Untuk mengukur
kinerja PHPL diperlukan standar dan pedoman penilaian. Standar dan pedoman
penilaian ini selanjutnya digunakan untuk proses penilaian kinerja PHPL oleh
lembaga penilai (assessor) yang independen. Proses penilaian tersebut lebih
dikenal sebagai proses sertifikasi dimana unit pengelola hutan yang lulus
proses penilaian akan mendapat sertifikat sebagai bukti pengakuan telah
melakukan PHPL.
Pentingnya
sertifikasi PHPL bagi pemegang ijin usaha kehutanan didasarkan pada hal-hal
sebagai berikut:
1. Pemerintah mensyaratkan unit
pengelola hutan & industrinya memenuhi minimum requirement standard PHL.
2. Pasar internasional Green Buyers
mensyaratkan produk kehutanan yang ramah sosial dan lingkungan
3. Tekanan lembaga keuangan terhadap
para investor untuk membangun Green-Image
4. Jaminan pasar bagi produsen produk
kehutanan ramah sosial dan lingkungan
5. Mengurangi resiko dampak sosial dan
lingkungan dalam jangka panjang
6. Memperbaiki dan meningkatkan kinerja
unit pengelola
2.1.1.
Program Sertifikasi
PHPL Mandatory (Kementerian LH & Kehutanan)
Berbeda
dengan Sertifikasi PHPL yang merupakan tuntutan pasar (market driven)
yang bersifat sukarela, maka prinsip-prinsip kelestarian yang menjadi dasar
pengelolaan hutan adalah wajib (mandatory)
dilaksanakan sesuai dengan aturan main berdasarkan peraturan perundangan yang
berlaku.
Untuk
mengetahui/mengevaluasi secara obyektif tingkat kepatuhan terhadap aturan main
dan tingkat kinerja yang dicapai oleh para pemegang ijin HPH dan IUPHHK, maka
Departemen Kehutanan akan memberlakukan Program Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Alam Produksi Lestari pada Unit Pengelolaan (yang juga dikenal sebagai
Sertifikasi PHPL wajib) bagi seluruh pemegang HPH dan IUPHHK di Indonesia. Di dalam implementasi Program Penilaian
Kinerja PHPL wajib ini, Dephut
melibatkan/ memanfaatkan
jasa Lembaga Penilai Independen (LPI) atau Lembaga Penilai (LP-PHPL) sebagai pelaksana
penilaian untuk memperoleh hasil yang lebih optimal.
Program
Penilaian Kinerja PHPL yang diberlakukan secara wajib tersebut merupakan bagian
dari pelaksanaan tugas dan fungsi Dephut (regulasi, fasilitasi dan supervisi)
di dalam pengusahaan hutan. Melalui
program Penilaian Kinerja PHPL wajib ini, diharapkan akan dapat diperoleh data
dan informasi tentang tingkat kepatuhan dan kinerja dari masing-masing unit HPH
dan IUPHHK sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan status ijin HPH atau
ijin IUPHHK. Dengan demikian program
Penilaian Kinerja PHPL ini adalah merupakan instrumen internal pemerintah
(Departemen Kehutanan) dalam upaya penegakan peraturan perundangan, khususnya
di dalam menerapkan prinsip-prinsip kelestarian di dalam pengusahaan
hutan. Karena sifat kepentingan internal
tersebut, maka program sertifikasi wajib ini tidak terkait dengan masalah
teknis perdagangan hasil hutan dan tidak diarahkan untuk memenuhi permintaan
pasar (sebagaimana program sertifikasi sukarela).
Program
Sertifikasi PHPL wajib tersebut akan dilaksanakan berdasarkan sistem/
mekanisme, kriteria dan indikator yang akan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan
sebagai ketentuan wajib bagi seluruh pemegang ijin HPH atau IUPHHK.
Kinerja PHPL
suatu ijin usaha kehutanan didasarkan pada empat kriteria, meliputi: 1)
Prasyarat; 2) Produksi; 3) Ekologi; dan 4) Sosial. Masing-masing kriteria
terdiri atas indicator dan verifier-verifier yang harus dipenuhi dalam
melaksanakan kegiatan pengusahaan hutan. Selanjutnya selain kinerja dari empat kriteria
tersebut, pemegang ijin usaha kehutanan juga dituntut untuk memenuhi standar
verifikasi legalitas kayu (VLK) untuk menjamin bahwa kayu yang dipanen
benar-benar berasal dari lokasi yang sah mulai dari blok tebangan hingga tempat
penimbunan kayu untuk siap diangkut ke industry pengolahan kayu. Dalam rangka mendukung pelaksanaan sertfikasi
PHPL dan VLK, pemerintah telah mengatur dalam aturan perundangan sebagai
berikut:
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau
pada Hutan Hak.
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan
Nomor P.14/VI-BPPHH/2014 tanggal 29 Desember 2014 Jo P.1/VI-BPPHH/2015 tanggal
16 Januari 2015 tentang
Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
Program Sertifikasi
PHPL Voluntary
Diawali
dengan keprihatinan akan besarnya laju kerusakan hutan tropis dunia, beberapa
kelompok penggiat lingkungan dan konsumen kayu tropis di negara-negara maju
(Amerika dan Eropa) menuntut agar diberlakukan program sertifikasi (sebagai
instrumen pasar) terhadap produk hutan untuk dapat menahan laju kerusakan hutan
tersebut. Sebagaimana tuntutan pasar (market driven), Sertifikasi PHPL
harus memenuhi prinsip independensi, non-diskriminiatif, obyektif dan
transparan, yang implementasinya bersifat sukarela (voluntary). Untuk memenuhi
prinsip-prinsip sertifikasi tersebut, maka pengembangannya dilakukan oleh berbagai
lembaga sertifikasi yang bertaraf internasional terutama yang dapat memenuhi
tuntutan negara-negara maju di Asia, Amerika dan Eropa, diantaranya adalah Forest
Stewardship Council (FSC) dan
yang khusus berlaku di Indonesia yaitu Indonesian Forestry Certification
Cooperation (IFCC).
a.
FSC
Certification System
FSC
merupakan badan pengembang sistem dan badan akreditasi internasional yang
diimplementasikan melalui Program Sertifikasi Bersama (Joint Certification
Program/JCP). Dalam hal penerapan
Sertifikasi sebagai instrumen pasar yang bersifat sukarela, maka kredibilitas
sistem menjadi sangat penting agar program sertifikasi tersebut dapat berjalan
sebagaimana tujuan awal pengembangannya.
Sertifikasi
menggunakan skema FSC tersebut berlaku secara internasional terutama untuk
memperoleh kepercayaan dari negara-negara buyer
di Amerika dan Eropa terhadap pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh
suatu ijin usaha (IUPHHK). Untuk
memperoleh sertifikat PHPL dari FSC, suatu IUPHHK harus memenuhi 10 prinsip
pengelolaan sebagai berikut:
Principle
1:
Compliance with laws and FSC Principles – to comply with all laws, regulations, treaties, conventions and agreements, together with all FSC Principles and Criteria.
Principle 2:
Tenure and use rights and responsibilities – to define, document and legally establish long-term tenure and use rights.
Principle 3:
Indigenous peoples’ rights – to identify and uphold indigenous peoples’ rights of ownership and use of land and resources.
Principle 4:
Community relations and worker's rights – to maintain or enhance forest workers' and local communities’ social and economic well-being.
Principle 5:
Benefits from the forest – to maintain or enhance long term economic, social and environmental benefits from the forest.
Principle 6:
Environmental impact – to maintain or restore the ecosystem, its biodiversity, resources and landscapes.
Principle 7:
Management plan – to have a management plan, implemented, monitored and documented.
Principle 8:
Monitoring and assessment – to demonstrate progress towards management objectives.
Principle 9:
Maintenance of high conservation value forests – to maintain or enhance the attributes which define such forests.
Principle 10:
Plantations – to plan and manage plantations in accordance with FSC Principles and Criteria.
Compliance with laws and FSC Principles – to comply with all laws, regulations, treaties, conventions and agreements, together with all FSC Principles and Criteria.
Principle 2:
Tenure and use rights and responsibilities – to define, document and legally establish long-term tenure and use rights.
Principle 3:
Indigenous peoples’ rights – to identify and uphold indigenous peoples’ rights of ownership and use of land and resources.
Principle 4:
Community relations and worker's rights – to maintain or enhance forest workers' and local communities’ social and economic well-being.
Principle 5:
Benefits from the forest – to maintain or enhance long term economic, social and environmental benefits from the forest.
Principle 6:
Environmental impact – to maintain or restore the ecosystem, its biodiversity, resources and landscapes.
Principle 7:
Management plan – to have a management plan, implemented, monitored and documented.
Principle 8:
Monitoring and assessment – to demonstrate progress towards management objectives.
Principle 9:
Maintenance of high conservation value forests – to maintain or enhance the attributes which define such forests.
Principle 10:
Plantations – to plan and manage plantations in accordance with FSC Principles and Criteria.
Selanjutnya
dalam skema FSC terdapat beberapa tipe sertifikasi. Hal ini terkait dengan asal
dari produk hasil hutan dan tingkatan produksi yang dilakukan. Sertifikasi ini
untuk menjamin bahwa bahan baku dan produk yang dihasilkan berasal dari sumber
yang dapat dipertanggungjawabkan.
Beberapa tipe sertifikasi FSC adalah sebagai berikut:
1)
Forest Management certification is awarded to forest managers or owners whose management
practices meet the requirements of the FSC Principles and Criteria.
2)
Chain of Custody certification applies to manufacturers, processors and traders of FSC
certified forest products. It verifies FSC certified material and products
along the production chain.
3)
Controlled Wood
is designed to allow organizations to avoid the categories of wood considered
unacceptable. FSC Controlled Wood can only be mixed with FSC certified
wood in labelled FSC Mix products.
4) Special
options for small, low intensity and community forest operations
b.
IFCC Certification System
IFCC
(Indonesian Forestry Certification Cooperation) adalah organisasi di Indonesia yang
mempromosikan pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi hutan dan logo atas
produk-produk berbasis hasil hutan yang berasal dari hutan bersertifikat. IFCC adalah
lembaga standardisasi untuk skema sertifikasi hutan di Indonesia yang mengembangkan
standar serta persyaratan-persyaratan untuk sertifikasi hutan yang berbasis
pada proses konsensus para stakeholder.
Standar
ini didasarkan pada kerangka internasional untuk pengelolaan hutan lestari
termasuk Organisasi Kayu Tropis Internasional atau International Tropical Timber Organization (ITTO) dan Program untuk
Dukungan Skema Sertifikasi Hutan atau Programme
for the Endorsement of Forest Certification schemes (Dewan PEFC); hal
tersebut memadukan konsep perbaikan berkelanjutan (Rencana, Kerja, Periksa,
Bertindak atau Plan, Do, Check, Act) seperti yang ditetapkan dalam standar ISO
(International Organisation for Standardisation atau Organisasi Internasional
untuk Standardisasi) untuk kualitas dan system pengelolaan lingkungan (ISO 9001
dan ISO 14001); dan memandang praktik terbaik terhadap pengelolaan hutan
lestari di Indonesia.
Standar ini dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian
I menetapkan persyaratan umum untuk pengelolaan hutan alam dan tanaman; Bagian
II menetapkan persyaratan khusus untuk hutan alam; dan Bagian III menetapkan
persyaratan khusus untuk hutan tanaman. Persyaratan dalam setiap Bagian
kemudian dibagi ke dalam 4 prinsip utama: Persyaratan Utama, Kesinambungan
Produksi, Kesinambungan Ekologi dan Kesinambungan Sosial.
Jatinangor, Februari 2016
Dr. Ichsan Suwandhi
SFM Auditor
2 komentar:
Nice blog, prince :)
Sbobet | Sports Betting » Online Bets 2021
Bet Sbobet offers a fantastic range of bet sbobet ทางเข้า types for vua nhà cái all major sports and competitions across Europe. Take 제왕카지노 advantage of Sbobet's fantastic betting
Posting Komentar