secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Senin, 24 Januari 2011

LANDSCAPE ECOLOGY AND FOREST MANAGEMENT: DEVELOPING AN EFFECTIVE PARTNERSHIP


REVIEW ARTIKEL
Oleh :
Ichsan Suwandhi
E.4611 00021/SVK



LANDSCAPE ECOLOGY AND FOREST MANAGEMENT: DEVELOPING AN EFFECTIVE PARTNERSHIP
STAN BOUTIN 1) AND DARYLL HEBERT2)
1Alberta Pacific Forest Industries Ltd., and Department of Biological Sciences, University of Alberta,
Edmonton, Alberta, Canada T6G 2E9
2Encompass Strategic Resources Inc., RR#2 599 Highway 21, South Creston, British Columbia, Canada V0B 1G2

Sinopsis Artikel
Artikel ini menyajikan informasi mengenai aplikasi ilmu Ekologi Lanskap untuk manajemen hutan.  Penulis telah melakukan pengujian tentang seberapa besar kontribusi ekologi lanskap dalam praktek-praktek pengelolaan hutan pada saat ini.
Penelitian yang telah dilakukan ini mencakup dua lingkup umum, meliputi :
1)    Studi tentang fragmentasi : ditekankan pada dampak fragmentasi hutan terhadap konservasi spesies.
2)    Perkembangan model-model proyeksi lanskap : ditekankan pada “patch dynamics” dan pengaruh sebaran “patch-patch” terhadap proses-proses ekosistem.
Peneliti menekankan pada perubahan-perubahan lanskap dan pengaruhnya terhadap kerusakan/kehilangan konfigurasi habitat dalam hubungannya dengan konservasi spesies di dalam lanskap-lanskap hutan.  Model-model proyeksi lanskap telah berkembang sangat pesat menjadi perangkat yang penting dalam perencanaan pengelolaan hutan, model ini menggabungkan peran seorang ahli ekologi laskap dengan perencana hutan untuk bekerja bersama-sama dalam rangka memahami berbagai factor interaksi kunci mencakup aktivitas manusia, bentuk pemandangan lanskap alam, dan proses-proses ekologi.

Pendahuluan
Ilmu-ilmu pengelolaan sumberdaya alam seperti perikanan, hidupan liar dan kehutanan pada saat ini telah berkembang dengan menggunakan pendekatan ekologi lanskap. Penggunaan ekologi lanskap merupakan jawaban atas paradigma baru yang berkembang bahwa penerapan prinsip-prinsip manajemen hutan perlu dilengkapi dengan pendekatan-pendekatan ekologi lanskap untuk menyelesaikan berbagai permasalahan data-data dan skala areal yang terbatas.  Dalam aplikasinya, ilmu ekologi lanskap ini dilengkapi dengan perangkat teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG).  teknologi ini mampu untuk menyajikan dan mengolah data yang lebih besar dan luas.  Dalam suatu periode waktu yang sama, dapat diketahui berbagai informasi ekologi seperti metapopulasi, efek-efek tepi, dinamika patch dan teori perkolasi (Forman & Gordon, 1986; Gardner & O’Neill, 1991; Gilpin & Hansky, 1991).
Pekerjaan seorang ahli ekologi lanskap menjadi meningkat dalam biologi konservasi sehingga dua bidang disiplin ilmu menjadi terpadu secara lengkap.  Sangat penting untuk diketahui, bahwa kehutanan sangat potensial untuk mengkaji lanskap, dan konservasi biodiversitas di dalam lanskap hutan menjadi sebuah prioritas.  Dalam perkembangannya, kehutanan memiliki sejarah yang cukup panjang, mencakup perencanaan, pemanenan dan penyediaan kayu jangka panjang.
Selama ini antara pengelolaan hutan dan ekologi lanskap masing-masing berjalan sendiri, sehingga perpaduan keduanya menjadi penting dalam rangka menyelesaikan maslah-masalah yang dihadapi dunia kehutanan terutama terkait dengan bagaimana mengoptimalkan lanskap hutan untuk keberlangsungan proses-proses ekologi di dalamnya.

Apa itu Ekologi Lanskap ?
Istilah “landscape ecology” selama ini memang cenderung asing bagi pengelola hutan baik istilah maupun kegunaannya.  Definisi paling sederhana untuk “landscape” (baca : lanskap) adalah sebaran kebervariasian area, dan yang penting dalam ha ini adalah sebaran alami dari kebervariasian tersebut dan bagaimana pengaruhnya terhadap proses-proses ekologi.   Lanskap memiliki “emergent measurements”  yang terkait dengan ukuran, distribusi,  konfigurasi dan keterhubungan dari “patch-patch”(Whein et al, 1993) ditambahkan pula oleh Lidicker (1995) bahwa lanskap meliputi parameter-parameter edge effect, interpatch fluxes of energy, nutrisi dan organism, serta stabilitas konfigurasi patch.

Kondisi Saat Ini : Manajemen Hutan dan Ekologi Lanskap
Manajemen hutan telah mengalami sebuah konsep besar setelah lebih 10 tahun yang dapat dinyatakan sebagai masa transisi dari produksi serat dan spesies satwa liar ke penyediaan nilai-nilai, termasuk pemeliharaan keanekaragaman hayati (Kohm & Franklin, 1997).  Manajemen ekosistem sebagai pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan ini dan sebagai dasar dalam pengelolaan unit-unit dalam skala ruang yang luas dan waktu yang panjang.  Skala ruang sering diidentikkan dengan skala-skala lanskap dengan asumsi dasar bahwa ekologi lanskap adalah bagian mendasar dari manajemen ekosistem.
Pada dasarnya terdapat dua aspek penting yang digunakan sebagai pendekatan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh heterogenitas ruang-ruang terhadap proses-proses ekologi, adalah : 1) pendekatan fragmentasi hutan (forest fragmentation approach) dan 2)  pendekatan dinamika tegakan hutan (patch dynamics approach).

Fragmentasi Hutan
Fragmentasi habitat terjadi apabila suatu habitat yang spesifik mengalami pemisahan menjadi beberapa bagian membentuk mosaic sehingga merubah ukuran, bentuk dan keterhubungannya.  Fragmentasi ini umum disebabkan oleh perkembangan manusia menngunakan lahan hutan untuk kegiatan pertanian.
Perhatian utama ekologi lanskap disini adalah studi tingkat ketahanan spesies pada areal yang terfragmentasi tersebut (patch).  Penebangan hutan sebagai praktek utama yang dilakukan di sector kehutanan di seluruh dunia yang menjadi penyebab terbesar terjadinya fragmentasi habitat, hal ini menyebabkan areal hutan menjadi tersekat-sekat dan ukuran-ukurannya semakin mengecil.  Fragmentasi inilah kemudian digunakan sebagai parameter yang digunakan dalam ekologi lanskap.  Komponen-komponen fragmentasi yang digunakan dalam ekologi lanskap, yaitu (Haila, 1986) :
1)    Tingkat kehilangan habitat (habitat loss), yaitu total habitat yang hilang dari lanskap.
2)    Konfigurasi habitat (ukuran patch; isolasi)
Kedua faktor di atas sangat berpengaruh terhadap tingkat kehadiran spesies, dan dalam praktek manajemen hutan keduanya perlu dipisahkan karena kadang-kadang perhatian masing-masing pengelola hutan berbeda atau hanya ditekankan pada salah satu faktor.
Studi-studi tentang fragmentasi hutan dipusatkan pada dampak ukuran patch dan isolasi terhadap kehadiran spesies-spesies terseleksi.  Sedikit studi-dtusi mencoba memisahkan pengaruh/dampak kehilangan habitat  dari keonfigurasi spasial.  Sejumlah pendekatan telah diambil, yaitu fragmen-fragmen ukuran variable dan derajat isolasi.  Penilitian ini telah dilakukan oleh Debinski dan Holt (2000), disimpulkan bahwa fragmen-fragmen yang berukuran kecil cenderung mengandung sedikit spesies, rata-rata berpindah cukup tinggi, dan terbentuk beberapa efek tepi (edges effect).
Pada kasus percobaan-percobaan fragmentasi pada areal hutan, terdapat hal-hal yang rumit.  Percobaan yang telah dilakukan menunjukkan fragmen-fragmen biasanya ditempatkan dalam suatu lanskap yang memiliki habitat asli, hal ini mungkin tidak begitu penting bagi kasus  penebangan berotasi (Schmiegelow et al, 1997).  Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar percobaan fragmentasi dilakukan dengan waktu singkat dari serangkaian skala suksesi hutan. Percobaan mengenai fragmentasi ini memberikan kondisi terbaik untuk mengetahui pengaruh ukuran patch terhadap kemampuan patch dalam menampung seberapa besar spesies.  Semakin besar ukuran patch semakin baik dalam menampung spesies-spesies.
Pada bagian di bawah ini merupakan contoh hasil-hasil penelitian tentang hubungan berkurangnya suatu area alami terhadap hilangnya habitat asli :
1)    McIntyre and Hobbs (1999) have operationally defined fragmented landscapes as those where natural habitat has dropped below 60% of the landscape; and relict landscapes are those with < 10% of original habitat. Much of the work on fragmentation has been conducted in relict landscapes where edge effects, patch size, and patch configuration have strong effects on species persistence in the remaining habitat (Saunders et al. 1991). McIntyre and Hobbs (1999) suggest that forestry operations in native forests create examples of variegated landscapes where natural habitat still represents > 60% of the landscape.
2)    Fahrig (1997) has also suggested that the emphasis on habitat configuration is ‘‘misplaced’’ and that conservation efforts should focus on reducing habitat loss.  She used a spatially explicit population model to show that total habitat amount had a far greater influence on species persistence in landscapes than did configuration.  Configuration had little effect as long as suitable habitat made up > 20% of the landscape. Some observational studies have tried to de-couple the effects of configuration from those of habitat loss.
3)    Andre´n (1994) reviewed studies of birds and mammals and concluded that the total area of suitable habitat was of greater importance than spatial configuration, particularly in landscapes with > 30% of suitable habitat left. The greater importance of habitat amount relative to configuration seems to be a consistent pattern, at least for forest birds (McGarigal and McComb 1995, Trzcinski et al. 1999, Drapeau et al. 2000, Flather et al. cited in Fahrig 2002). However, Villard et al. (1999) found that fragmentation and habitat amount had roughly equal influence in eastern deciduous forests within an agricultural matrix.

Fragmentation Studies And Forest Management Practices
Berdasarkan hasil-hasil penelitiantentang fragmentasi dapat ditetapkan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang lebih tepat.  Perencanaan hutan untuk mengkonservasi keanekaragaman hayati harus memperhatikan kondisi habitat berdasarkan konfigurasi areal meliputi ukuran patch dan koridor satwa minimal 20-30 % dari lanskap.
Given these recommendations, we provide a cautionary  note. Most forest landscapes are more complicated  than the dichotomous habitat and matrix design of landscape models and experiments. In particular, forests subject to large-scale natural disturbance events are naturally fragmented, and old forest may naturally comprise ,20% of a landscape (Bergeron and Harvey
1997).  Seorang pengelola hutan harus memprioritaskan konfigurasi habitat dalam menyusun perencanaan konservasi keanekaragaman hayati di dalam lanskap dimana hutan-hutan akan menjadi bagian utama lanskap di masa mendatang, mengelola habitat yang hilang adalah kemungkinan menjadi petunjuk yang paling rasional.  Selanjutnya model-model dan data-data hasil pengamatan memberikan gambaran hubungan yang signifikan antara hilangnya habitat dan pengaruh konfigurasi, 


Pengaruh Lanskap dalam Habitat Spesies
Selain aktifitas rutin pengelola hutan dalam mengkonservasi spesies-spesies melalui pemeliharaan dan penjagaan kelayakan habitat, juga diperlukan identifikasi terhadap spesies-spesies pada habitat khusus.Ekologi lanskap telah menambahkan dimensi lain untuk proses ini melalui pendekatan konfigurasi spasial dapat berpengaruh terhadap habitat.  Beberapa spesies teridentifikasi sebagai “interiror” specialist atau spesies yang membutuhkan ukuran patch yang sempit.  Hal ini member dua implikasi terhadap pengelolaan hutan :
1)    projections of habitat supply for a particular species would have to be readjusted to exclude patches below a minimum size.
2)   Cutting plans would need to be designed to create patches of adequate size and shape to meet the requirements of ‘‘landscape-sensitive’’ species. These adjustments are not substantive, given that patch size is commonly being  tracked in most GIS forest inventories.

Patch Dynamics dan Model Proyeksi Lanskap Hutan
Suatu studi tentang dampak-dampak fragmentasi dalam hutan yang dikelola telah mengambil beberapa pemandangan statis dari ruang-ruang (patch) alami hutan.  Sebagai contoh lanskap dimodel sebagai patch-patch suatu matrik, dengan lokasi-lokasi spasial, patch-patch dan matrik yang cenderung konstan.  Hal ini secara sempurna terlihat dalam bentuk-bentuk lanskap, tetapi hutan yang telah dikelola (hutan tanaman) cenderung lebih dinamis dan dinamika mosaic-mosaik patch  inilah yang dapat digunakan untuk memelihara keanekaragaman spesies (Pickett & Rogers, 1997).
Ekologi lanskap memiliki peran utama untuk mendeskripsi sebaran spasial dari bagian-bagian penting hutan dalam skala-skala regional untuk pengelolaan hutan (Perera & Euler, 2000).  Ekologi lanskap juga secara potensial dapat membantu kita memakai dampak-dampak sebaran spasial terhadap keberlangsungan proses-proses ekologi (Pickett & Cadenasso, 1995).
Inventarisasi hutan penting dilakukan untuk menghitung potensi penyediaan kayu.  Lokasi-lokasi spasial dari area-area yang berpotensi kayu tersebut sangat penting untuk pertimbangan pembangunan jalan dan rencana pemanenannya.  Selanjutnya untuk jangka waktu pengelolaan yang panjang dan area yang luas, pendekatan ekologi lanskap memiliki peran yang sangat strategis dalam pengelolaan hutan.
Model-model proyeksi lanskap saat ini sudah berkembang sangat pesat dengan berbagai versi sebagai perangkat yang strategis dalam manajemen hutan.  Model-model proyeksi lanskap ini disesuaikan dengan data-data potensi hutan terkini dan proyeksinya ke depan.  Hasil penggunaan model ini memberikan informasi gambaran suksesi vegetasi, rencana pemanenan kayu, teknis-teknis silvikultur dan gangguan-gangguan hutan seperti kebakaran dan ledakan hama.
Tantangan utama ekologi lanskap adalah begaimana menghasilkan lanskap-lanskap yang realistis, hal ini berhubungan dengan penskalaan yang dilakukan mulai dari tingkat individu suatu spesies, pohon atau tegakan menjai lanskap yang besar dan menangkap sebaran berbagai proses ekologi.
Model ini akan memberikan informasi secara cepat tentang bagaimana dampak praktek-praktek penebangan pohon terhadap perubahan-perubahan komponen lanskap, meliputi ukuran patch, batas-batas (edges) dan derajat keterhubungan (connectivity) serta dampaknya terhadap proses-proses ekologi
Perbedaan Skenario dalam Manajemen Hutan akan menghasilkan sebaran lanskap yang berbeda
Model-model proyeksi lanskap menyajikan perubahan-perubahan lanskap di masa mendatang sesuai dengan bentuk-bentuk pengelolaan yang diterapkan.  Berdasarkan hal ini maka seorang ekologi lanskap perlu bersama-sama dengan pengelola hutan untuk menetapkan dan memilih bagaimana sebaran ruang yang ada dan dampaknya terhadap proses-proses ekologi.
Swanson (1993)  mengusulkan suatu pendekatan yang didasarkan pada rancangan pengelolaan hutan untuk mengetahui lingkup variabilitas alami berbagai tipe habitat, interaksinya dengan factor-faktor fisik dan perlakuan-perlakuan yang digunakan dalam mengelola gangguan-gangguan.
Gangguan-gangguan alami seperti kebakaran hutan secara umum perlu didekati dengan memahami karakteristiknya, meliputi sebaran lokasi gangguan dan ukuran patch-patchanya.  Gangguan hutan dalam hal ini akan berperan penting dalam membuat sebaran patch-patchnya, batas (edges) dan konektivitasnya.  Hal tersebut sangat penting bagi pengelola hutan untuk mencoba menetapkan bentuk-bentuk aktivitas manusia yang dapat dilakukan.

Tanggapan terhadap Artikel
Setelah membaca dan mencermati isi artikel ini dapat ditarik suatu implikasi atau tindak lanjut terkait dengan pengelolaan hutan Indonesia bahwa pengelola hutan memerlukan pertimbangan ekologi lanskap dalam rangka menghasilkan bentuk pengelolaan hutan yang optimal.  Secara lebih spesifik implikasi dari uraian-uraian di atas sebagai berikut :
1)    Implikasi dari dampak fragmentasi terhadap habitat perlu dijadikan dasar dalam pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati pada masa sekarang dan proyeksinya di masa mendatang
2)    Ekologi Lanskap perlu dipadukan dengan perencana hutan khususnya dalam menyusun perencanaan kelestarian hutan dan prediksi-prediksi di masa mendatang akibat fragmentasi.
3)    Perubahan-perubahan lanskap di suatu areal hutan perlu diperhatikan dalam manajemen hutan sebagai komponen yang utama baik sebelum maupuns sesudah habitat hilang/rusak, sehingga pengelola hutan dapat menetapkan tindakan yang tepat dan efektif untuk merencanakan kegiatan-kegiatan ke depan.
4)    Dalam menerapkan model proyeksi lanskap hendaknya memperhatikan secara matang kondisi tipe hutan, fungsi-fungsi hutan dan karakteristik spesifik di dalamnya.  Bentuk proyeksi lanskap hutan produksi akan berbeda dengan hutan lindung dan hutan konservasi.

Tidak ada komentar: