tanah (Smith dan Couche, 1991; Damgaard, 2000).  Secara ekologis belum diketahui dengan pasti fungsi dan perannya di dalam tanah, namun bakteri ini telah umum dikenal sebagai pathogen.  
Siklus hidup bakteri ini sangat sederhana, ketika kondisi tidak mendukung untuk pertumbuhan vegetative maka spora dari bakteri ini mengalami dorman selama kondisi lingkungan tidak mendukung.  Pada kondisi sebaliknya (factor-faktor lingkungan mendukung), bakteri ini akan membentuk parasporal yang mengandung protein-protein yang disebut “cry protein”.  Protein-protein tersebut berupa Kristal yang beracun disebut endotoxin dan berkembang pada lingkungan bersamaan dengan spora-spora ketika dinding sel bakteri tersebut jatuh (Fig. 7.3).  Bakteri cenderung tidak menimbulkan “epizootics”.
Ketika “cry protein” memasuki larva serangga, racun diaktifkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam larva, hal ini berdampak pada terhentinya aktivitas makan larva dan menyebabkan matinya larva dalam beberapa hari.  Tipikal endotoxin dan mekanisme serangan secara lebih detail diuraikan di dalam buku ini.

Figure 7.3 (a) Sporulating cells of Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki (Bt) observed under phase-contrast light micrography to reveal the parasporal bodies (arrows) that contain the insecticidal proteins. (b) The parasporal body of the HD-1 isolate highly enlargedby scanning electron micrography. The bipyramidal crystal contains CryIA proteins a, b, and c and the cuboidal crystals the singleprotein CryIIA. Crystals make up approximately 25% of the dry weight of sporulating Bt (from Federici and Maddox 1996).

2.      Virus
Virus-virus yang menginfeksi serangga umumnya tergolong pada beberapa family berbeda, kecuali family Baculoviridae secara khusus menginfeksi kelompok Artropoda.  Famili ini terdiri atas dua genera, yaitu necleopolyhedrovirus umum disebut NPV dan granulovirus.  Jenis-jenis NPV diketahui merupakan kelompok terpenting karena umum dijumpai sebagai pathogen hama.
NPV adalah virus-virus DNA dengan rod-shape virion terletak di dalam bagian disebut polyhedral (occlusion body), polyhedra ini dibentuk oleh kristal-kristal protein dan diketahui sangat tahan pada lingkungan luar untuk waktu cukup lama.  Inang dari virus ini umumnya adalah Lepidoptera dan Hymenoptera (sawfly).  Pada Lepidoptera, polyhedra menginfeksi stadium larva diawali pada sel mid-gut kemudian lebih lanjut menginvasi bagian-bagian lain pada tubuh larva sampai akhirnya larva mati (Fig 7.4) dan virus ini akan kembali menyebar di tanah bersamaan dengan jatuhnya larva.  Selanjutnya pada larva hymenoptera infeksi terjadi pada epithelium, kondisi ini memungkinkan virus tersebut meninggalkan larva sebelum mati.
Semua mikroorganisme pada dasarnya sensitive terhadap kondisi lingkungan tidak terkecuali virus.  Virus-virus cenderung sangat rentan dengan sinar ultra violet dan menjadi tidak aktif selama beberapa jam atau beberapa hari tergantung pada derajad lama penyinaran.  Pada lingkungan hutan yang kompleks, secara arsitektural NPV dapat lebih besar populasinya di tajuk-tajuk pohon (Killick and Warden, 1991).
Berbeda dengan Bt, virus cenderung menyebabkan epizootics alami yang dapat menimbulkan kegagalan outbreak.  Berdasarkan uraian tersebut maka virus lebih efektif dalam pengendalian hama daripada bakteri.


 
                              Figure 7.4 Larva of Panolis flammea killed by NPV.
Polyhedral inclusion bodies are released when the
larval integument ruptures. (Photo by H.F. Evans).

Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian mmemasuki sel-sel bagian perut serangga dan kemudian memperbanyak diri.  Setiap sel yang terinfeksi virus maka nukleusnya akan membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan.  Proses perbanyakan berjalan sangat cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel serangga sampai akhirnya menimbulkan kematian.  Lama waktu yang diperlukan sejak virus masuk dalam tubuh serangga sampai menimbulkan kematian berkisar antara 4 hari sampai 3 minggu, hal ini tergantung dari jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi, dan keadaan suhu.

3.      Nematode
Terdapat beberapa family dari nematode yang mengandung entomopathogenic spesies, tetapi hanya rhabditid nematode dari Famili Heterorhabditidae dan Steinernematidae serta tylenchid nematode yaitu Beddingia siricicola yang saat ini sangat berpengaruh signifikan.  Heterorhabditidae dan Steinernematidae merupakan obligat pathogen dan banyak spesies dari nematode ini diisolasi dari tanah.
Rhabditid nematodes memiliki siklus hidup yang sederhana dengan dua cirri penting, yaitu peristiwa hidup bebas tanpa makan melalui stadium larva di dalam tanah sampai menginfeksi larva muda atau dewasa (Fig. 7.5) dan asosiasi dengan bakteri.
Selain bersifat obligat, nematoda dapat bersifat fakultatif.  Dari 19 famili nematode yang menyerang serangga, mermithidae merupakan family yang terpenting dan tersebar (teridiri atas 50 genera dan 200 spesies).  Nematode muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk melalui homocel.  setelah  berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga, nematode keluar untuk kawin dan menyebar.  Serangga inang mati sebelum atau sesudah nematode keluar meninggalkan inangnya.

Figure 7.5 Infective juvenile or dauer larva of Steinernema carpocapsae (photo by U. Kolzer).


4.      Fungi
Terdapat banyak jenis fungsi yang bias membunuh serangga, tetapi yang utama menjadi entomopathogenik mencakup 2 divisi fungi, yaitu Dauteromycotina dan Zygomycotina.  Dauteromycotina tidak berkembangbiak secara seksual yang disebut sebagai fungi imperfecti.  Jenis-jenis yang tergolong entomopathogenik dari fungi imperfecti ini antara lain Beauvaria spp, Metharizium spp dan Verticilium spp.  Fungi Zygomycotina terdiri atas Entomophaga spp dan Entomopthora spp.
Berbeda dengan mikroorganisme lainnya, fungi-fungi entomopathogenik biasanya menginfeksi inang dengan cara melakukan penetrasi langsung ke dalam tubuh serangga melalui kulit atau integument menusuk seperti aphid yang tidak bisa dilakukan oleh Bt atau virus.  Proses perkembangan jamur dalam tubuh serangga sampai mati berjalan sekitar 7 hari.  Setelah inang terbunuh jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai, konia tersebut meuncul keluar dari kutikula serangga, lebih lanjut konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air.
Fungi-fungi pathogen kadang-kadang dapat menyebabkan penularan yang mengakibatkan menurunnya populasi serangga hutan terutama aphid dan beberapa family dari Lepidoptera (Pell et al, 2001).  Mereka tergolong fungi-fungi yang sensitive terhadap lingkungan terutama sinar ultra violet, kehidupannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab.

Percobaan dan Penggunaan Patogen Hama

1.       Bacillus thuringiensis dan Virus
Penggunaan pathogen hama sebagai insektisida dipandang merupakan bentuk pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan bila dibandingkan dengan pengendalian kimiawi.  Bt dan NPV dapat disemprotkan dengan menggunakan peralatan konvensional seperti halnya yang digunakan untuk insektisida kimia. 
Faktor-faktor khusus yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi alam, respon karakteristik dose dan pendugaan dose lapangan.  Efektifitas penerapan tergantung pada tepat tidaknya tempat dan waktunya serta stadia larvanya, karena Bt dan NPV memiliki batas aktivitas residual dan toksisitas.  Secara general larva muda dan kecil lebih memungkinkan untuk diserang dan perkembangan pathogen tersebut akan lebih pesat.  Contoh hasil pengendalian dengan Bt dengan tingkat mortalitas serangga (Figure 7.8)

Figure 7.8 Percentage of mortality of different instars of Lymantria dispar larvae when exposed for 6 days to droplets of a Bacillus thuringiensis formulation sprayed onto foliage to achieve different mean droplet sizes and density. The experimental droplet size and densities are within the range expected in the tree canopy following application at a rate of 4.7 lha_1 a using 12.5 BIU l_1 (Dubois et al. 1993). Larvae that survived
treatment lost weight and consumed 2–6 times less foliage than untreated larvae. Second instars (_), third instars (), fourth instars (                ) (data from Maczuga and Mierzejewski 1995).

2.      Nematode
Secara umum penggunaan nematode di kehutanan sangat terbatas, tetapi di sisi lain keberhasilan dalam industry hortikultura dalam memperdagangkan formula nematode untuk mengendalikan “black vine weevi” Otiorhynchus sulcatus digunakan untuk mengendalikan hama hutan.  Metode yang digunakan umumnya melakukan penyemprotan nematode di tanah.


Figure 7.10  Mortality of different instars ofAnoplophora glabripennis when exposed to infective
juveniles (IJ) of Heterorhabditis marelatus. The lethaldose (LD50) was estimated to be 19 IJs for second to
third instar cerambycid larvae (_) and 347 IJs forfourth to fifth instars (_) (from Solter et al. 2001).

3.      Fungi
Secara umum penggunaan formulasi fungi-fungi entomofatogenik lebih banyak digunakan di pertanian dan hama-hama hortikultura.  Namun tidak jarang cukup berhasil diterapkan pada lahan-lahan hutan sekala besar di Cina.

Perkembangan dalam “Microbial Control”
Produksi insectisida berbahan pathogen hama (mikroba) tergolong sangat mahal, terutama untuk virus.   Untuk sebagian besar mikroorganisme pemuliaan dalam efikasi umumnya berasal dari penemuan starin baru dari spesies-spesies yang berbeda dalam tingkat patogenisitas atau toleransi merekat terhadap kondisi lingkungan.
Untuk nematode sangat potensial untuk penggunaan teknik-teknik breeding untuk mengimprove tretmen seperti pencarian inang dan toleransi sinar ultra violet. Untuk Bt dan Virus manipulasi genetic cukup potensial untuk meningkatkan daya patogenisitas atau sebaran inangnya.  Di kehutanan, penggunaan Bakteri Bt sampai saat ini cenderung lebih popular dan digunakan untuk mengendalikan serangga Choristoneura fumiferana dan L. dispar. 
Perkembangan teknologi sampai saat ini adalah upaya mempercepat kematian inang, terutama untuk virus NPV.  Pendekatan yang digunakan adalah menerapkan metode-metode DNA technology untuk mempercepat penyebaran protein beracun di dalam tubuh serangga.

Bab 8.  Semiochemical (Penanda Kimia)
Penggunaan tanda-tanda kimia oleh serangga sering disebut sebagai semiochemical memberikan informasi antara spesies dan memainkan aturan penting pada banyak aspek perilaku serangga termasuk mencari dan menemukan tumbuhan inang serta lokasi perkawinan.  Berbagai penelitian mengenai semiochemical dan aturan-aturan dalam ekologi serangga telah memberikan banyak kegunaan dalam manajemen serangga hama.  Sebagian besar penelitian dilakukan terhadap feromon, yaitu semiochemical yang digunakan untuk penanda antar individu di dalam spesies khususnya betina terhadap jantan.  Serangga hama yang umum dikenal melalui feromonnya adalah kelompok Lepidoptera, Sawfly dan agregasi feromon-feromon kumbang batang (bark beetles).
Semiochemical mungkin disediakan oleh satu atau kedua jenis kelamin serangga dan konsentrasi dan komposisi dari multikomponen feromon dipengaruhi oleh sexratio dari kepadatan serangga di pohon.
Musuh-musuh alami dari kumbang kulit batang, Lepidoptera dan sawfly merespon feromon mereka, yaitu menggunakan kairomon mereka untuk memberi tanda kehadiran serangga lainnya, sehingga dengan mudah musuh alami dapat memangsa serangga-serangga ini. 
Dengan dasar tersebut maka feromon dan kairomon dapat dikembangkan untuk menghadirkan musuh-musuh alami sehingga serangga hama dapat dikendalikan populasinya.

Mating-disruption
Pada metode Mating-disruption sex feromon dari hama target disebarkan ke area yang terancam, tujuannya adalah untuk menekan serangga jantan dalam berkumpul di lokasi dan kawin dengan memanggil betina.  Hasil penelitian dan pengalaman praktek pengendalian langsung di lapangan sangat membantu untuk mengidentifikasi hama-hama  secara efektif.  Untuk menahan terjadinya perkawinan diperlukan jumlah konsentrasi feromon yang tinggi ditempatkan di lokasi yang tepat sehingga peluang bertemunya jantan dan betina menjadi rendah.
Ketika sex feromon disebar di area hutan yang dituju, diperlukan upaya atau mekanisme untuk mencegah serangga jantan memanggil betina, jadi tretmen mating-disruption adalah menahan serangga jantan memanggil betina.
Metode ini baru berhasil dilakukan pada area-area pertanian dengan skala yang lebih kecil, sedangkan pada area hutan masih perlu dilakukan percobaan-percobaan mengingat area umumnya sangat luas dan perlu dipikirkan teknik mengisolasi serangga jantan agar tidak memanggil betina.  Hasil percobaan mating disruption pada L. dispar menghasilkan penurunan populasi yang signifikan dibandingkan dengan kondisi tanpa perlakuan sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini.

Figure 8.3  The effect of mating-disruption onpopulations of Lymantria dispar in isolated oakwoods atthe southern leading edge of the moth’s expanding range in Virginia, USA. Population index was the sum ofthe means of three measures of population—the number of immature stages and the number of fertile egg-masses per 100 burlap bands on host trees and the number of fertile egg-masses per hectare. Disparlure,
the synthetic sex-pheromone of L. dispar, was applied aerially in plastic laminate flakes with a single
application of 75 g ha_1 each year (_) or two 75 g applications applied in 1990 only (_). Control (_) (from
Leonhardt et al. 1996).

Mass-trapping
Metode lainnya untuk mengendalikan populasi hama dengan menggunakan feromon sintetik adalah Mass-trapping.  Teknik ini bertujuan untuk menekan populasi hama dengan cara menangkap serangga dewasa pada “high attractive pheromone-baited traps.  Sex feromon Lepidoptera dewasa digunakan untuk mass trapping dan hanya serangga jantan yang dijebak.  Dampaknya adalah meningkatnya serangga betina yang tidak dikawin sehingga menurunkan populasi generasi berikutnya.  Namun demikian lain halnya dengan kumbang memerlukan mass trapping lebih sering mengingat kedua jenis kelamin serangga selalu bersama-sama.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan masstrapping dapat dihitung secara kuantitatif penurunan sebaran, kerusakan terhadap pohon, atau mengurangi proses reproduksi.  Hasil percobaan tentang teknik mass trapping ini menunjukkan populasi serangga mengalami penurunan yang signifikan (Fig 8.4)
Untuk serangga berupa kumbang-kumbang batang yang agresif seperti kumbang ambrosia yang dapat menyerang pohon-pohon dalam hutan, penggunaan mass trapping cenderung lebih sulit dan tidak cocok untuk dipraktekkan pada kondisi terjadi outbreaks pada area hutan yang kekurangan infrastruktur karena populasi terlalu tinggi dan kapasitas menyebar kumbang sangat cepat.
Kolonisasi adalah cara yang paling berhasil pada kondisi pohon-pohon telah berumur dewasa/tua atau kondisi factor-faktor lingkungan tidak kondusif bagi kehidupan serangga.  Dinamika interaksi antara kepadatan populasi kumbang  dan resistensi pohon dapat dipercepat dalam mengatasi ledakan populasi dengan mempercepat resistensi pohon inang (Fig 8.5)

Sub bab ini lebih lanjut menjelaskan perkembangan praktek-praktek teknik mass trapping dan mengupas studi-studi kasus pada beberapa wilayah di dunia.  Secara umum diperoleh informasi mass trapping cukup efektif untuk menekan populasi serangga dari kelompok Lepidoptera dan Sawfly, sedangkan untuk kumbang diperlukan tambahan perlakuan yang lebih intenssif.

Kemungkinan pengembangan Teknik Semiochemical secara Komerisal
Untuk keperluan pendataan, feromon-feromon bersama-sama dengan pestisisda microbial dan pestisida tumbuhan transgenic diklasifikasikan sebagai pestisida biologis (terpisah dari pestisida kimiawi).
Pengembangan lebih lanjut tentang feromon sintetis sangat penting untuk mendukung teknologi pengendalian populasi serangga yang ramah  lingkungan.  Efektifitas penerapan teknik feromon ini sangat tergantung pada besarnya penyediaannya secara komersial untuk dijadikan formula

 Bab 9.  Integrated Pest Management
(Pengelolaan Hama terpadu)
Istilah Integrated Pest Management (IPM) pada awalnya dikembangkan sebagai jawaban atas penggunaan yang berlebihan pengendalian secara kimiawi yang telah banyak menimbulkan dampak negative bagi lingkungan dan kehidupan manusia yang telah digunakan sebelumnya sejak 1970an.  IPM ini dipandang sebagai solusi dalam mendukung pengelolaan lingkungan dan kelestariannya.
Kogan (1998) memberikan definisi modern tentang IPM, yaitu suatu mekanisme untuk menyeleksi dan menggunakan taktik-taktik pengendalian hama sebagai bagian dari strategi manajemen dengan mempertimbangkan analisis cost benefit, dampaknya terhadap social dan lingkungan.  IPM memiliki cakupan lebih luas atau lebih besar dari pengendalian hama terpadu (IPC) atau dengan kata lain IPC merupakan bagian dari IPM.
Tujuan penting dari IPM di kehutanan adalah meminimalkan penggunaan insktisida kimia terutama pada area-area dengan kondisi lingkungan yang peka, lingkungan perkotaan, kawasan wisata, dean tempat-tempat yang dipandang penting untuk menghindari bahaya dampak insektidsida tersebut.  Tetapi dalam pengelolaan hama-hama hutan, diperlukan integrasi terkait dengan serangga-serangga di alam dan tujuan dari pengelolaan hutan.

The economics of control

Di bidang pertanian, suatu penilaian terhadap kerugian potensial pada hasil atau kualitas produk akibat serangan hama sangat penting karena ini sebagai pertimbangan penting untuk membuat keputusan dalam IPM.
Di bidang kehutanan hal ini lebih rumit untuk menilai secara ekonomis kerugian akibat serangan hama mengingat masa investasi yang panjang dan tidak hanya kayu sebagai produk utama hutan, sehingga nilai kerudian investasi menjadi sangat tinggi apabila area terserang hama atau penyakit.  Dengan IPM ini dijelaskan pendekatan penilaian ekonomi secara lebih efektif sehingga nilai kerugian dapat diduga dengan cepat.

Aspek-aspek yang dikaji pada sub bab ini adalah sebagai berikut :
1)    mengukur dan menghitung dampak ekonomi kerusakan oleh hama.
Dalam buku ini diuraikan metode untuk mengukur atau menghitung dampak ekonomi kerusakan hutan yang disebabkan oleh hama dengan mempertimbangkan rata-rata riap tahunan (MAI) dan memprediksi penurunan hasil produksi di masa depan (Fig. 9.1)







Dampak-dampak yang ditimbulkan serangan hama terhadap hutan dan ekosistem hutan antara lain :
      Growth loss and Mortality (penurunan pertumbuhan dan mortalitas)
Dampak penting yang terjadi akibat serangan hama adalah terhambatnya pertumbuhan pohon-pohon dan menurunnya kualitas batang pohon.  Dampak lain adalah kematian pohon-pohon sebelum siap dipanen, sehingga menimbulkan kerugian yang besar.  Hubungan meningkatnya defoliator dengan penurunan volume tegakan dan kematian pohon-pohon ditunjukkan pada Fig 9.4 dan 9.5.
Dampak terhadap kualitas kayu dan berkurangnya benih pada kebun benih
Hilangnya gudang kayu dan pasar ekspor
Kesehatan masyarakat dan lingkungan perkotaan
Dampak terhadap komposisi tegakan dan ekosistem

Decision support and expert Systems

Keputusan-keputusan yang diambil manajemen dalam IPM sering tergantung pada pengumpulan informasi dari berbagai sumber yang berbeda.  Informasi yang relevan dapat diperoleh secara langsung dari hasil penilaian resiko digabungkan dengan hasil monitoring dan hubungannya dengan serangan dan kerusakan yang ditimbulkan.
Yang menjadi persoalan adalah informasi-informasi ini tidak selamanya tersedia dan ini dapat berpengaruh terhadap pengembangan kombinasi metode-metode atau teknik yang akan digunakan dalam IPM.  Data-data sering hilang akibat pengarsipan yang kurang baik atau hilang bersamaan dengan pergantian atau pindah personil.
Pengembangan system pendukung (Development Support System) berbasis computer merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi kelemahan di atas, sehingga kapanpun dan siapapun personil yang menangani IPM ini dapat membuat keputusan yang tepat. Model pengembangan system informasi IPM disajikan pada Fig.9.10







Future Developments in Pest Management

Perkembangan lebih lanjut di masa mendatang tentunya akan terkait dengan pengelolaan hutan secara lestari.  Sistem pengelolaan hama terpadu (IPM) harus mampu diterapkan dalam mendukung azas kelestarian, sehingga pengelolaan hama yang efektif dan ramah lingkungan menjadi standarisasi global terkait pula dengan isu-isu global.
Isu-isu penting yang terkait dalam pengelolaan hama terpadu di masa mendatang adalah :
1)    Sertifikasi, Konservasi dan Hutan multifungsi
Berbagai pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan dan IPM sendiri tentunya akan menghadapi system sertifikasi yang menjadi indicator apakah pengelolaan telah menerapkan azas-azas kelestarian hutan dan lingkungan.  Salah satu lembaga sertifikasi terbaik dunia adalah Forest Stewardes Cuncil (FSC) yang memberikan 10 prinsip pengelolaan hutan lestari.
Bidang konservasi juga akan menjadi isu penting terkait bagaimana menjaga kelestarian keanekaragaman hayati termasuk serangga-serangga di alam, sehingga IPM diharapkan tidak menimbulkan kepunahan spesies-spesies serangga sebagai bagian dari ekosistem hutan.
Pengembangan hutan multi fungsi menjadi sangat penting sebagai solusi efektif untuk menjamin fungsi-fungsi ekologi, social dan ekonomi. Hutan tidak hanya dikembangkan untuk produksi kayu dan non kayu tetapi juga mendukung jasa lingkungan dan ekowisata
2)    Isu Perubahan Iklim
Isu perubahan iklim global ini secara langsung atau tidak akan berengaruh pada ketidakseimbangan ekosistem termasuk kehidupan serangga.  Beberapa jenis serangga mungkin akan mengalami ledakan di wilayah tertentu, tetapi mengalami kepunahan di wilayah yang lain.  Berbagai resiko yang aka dihadapi terkait dengan isu global ini perlu diantisipasi dengan pengelolaan hama terpadu yang efektif.

manajemen penyakit di HTI


Paper : manajemen penyakit hutan
PRAKTEK-PRAKTEK MANAJEMEN PENYAKIT
PADA HUTAN TANAMAN DI INDONESIA

Oleh:
1. Dede Jajat Sudrajat (BPTP Ciheuluet Bogor)
2. Ichsan Suwandhi (SITH ITB)

ABSTRAKS
Penyakit pada tanaman diartikan sebagai adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu tekanan/ganguan yang terus-menerus dari penyebab utama (biotik/abiotik) yang mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk patologi yang khas yang disebut gejala.  Gejala ini lah yang memberikan petujuk apakah pohon atau tegakan tersebut sehat atau sakit.  Dalam pelaksanaan manajemen penyakit ini, pengelola hutan tanaman pada dasarnya telah memperhatikan dan melakukan tindakan baik berupa pencegahan ataupun pengendalian. Kegiatan manajemen penyakit dalam prakteknya dapat dilihat di beberapa perusahaan HPHTI dan Perum Perhutani yang menjalankan program manajemen hama dan penyakit di bawah Divisi Penelitian dan Pengembangnya.

I.    PENDAHULUAN

Penyakit pada tanaman terjadi karena adanya penyimpangan dari keadaan normal, seperti adanya hambatan atau gangguan pada aktivitas fisiologi tanaman atau karena adanya perubahan struktur tanaman yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyakit dapat menyebabkan bentuk tanaman menjadi tidak normal atau menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yang terserang, bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Penyakit pada tanaman disebabkan oleh: 1) jasad hidup (misal : fungi, gulma, nematode, bakteri); 2) virus; atau 3) faktor lingkungan (misal kekurangan atau kelebihan zat hara, cahaya, suhu, dan kelembaban) (Rahayu, 1999; Widyastuti et al., 2005; Anggraeni et al, 2006).
Penyakit pertama kali dirasakan dampaknya adalah kerugian yang ditimbulkan oleh fungi yang menyerang benih dalam gudang penyimpanan. Kemudian, pada tahun 1979 dilaporkan kematian sekitar 8 juta bibit tusam pada persemaian di Cinta Alam, Aceh. Kerugian akibat penyakit lainnya terjadi pada pertanaman sonokeling yag diserang penyakit layu pada tahun 1970 (Widyastuti, 2005), serangan busuk akar pada tanaman Acacia mangium dan yang paling baru adalah serangan karat puru pada tanaman sengon.
Upaya-upaya manejemen penyakit tanaman hutan telah dilakukan di beberapa institusi pengelolaan hutan seperti Perum Perhutani dan HPTHI. Dalam prakteknya kegiatan tersebut bernaung di bawah Divisi Penelitian dan Pengembangan (R&D) yang salah satu sub divisinya menangani hama dan penyakit. Sub divisi tersebut melakukan monitoring hama dan penyakit, identifikasi dan merekomendasikan tindakan pengelolaan kepada manajer unit (pengelola wilayah tertentu) melalui Divisi R&D-nya.  Namun secara nasional program pengendalian penyakit tanaman hutan belum terlihat nyata karena penyakit tanaman hutan masih dianggap belum menimbulkan kerugian yang massif dibandingkan dengan gangguan-gangguan lainnya seperti kebakaran hutan dan illegal logging
Tulisan ini merupakan tugas kuliah Manajemen Penlindungan Hutan pada Program Doktor Mayor Silvikultur Tropika Institut Pertanian Bogor. Tujuan tulisan ini adalah memberikan gambaran mengenai praktek-praktek pengelolaan penyakit pada hutan tanaman di Indonesia. Gambaran ini penting sebagai bahan membelajaran untuk lebih mengintegrasikan pengendalian penyakit tanaman hutan ke dalam pengelolaan hutan yang tidak hanya bersifat lokal namun menjadi kebijakan yang sifatnya nasional.

II.      PRAKTEK MANAJEMEN PENYAKIT BENIH DAN PERSEMAIAN

A.   Praktek Pengendalian Penyakit Benih
Benih sebagai bahan yang memiliki nutrisi tinggi seperti karbohidrat, protein, dan lemak adalah sumber makanan yang menarik bagi sejumlah organisme. Benih memiliki pelindung terhadap serangan infeksi misalnya kulit benih yang keras atau senyawa kimia. Benih yang belum masak, rusak atau terlalu tua memiliki perlindungan yang lemah sehingga rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Patogen merupakan organisme penyebab penyakit benih seperti bakteri, virus dan fungi. Fungi merupakan penyebab penyakit benih yang paling penting (Schmidt, 2000). Fungi yang menyerang benih dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu fungi terbawa benih (field fungi) dan fungi gudang (storage fungi) (Rahayu, 1999).  Fungi terbawa benih umum tidak menyerang benih itu sendiri tetapi hanya menyerang semai di persemaian (Neergaard, 1979), sedangkan fungi gudang merupakan saprofit fakultatif yang hidup pada bahan organik (Widyastuti, 2005).  Beberapa fungi terbawa benih seperti Alternaria, Chaetomium, Curvalaria, Cladosporium,  Fusarium, Verticilium, dan Sclerotium. Fungi gudang dianatarnya adalah Aspergillus spp. Penicilium, Mucor, dan Rhizoporus spp. Fungi-fungi tersebut termasuk cendawan saprofit dan parasit tular benih yang berada dalam kondisi survival (dorman) selama benih disimpan. Bila kadar air meningkat (lebih dari 14%) maka fungi-fungi tersebut akan tumbuh dengan cepat (Justice dan Bass, 1994).
Di beberapa HPHTI (seperti PT. MHP dan PT. RAPP) dan Perum Perhutani, penanganan benih telah memperhatikan kesehatan benih yang diimplentasikan dari mulai pengunduhan, pemrosesan, hingga penyimpanannya. Beberapa praktek pengendalian penyakit benih tanaman hutan yang sering dilakukan adalah:

1.    Proses penanganan yang tepat
Proses penanganan benih yang tepat merupakan salah satu cara pencegahan serangan penyakit benih. Untuk benih-benih ortodoks (benih kering) seperti Acacia spp. dan Eucalyptus spp., pengeringan benih hingga kadar air 5-7% mampu menekan serangan penyakit benih.  Selain itu, kondisi penyimpanan pada ruang kering dingin juga mampu menekan serangan hama dan penyakit benih.

Gambar 1.  Pengeringan dan penyimpanan benih di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan.

Untuk jenis benih rekalsitran, pengeringan berlebihan berdampak pada menurunnya daya berkecambah benih sehingga pengeringan dan penyimpanan terlalu lama tidak disarankan. Pada penaburan atau pengecambahan benih, penggunaan fungisida sering dilakukan untuk menekan serangan fungi yang umumnya menyukai benih berkadar air tinggi.

2.    Penggunaan fungisida
Walaupun penggunaan fungisida dapat menimbulkan dampat negative terhadap lingkkungan, namun beberapa HPHTI (PT. MHP, PT. Dyera Hutan Lestari) masih menggunakan fungisida untuk perlakuan benih sebelum penyimpanan dan perkecambahannya.  Fungisida yang biasa digunakan adalah Dithane M-45, Bavistin, dan Victory.  Cara aplikasi fungisida dilakukan dengan perendaman benih dalam larutan fungisida dengan dosis 1-2%, kemudian benih dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air semula.

3.    Sterilisasi permukaan
Perlakuan sterilisasi permukaan dilakukan untuk menghilangkan fungi yang menempel di permukaan benih. Sterilisasi permukaan benih dilakukan dengan menggunakan bahan sterilant sebagai berikut:

1). 5 % sodium hypochlorit (NaOCl) digunakan untuk sterilisasi permukaan selama 10 menit.
2).  30 % hydrogen peroxide (H2O2) selama 5 menit.

Setelah perlakuan selesai, benih dibilas dengan air untuk menghilangkan residu kimia. Bahan sterilisasi hanya efektif pada fungi yang menempel di permukaan kulit benih, sedangkan fungi yang ada di dalam benih akan terhindar dari perlakuan. Perlakuan ini juga hanya efektif pada percobaan skala kecil, tetapi tidak praktis pada skala besar. 

B.   Praktek Pengendalian Penyakit di Persemaian
Persemaian merupakan kegiatan penting dalam rangka mempersiapkan bibit untuk program penanaman.  Umumnya kegiatan ini sangat intensif termasuk dalam pengendalian hama penyakit sehingga diperoleh bibit yang sehat. Beberapa praktek pengendalian penyakit di persemaian adalah sebagai berikut:

1.    Sterilisasi media tabur dan media sapih  
Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara :
-       Penjemuran media di bawah sinar matahari selama beberapa hari (3 – 4 hari).
-       Penggunaan autoclave, cara ini kurang efektif untuk skala lapangan.
-       Teknik fumigasi, bahan fumigasi yang sering digunakan di Indonesia adalah berbahan aktif dazomet dengan masa inkubasi 10 – 14 hari
-       Penggorengan media, penggorengan dilakukan selama 3 jam.  Dalam skala besar teknik ini juga kurang efektif.   
-       Penggunaan uap panas dengan peralatan pengolahan media modern (Gambar 2.).


Gambar 2.  Penyiapan media pembibitan di PT. Wira Karya Sakti, Jambi yang telah menggunakan mekanisasi dengan sterilisasi uap panas

2.    Inokulasi mikoriza
Pemberian mikoriza pada tahap pembibitan selain dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, ketahanan terhadap kekeringan, memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh, juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar (Setiadi, 1992). Mikoriza terdiri dari banyak jenis, untuk aplikasinya perlu menyeleksi jenis-jenis yang sesuai dengan inangnya (Santoso et al., 2006).  Di Indonesia, jenis ektomikoriza  yang dominan adalah Amanita, Russula, Boletus dan Scleroderma. Ektomikoriza umumnya berasosiasi dengan jenis-jenis Dipterocarpaceae dan P. merkusii, Eucalyptus spp., Gnetum gnemon dan beberapa jenis dari famili Fagaceae. Ektomikoriza sangat dominan pada jenis-jenis Dipterocarpaceae, dan sedikit jenis yang berasosiasi dengan VAM.  Ektomikoriza dibentuk oleh Basidiomycetes dan Ascomycetes dan beberapa dibentuk oleh Zygomycetes.  Aplikasi ektomikoriza dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti teknik inokulasi tanah, anakan yang bermikoriza, akar yang bermikoriza, biakan murni miselia, suspensi spora, kapsul mikoriza dan tablet mikoriza (Setiadi, 1992).  Inokulum spora dalam bentuk kapsul, tablet atau tepung ektomikoriza dapat digunakan untuk inokulasi pada Dipterocarpaceae.  Isolat lokal yang berhasil dibuat di Indonesia adalah Schleroderma columnare dengan bibit Shorea stenoptera, S. palembanica, S. selanica, S. leprosula, H. mengerawan dan H. odorata (Lee, 1998).    

Cendawan endomikoriza (dikenal juga dengan CMA = cendawan mikoriza arbuskular) banyak berasosiasi dengan jenis-jenis jati, mahoni, eucalyptus, acacia, gmelina, duabanga, khaya, agathis, sonokeling, saga, puspa, waru, rasamala, saninten dan jenis lainnya.  Teknik inokulasi CMA dapat dilakukan pada bibit hasil biakan vegetatif maupun generatif.  Pada bibit vegetatif, inokulasi dilakukan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke aklimatisasi.  Untuk produksi bibit dalam skala besar, inokulasi dapat dilakukan dengan mencampur CMA dengan media sapih secara merata.  Pada bibit generatif, CMA dapat diinokulasikan dengan cara lapisan, teknik campur dan cemplongan.  Teknik lapisan cocok untuk benih berukuran kecil seperti Eucalyptus spp. dan Acacia spp.  Lapisan inokulum CMA ditebar di atas permukaan media setebal 0,5 – 1 cm dan dilapisi lagi media perkecambahan setebal 0,5 cm. Benih ditabur pada lapisan tersebut dan ditutup kembali dengan media setebal 0,5 cm.  Pada teknik campur, inokulum dicampur dengan media secara merata.  Dalam skala besar, pencampuran media tersebut dapat menggunakan molen. Sedangkan pada teknik cemplongan, inokulum dimasukkan ke dalam lubang pada media dalam polybag kemudian semai siap sapih dimasukkan ke dalam lubang tersebut.  Beberapa strain unggul seperti Pisolithus  sp.  yang memiliki spora besar sudah ditemukan dan diformulasikan dalam bentuk suspensi (Santoso et al., 2007).

3.    Penggunaan pestisida
Penggunaan pestisida pada saat ini dapat dikategorikan pengendalian hama secara konvensional (Sarjan, 2004). Pendekatan ini mulai mendapatkan penentangan dari banyak pihak dengan pertimbangan adanya dampak negative dari penggunaan pestisida ini seperti pencemaran lingkungan oleh zat-zat yang tidak mudah terurai dari pestisida tersebut dan matinya organisme non target yang bermanfaat.  Namun bagaimana pun, penggunaan pestisida masih menjadi pilihan utama dalam pengendaliam penyakit di persemaian. Beberapa praktek penggunaan pestisida dan perlakuan pengendalian penyakit lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1Penyakit bibit di persemaian dan cara pengendaliannya

No
Hama dan penyakit
Pohon inang
Cara pengendalian
1.
Penyakit lodoh (dumping off)
Eucalyptus spp., Acacia spp., P. merkusii, P. falcataria, dll.
Sterilisasi media semai (air panas, penggorengan, fumigasi), dengan larutan fungisida seperti captan, ceresan atau PCNB. Cara mekanik dengan memusnahkan bibit yang menunjukkan gejala serangan penyakit.
2.
Penyakit embun tepung
(Oidium sp.)
Acacia spp., Leucaena lecochepala,   
P. falcataria.

Calophyllum inophyllum
Fungisida berbahan aktif benomil (Benlate) dengan dosis 1-2 gr per liter.


Fungisida berbahan aktif benomil dan triadimenol (dosis 0,5-1 gr/liter air, penyemprotan 2 minggu).
3.
Penyakit layu bakteri (bakteri Pseudomonas tectonae)
Tectona grandis

Sistem pengairan tidak terlalu lembab, sterilisasi media dengan formaldelhide 4% atau larutan dihydrostrepotomycin 0,005%, bakterisida berbahan aktif asam oksolinik (Starner 20 WP).
4.
Penyakit bercak daun
-    Pestalotiopsis sp.
-    Pestalotia sp.

-    Altelaria sp.
-    Cylyndrocladium sp. dan Curvularia sp.
-    Cylindrocladium sp.


P. merkusii

Shorea sp. dan Gmelina arborea
Acacia spp.
Eucalyptus sp.


Calophyllum inophyllum

Menjaga kelembaban media, fungisida berbahan aktif propineb (Antracol) atau tembaga oksiklorida (Cuprafit) dengan dosis sesuai label.





Menggunakan fungisida  berbahan aktif  mankozeb, benomil, dan belerang atau dapat langsung menggunakan tepung belerang  yang dihembuskan pada permukaan tanaman yang terserang.
5.
Penyakit karat daun
(fungi Atelocauda digitata)
Acacia spp.
Fungisida Benlate T 20/20 WP, Bayleton 250 EC, Cupravit OB 21, Antracol 74 WP, Baycor 300 EC, Daconil 75 WP, Dithane M-45 80 WP, Orthocide 50 WP, Cobox, Calixin 750 EC, Tilt 250 EC dengan dosis 1-2 cc per liter.
Sumber: Departemen Kehutanan  (2004 dan 2009).

4.    Penilaian mutu bibit dalam rangka standardisasi mutu bibit
Pengendalian penyakit bibit tanaman hutan juga dilakukan dengan skema sertifikasi mutu bibit. Dalam pelaksanaannya, sertifikasi mutu bibit ini menggunakan perangkat standar mutu bibit siap tanam yang terdiri dari dua persyaratan, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Salah satu persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah bibit harus sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk).  Selain itu, bibit harus sudah memiliki batang berkayu lebih dari 50%.  Hal ini juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan penyakit karena umumnya dengan meningkatnya persen batang berkayu berarti kandungan lignin makin meningkat yang dapat menghambat serangan patogen  (Perdirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009).

Gambar 3. Persemaian jati (kiri) dan bibit jati siap tanam yang telah disertifikasi (kanan)


III.     PRAKTEK PENANGANAN PENYAKIT TANAMAN HUTAN DI LAPANGAN

Manajemen penyakit di lapangan dapat dilihat di beberapa perusahaan  hutan tanaman industri (HTI) yang umumnya menggunakan tanaman sejenis (homogen) yang memiliki sifat lebih rentan terhadap serangan penyakit dibandingkan dengan tegakan campuran atau alami. Beberapa upaya majemen penyakit di hutan tanaman adalah sebagai berikut:


A.   Karantina
Karantika dalam hubungan dengan hutan tanaman dan pengendalian penyakit terjadi pada saat impor benih.  Pemasukan benih dari luar negeri (impor) diatur dengan beberapa peraturan sebagai berikut:
1)    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
2)    Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992  tentang Karantina Hewan, dan  Tumbuhan,
3)    Keputusan Menteri Kehutanan No. 01/Kpts-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 01/Kpts-II/2009 secara lebih rinci dijelaskan mengenai syarat-syarat pemasukan benih dari luar negeri.  Dalam hubungannya dengan pengendalian penyakit, benih dari luar negeri harus memiliki beberapa dekumen, seperti sertifikat asal-usul benih (certificate of origin), sertifikat kualitas benih (certificate of quality), dan sertifikat kesehatan (certificate of phytosanitary).

B.   Pembangunan Uji Jenis dan Uji Provenan
Hutan tanaman merupakan tanaman sejenis yang rentan terhadap penyakit sehingga dalam pengembangannya perlu pemilihan jenis yang benar-benar memiliki daya adaptasi tinggi dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta tekanan lingkungan lainnya. Pemilihan jenis merupakan awal pembanguan hutan tanaman (HTI) dalam skala besar. Umumnya uji jenis dilakukan dengan menanam banyak jenis yang dianggap potensial untuk dikembangkan di wilayah tersebut. Jenis terpilih merupakan jenis unggulan lokal untuk dikembangkan menjadi tanaman pokok.
Tahapan selanjutnya adalah uji provenans, namun dalam pelaksanannya uji jenis dapat dilakukan secara bersamaan dengan uji jenis. Uji provenans (asal benih/ras lahan) dilakukan dengan menguji daya adaptasi, pertumbuhan, dan sekaligus ketahanan terhadap penyakit provenans-provenans jenis tertentu yang berasal dari sebaran geografik dan ekologi berbeda. Provenans terbaik meruopakan provenans yang memiliki pertumbuhan baik dan tahan terhadap serangan hama dan tekanan lingkungan yang kemudian dikembangkan untuk pengembangan hutan tanaman dalam skala besar.  Sebagai contoh untuk jenis Acacia mangium, sejak tahun 1995 telah dilakukan uji provenans di beberapa lokasi seperti Riau (PT. RAPP), Sumatera Selatan (PT. MHP), Jambi (PT. WKS), Bogor (Hutan Penelitian Parungpanjang), Kalimantan Selatan (Plehari dan Riamkiwa), Kalimantan Barat (PT. Finantara, Sanggau), dan Kalimantan Timur (PT. ITCI Hutani Manunggal). Provenans-provenans tersebut berasal dari Papua New Guinea dan Queensland, Australia. Uji tersebut selanjutnya dijadikan dasar bagi pengembangan sumber benih termasuk pembangunan kebun benih.

C. Penggunaan Benih Unggul
Dari provenans-provenans terbaik tersebut dapat diseleksi individu-individu tertentu sebagai pohon plus yang selanjutnya dijadikan materi genetic untuk pembangunan kebun benih uji keturunan. Pada uji keturunan, pemilihan individu terbaik dilakukan pada level famili (umumnya banyak menggunakan soudara siibu/halfsib). Umumnya untuk mengkonversi uji keturunan menjadi sumber benih (kebun benih semai) dilakukan seleksi penjarangan (seleksi individu dan seleksi famili) dengan menggunakan parameter pertumbuhan, bentuk batang, dan kesehatan pohon (bebas hama penyakit) (Zobel dan Talbert, 1984).  Tahapan pembangunan kebun benih semai uji keturunan disajikan pada Gambar 4 dan kebun benih di salah satu HPHTI dapat dilihat pada Gambar 5.
Kebun benih semai akan menghasilkan benih unggul dengan keragaman genetik yang cukup tinggi. Keragaman tinggi dari benih yang ditanam pada suatu kawasan hutan tanaman akan berdampak pada meningkatnya ketahanan tanaman tersebut. Hal ini disebabkan karena ketahanan terhadap penyakit sebagai hasil dari penjaranngan seleksi sewaktu konversi uji keturunan menjadi kebun benih akan diturunkan (yang diekspresikan oleh benih yang ditanamnya) dan keragaman yang tinggi memungkinkan setiap individu mempunyai ketahan yang berbeda-beda terhadap suatu penyakit sehingga bila terjadi serangan hanya terjadi pada invidu-individu tertentu saja.

Gambar 4. Tahapan pembangunan kebun benih semai uji keturunan yang dibangun untuk menghasilkan benih unggul. Ketahanan secara polygenic terhadap penyakit yang diperoleh melalui seleksi akan diturunkan dan akan diekspresikan oleh tanaman generasi selanjutnya.

  Gambar 5. Kebun benih uji keturunan di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan

D.   Pengendalian dengan Fungisida
Pengendalian dengan fungisida di lapangan merupakan alternative terakhir dalam upaya pemberantasan penyakit.  Beberapa laporan menyebutkan bahwa penyakit akar merah yang disebabkan oleh Gandoderma pseudoffeurum dapat dikendalikan dengan fungisida Dazomet atau Metil bromide (Rahayu, 1999). Namun tindakan tersebut diajurkan pada lokasi yang telah terinfeksi agar tidak meluas. Umumnya serangan tersebut diakibatkan oleh kurang diperhatikannya tunggal-tunggal atau sisa-sisa akar yang menjadi tempat hidup fungi tersebut yang menjadi sumber inokulum potensial yang selanjutnya menyerang tanaman ketika kawasan tersebut dikonversi menjadi hutan tanaman (HTI).  Oleh karena itu, perlakuan fungisida mungkin harus dikombinasikan dengan eradikasi untuk mendapatkan hasil yang optimal.  

E.    Penanaman Tanaman Pencampur (Tanaman Sela, Tanaman Tepi)
Pada beberapa kawasan hutan tanaman, khususnya yang dikelola Perum Perhutani, penggunaan tanaman sela dan tanaman tepi sudah sejak dulu dilakukan. Namun sekarang ini, jenis tanaman sela yang digunakan telah dipilih yang mempunyai pengaruh terhadap ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Di BKPH Parungpanjang, tanaman sela dan tanaman tepi untuk tanaman pokok Acacia mangiun digunakan tanaman mindi (Melia azedarach) yang dikenal mempunyai zat yang tidak disukai hama dan penyakit dan banyak digunakan sebagai insektisida/pestisida alami.      

F.    Pemberantasan Tanaman yang Terserang Penyakit Busuk Akar
Di beberapa HPHTI, pada tanaman yang telah terserang penyakit busuk akar berat dilakukan memberantasan dengan menggali akar tanaman tersebut dan membakarnya. Hal ini dilakukan untuk memusnahkan fungi yang berpotensi menyebabkan busuk akar yang masih hidup pada sisa-sisa akar dan tunggak.  Pada perusahaan HPHTI besar penggalian akar dilakukan bersamaan dengan persiapan lahan untuk penanaman rotasi berikutnya dengan menggunakan alat-alat mekanis berat.

Gambar 6. Tanaman Acacia yang terserang jamur busuk akar (Gandoderma). Tubuh buah akan muncul dari batang kayu dan pohon tersebut akan mati atau tumbang. Di beberapa HTI, pemberantasan penyakit tersebut dilakukan dengan penggalian tunggak dan membakarnya.




IV.    PENUTUP

Kegiatan pengelolaan penyakit hutan tanaman pada saat ini mulai mendapatkan perhatian serius. Namun perhatian ini masih terbatas pada perusahan HPHTI besar seperti PT. MHP dan PT. RAPP, dan Perum Perhutani. Perusahaan pengelolaan hutan lainnya mungkin belum begitu serius menjalankan program manajemen penyakit tanaman hutan.  Beberapa kendala masih menjadi penghambat untuk menjalankan program manajemen penyakit seperti sumber daya manusia dan alokasi anggaran yang masih belum optimal. Hal ini perlu kesadaran semua pihak termasuk pimpinan manajemen dan juga birokrasi untuk lebih mengupayakan pentingnya manajemen penyakit dalam pengelolaan hutan tanaman di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I., Intari, S.E., dan Darwiati, W. 2006. Hama dan Penyakit Tanaman Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Departemen Kehutanan. 2004.  Teknik Pembibitan dan Konservasi Tanah. Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Teknik Perbenihan Dan Pembibitan Nyamplung. Modul Pelatihan Untuk Pelaksana Pengelolaan DME Berbasis Hutan Tanaman Nyamplung. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta.
Justice, O.L. and Bass, L.N. 1994. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. (Terjemahan). Rajawali Press. Jakarta.
Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. In Appanah, S and Turbull, J.W. (eds). A review of Dipterocarps : taxonomy, ecology and silviculture.  CIFOR. Bogor, Indonesia.
Neergaard, P. 1979. Seed Patology, Volume I. The Macmillan Press Ltd. London.
Perdirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan.
Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santoso, E, M. Turjaman, dan R.S.B. Irianto. 2006.  Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang 20 September 2006. Badan Litbang Kehutanan.
Santoso, E, R. Pasaribu, R. Sitepu, S. Kumalawati, dan M. Turjaman. 2007. Pembuatan Biopot dan Inokulasi Mikoriza sebagai Pupuk Biologi. Laboratorium Mikrobiologi Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 
Sarjan. 2004. Pengelolaan Hama Terpadu (Pertarungan antara Teknologi Konvensional versus Modern) dalam rangka Pencapaian Produksi Pertanian secara Kuantitatif dan Kualitatif. Orasi Ilmiah Disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke 42.   Universitas Mataram . Mataram. 
Schmidt, H. L. 2000. Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen RLPS – Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. (terjemahan).
Setiadi, Y.  1992. Mengenal Mikoriza, Rhizobium dan Aktinorizas untuk Tanaman Kehutanan.  Lab. Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.  Bogor.
Widyastuti, S.M., Sumardi, dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gajah Mada Unirversity Press. Yogyakarta.
Zobel, B.J and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.