secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Rabu, 03 Oktober 2012

bedah buku: ecological method in forest pest management


BEDAH BUKU
Judul   Buku                    :  Ecological Method in Forest Pest Management
Penulis                           :  David Wainhouse (Forest Research, Surrey, UK)
Penerbit                          :  Oxford University Press. Oxford New York
Tahun Penerbita              :  2005
Bab/Chapter yang dibedah        :  7 - 9

Oleh :
Ichsan Suwandhi
Phd student of tropical silviculture IPB
Research group of ecology, SITH ITB


Sinopsis
Buku ini membahas tentang metode-metode ekologi dalam pengelolaan hama hutan.  Bagian-bagian di dalamnya membahas secara berurutan dan sistematis mengenai pengelolaan hama hutan, definisi-definisi penting terkait perlindungan hutan terhadap hama, pada pada tiap bab disajikan metode tertentu dalam pngelolaan hama hutan.
Bab 7-9 dalam buku ini merupakan bagian akhir yang berhubungan erat dengan bab-bab sebelumnya terutama dalam kaitannya dengan metode-metode pengendalian secara biologi dan diakhiri dengan bahasan mengenai pengelolaan hama terpadu secara keseluruhan.  Secara lebih spesifik pembagian materi pada masing-masing bab adalah :
1)    Bab 7 membahas mengenai metode “Microbial Control” atau pengendalian dengan menggunakan mikroba pathogen hama,
2)    Bab 8 khusus membahas mengenai “Semiochemical” atau penanda kimia (feromon) dan
3)    Bab 9 sebagai penutup buku membahas secara komprehensif mengenai “Pengelolaan Hama Terpadu”.


Resume subtansi masing-masing Bab

Bab 7. Microbial Control (Pengendalian dengan Mikroba/Patogen Hama)
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit di dalam serangga pemakan tumbuhan (fitofag) kadang-kadang memungkinkan digunakan untuk pengendalian secara biologi dan pada prinsipnya dapat berfungsi seperti halnya predator atau parasitoid, dimana pathogen hama ini dapat menekan populasi hama tertentu bahkan dapat menghasilkan mortalitas hama cukup tinggi. 
Cara kerja pengendalian secara microbial ini adalah dengan cara menyebarkan pathogen serangga pada suatu areal yang terserang oleh jenis serangga hama tertentu.  Beberapa fakta di Amerika menunjukkan bahwa metode ini cukup efektif untuk menekan hama agar tidak melebihi ambang ekonomi.  Sejenis serangga Eropa yang disebut “sawfly” Gilpinia hercyniae menjadi berkembang di wilayah Amerika Utara, pada tahun 1900-an semakin pesat berkembang di Kanada dan Amerika Serikat.  Beberapa jenis parasitoid yang sudah diberi virus “nucleopolyhedrovirus” (NPV) yang berasal dari Swedia dicoba disebarkan pada area yang terserang hama tersebut dan berhasil menekan populasi hama Gilpinia tersebut (Balch and Bird 1944; Cunningham and Entwistle 1981). 
Beberapa contoh lainnya adalah penggunaan pathogen hama berupa fungi di Amerika dan nematode di Australia dan Asia terbukti cukup efektif pula mengendalikan  populasi hama tertentu. Contoh penggunaan fungi pathogen adalah Entomophaga maimaiga berhasil mengendalikan serangga Lymantria dispar dicoba di bagian timur Amerika.  Sedangkan penggunaan nematode adalah Beddingia (Deladenus) siricidicola  berhasil mengendalikan populasi hama Sirex noctilio.  Tipe pathogen lain yang cukup popular digunakan sebagai pathogen hama adalah bakteri.
Mikroorganisme utama yang umum teridentifikasi sebagai pathogen hama untuk pengendalian hama-hama hutan antara lain jenis bakteri Bacillus thuringinensis (Bt), NPV, fungi entomopatogenik dan nematode.  Khusus untuk nematode biasanya bergabung bersama mikroorganisme lain terutama bakteri-bakteri tertentu yang berasosiasi dengannya untuk membunuh hama, jadi hama tidak mati semata-mata oleh nematode sendiri tetapi oleh bakteri yang bersasosiasi tersebut.  Masing-masing tipe pathogen hama memiliki cara-cara yang berbeda satu sama lain dalam menginfeksi inangnya, tingkat dan kecepatan mortalitas yang diakibatkan, sebaran alami dan kepadatannya, mereka juga memiliki host range yang berbeda-beda pula.

Karakteristik dan Ekologi Agen Patogen Hama
1.      Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt)
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah yang tersebar di seluruh dunia.  Bakteri ini umum ditemukan secara alami pada daun-daun pohon baik berdaun lebar maupun conifer, tetapi tempat hidup utamanya adalah di dalam tanah (Smith dan Couche, 1991; Damgaard, 2000).  Secara ekologis belum diketahui dengan pasti fungsi dan perannya di dalam tanah, namun bakteri ini telah umum dikenal sebagai pathogen.  
Siklus hidup bakteri ini sangat sederhana, ketika kondisi tidak mendukung untuk pertumbuhan vegetative maka spora dari bakteri ini mengalami dorman selama kondisi lingkungan tidak mendukung.  Pada kondisi sebaliknya (factor-faktor lingkungan mendukung), bakteri ini akan membentuk parasporal yang mengandung protein-protein yang disebut “cry protein”.  Protein-protein tersebut berupa Kristal yang beracun disebut endotoxin dan berkembang pada lingkungan bersamaan dengan spora-spora ketika dinding sel bakteri tersebut jatuh (Fig. 7.3).  Bakteri cenderung tidak menimbulkan “epizootics”.
Ketika “cry protein” memasuki larva serangga, racun diaktifkan oleh enzim-enzim yang ada di dalam larva, hal ini berdampak pada terhentinya aktivitas makan larva dan menyebabkan matinya larva dalam beberapa hari.  Tipikal endotoxin dan mekanisme serangan secara lebih detail diuraikan di dalam buku ini.

Figure 7.3 (a) Sporulating cells of Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki (Bt) observed under phase-contrast light micrography to reveal the parasporal bodies (arrows) that contain the insecticidal proteins. (b) The parasporal body of the HD-1 isolate highly enlargedby scanning electron micrography. The bipyramidal crystal contains CryIA proteins a, b, and c and the cuboidal crystals the singleprotein CryIIA. Crystals make up approximately 25% of the dry weight of sporulating Bt (from Federici and Maddox 1996).

2.      Virus
Virus-virus yang menginfeksi serangga umumnya tergolong pada beberapa family berbeda, kecuali family Baculoviridae secara khusus menginfeksi kelompok Artropoda.  Famili ini terdiri atas dua genera, yaitu necleopolyhedrovirus umum disebut NPV dan granulovirus.  Jenis-jenis NPV diketahui merupakan kelompok terpenting karena umum dijumpai sebagai pathogen hama.
NPV adalah virus-virus DNA dengan rod-shape virion terletak di dalam bagian disebut polyhedral (occlusion body), polyhedra ini dibentuk oleh kristal-kristal protein dan diketahui sangat tahan pada lingkungan luar untuk waktu cukup lama.  Inang dari virus ini umumnya adalah Lepidoptera dan Hymenoptera (sawfly).  Pada Lepidoptera, polyhedra menginfeksi stadium larva diawali pada sel mid-gut kemudian lebih lanjut menginvasi bagian-bagian lain pada tubuh larva sampai akhirnya larva mati (Fig 7.4) dan virus ini akan kembali menyebar di tanah bersamaan dengan jatuhnya larva.  Selanjutnya pada larva hymenoptera infeksi terjadi pada epithelium, kondisi ini memungkinkan virus tersebut meninggalkan larva sebelum mati.
Semua mikroorganisme pada dasarnya sensitive terhadap kondisi lingkungan tidak terkecuali virus.  Virus-virus cenderung sangat rentan dengan sinar ultra violet dan menjadi tidak aktif selama beberapa jam atau beberapa hari tergantung pada derajad lama penyinaran.  Pada lingkungan hutan yang kompleks, secara arsitektural NPV dapat lebih besar populasinya di tajuk-tajuk pohon (Killick and Warden, 1991).
Berbeda dengan Bt, virus cenderung menyebabkan epizootics alami yang dapat menimbulkan kegagalan outbreak.  Berdasarkan uraian tersebut maka virus lebih efektif dalam pengendalian hama daripada bakteri.


 
                              Figure 7.4 Larva of Panolis flammea killed by NPV.
Polyhedral inclusion bodies are released when the
larval integument ruptures. (Photo by H.F. Evans).

Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian mmemasuki sel-sel bagian perut serangga dan kemudian memperbanyak diri.  Setiap sel yang terinfeksi virus maka nukleusnya akan membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut viroplan.  Proses perbanyakan berjalan sangat cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel serangga sampai akhirnya menimbulkan kematian.  Lama waktu yang diperlukan sejak virus masuk dalam tubuh serangga sampai menimbulkan kematian berkisar antara 4 hari sampai 3 minggu, hal ini tergantung dari jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva yang mulai terinfeksi, dan keadaan suhu.

3.      Nematode
Terdapat beberapa family dari nematode yang mengandung entomopathogenic spesies, tetapi hanya rhabditid nematode dari Famili Heterorhabditidae dan Steinernematidae serta tylenchid nematode yaitu Beddingia siricicola yang saat ini sangat berpengaruh signifikan.  Heterorhabditidae dan Steinernematidae merupakan obligat pathogen dan banyak spesies dari nematode ini diisolasi dari tanah.
Rhabditid nematodes memiliki siklus hidup yang sederhana dengan dua cirri penting, yaitu peristiwa hidup bebas tanpa makan melalui stadium larva di dalam tanah sampai menginfeksi larva muda atau dewasa (Fig. 7.5) dan asosiasi dengan bakteri.
Selain bersifat obligat, nematoda dapat bersifat fakultatif.  Dari 19 famili nematode yang menyerang serangga, mermithidae merupakan family yang terpenting dan tersebar (teridiri atas 50 genera dan 200 spesies).  Nematode muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga melalui kutikula dan kemudian masuk melalui homocel.  setelah  berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh serangga, nematode keluar untuk kawin dan menyebar.  Serangga inang mati sebelum atau sesudah nematode keluar meninggalkan inangnya.

Figure 7.5 Infective juvenile or dauer larva of Steinernema carpocapsae (photo by U. Kolzer).


4.      Fungi
Terdapat banyak jenis fungsi yang bias membunuh serangga, tetapi yang utama menjadi entomopathogenik mencakup 2 divisi fungi, yaitu Dauteromycotina dan Zygomycotina.  Dauteromycotina tidak berkembangbiak secara seksual yang disebut sebagai fungi imperfecti.  Jenis-jenis yang tergolong entomopathogenik dari fungi imperfecti ini antara lain Beauvaria spp, Metharizium spp dan Verticilium spp.  Fungi Zygomycotina terdiri atas Entomophaga spp dan Entomopthora spp.
Berbeda dengan mikroorganisme lainnya, fungi-fungi entomopathogenik biasanya menginfeksi inang dengan cara melakukan penetrasi langsung ke dalam tubuh serangga melalui kulit atau integument menusuk seperti aphid yang tidak bisa dilakukan oleh Bt atau virus.  Proses perkembangan jamur dalam tubuh serangga sampai mati berjalan sekitar 7 hari.  Setelah inang terbunuh jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai, konia tersebut meuncul keluar dari kutikula serangga, lebih lanjut konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air.
Fungi-fungi pathogen kadang-kadang dapat menyebabkan penularan yang mengakibatkan menurunnya populasi serangga hutan terutama aphid dan beberapa family dari Lepidoptera (Pell et al, 2001).  Mereka tergolong fungi-fungi yang sensitive terhadap lingkungan terutama sinar ultra violet, kehidupannya sangat tergantung pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab.

Percobaan dan Penggunaan Patogen Hama

1.       Bacillus thuringiensis dan Virus
Penggunaan pathogen hama sebagai insektisida dipandang merupakan bentuk pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan bila dibandingkan dengan pengendalian kimiawi.  Bt dan NPV dapat disemprotkan dengan menggunakan peralatan konvensional seperti halnya yang digunakan untuk insektisida kimia. 
Faktor-faktor khusus yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi alam, respon karakteristik dose dan pendugaan dose lapangan.  Efektifitas penerapan tergantung pada tepat tidaknya tempat dan waktunya serta stadia larvanya, karena Bt dan NPV memiliki batas aktivitas residual dan toksisitas.  Secara general larva muda dan kecil lebih memungkinkan untuk diserang dan perkembangan pathogen tersebut akan lebih pesat.  Contoh hasil pengendalian dengan Bt dengan tingkat mortalitas serangga (Figure 7.8)

Figure 7.8 Percentage of mortality of different instars of Lymantria dispar larvae when exposed for 6 days to droplets of a Bacillus thuringiensis formulation sprayed onto foliage to achieve different mean droplet sizes and density. The experimental droplet size and densities are within the range expected in the tree canopy following application at a rate of 4.7 lha_1 a using 12.5 BIU l_1 (Dubois et al. 1993). Larvae that survived
treatment lost weight and consumed 2–6 times less foliage than untreated larvae. Second instars (_), third instars (), fourth instars (                ) (data from Maczuga and Mierzejewski 1995).

2.      Nematode
Secara umum penggunaan nematode di kehutanan sangat terbatas, tetapi di sisi lain keberhasilan dalam industry hortikultura dalam memperdagangkan formula nematode untuk mengendalikan “black vine weevi” Otiorhynchus sulcatus digunakan untuk mengendalikan hama hutan.  Metode yang digunakan umumnya melakukan penyemprotan nematode di tanah.


Figure 7.10  Mortality of different instars ofAnoplophora glabripennis when exposed to infective
juveniles (IJ) of Heterorhabditis marelatus. The lethaldose (LD50) was estimated to be 19 IJs for second to
third instar cerambycid larvae (_) and 347 IJs forfourth to fifth instars (_) (from Solter et al. 2001).

3.      Fungi
Secara umum penggunaan formulasi fungi-fungi entomofatogenik lebih banyak digunakan di pertanian dan hama-hama hortikultura.  Namun tidak jarang cukup berhasil diterapkan pada lahan-lahan hutan sekala besar di Cina.

Perkembangan dalam “Microbial Control”
Produksi insectisida berbahan pathogen hama (mikroba) tergolong sangat mahal, terutama untuk virus.   Untuk sebagian besar mikroorganisme pemuliaan dalam efikasi umumnya berasal dari penemuan starin baru dari spesies-spesies yang berbeda dalam tingkat patogenisitas atau toleransi merekat terhadap kondisi lingkungan.
Untuk nematode sangat potensial untuk penggunaan teknik-teknik breeding untuk mengimprove tretmen seperti pencarian inang dan toleransi sinar ultra violet. Untuk Bt dan Virus manipulasi genetic cukup potensial untuk meningkatkan daya patogenisitas atau sebaran inangnya.  Di kehutanan, penggunaan Bakteri Bt sampai saat ini cenderung lebih popular dan digunakan untuk mengendalikan serangga Choristoneura fumiferana dan L. dispar. 
Perkembangan teknologi sampai saat ini adalah upaya mempercepat kematian inang, terutama untuk virus NPV.  Pendekatan yang digunakan adalah menerapkan metode-metode DNA technology untuk mempercepat penyebaran protein beracun di dalam tubuh serangga.

Bab 8.  Semiochemical (Penanda Kimia)
Penggunaan tanda-tanda kimia oleh serangga sering disebut sebagai semiochemical memberikan informasi antara spesies dan memainkan aturan penting pada banyak aspek perilaku serangga termasuk mencari dan menemukan tumbuhan inang serta lokasi perkawinan.  Berbagai penelitian mengenai semiochemical dan aturan-aturan dalam ekologi serangga telah memberikan banyak kegunaan dalam manajemen serangga hama.  Sebagian besar penelitian dilakukan terhadap feromon, yaitu semiochemical yang digunakan untuk penanda antar individu di dalam spesies khususnya betina terhadap jantan.  Serangga hama yang umum dikenal melalui feromonnya adalah kelompok Lepidoptera, Sawfly dan agregasi feromon-feromon kumbang batang (bark beetles).
Semiochemical mungkin disediakan oleh satu atau kedua jenis kelamin serangga dan konsentrasi dan komposisi dari multikomponen feromon dipengaruhi oleh sexratio dari kepadatan serangga di pohon.
Musuh-musuh alami dari kumbang kulit batang, Lepidoptera dan sawfly merespon feromon mereka, yaitu menggunakan kairomon mereka untuk memberi tanda kehadiran serangga lainnya, sehingga dengan mudah musuh alami dapat memangsa serangga-serangga ini. 
Dengan dasar tersebut maka feromon dan kairomon dapat dikembangkan untuk menghadirkan musuh-musuh alami sehingga serangga hama dapat dikendalikan populasinya.

Mating-disruption
Pada metode Mating-disruption sex feromon dari hama target disebarkan ke area yang terancam, tujuannya adalah untuk menekan serangga jantan dalam berkumpul di lokasi dan kawin dengan memanggil betina.  Hasil penelitian dan pengalaman praktek pengendalian langsung di lapangan sangat membantu untuk mengidentifikasi hama-hama  secara efektif.  Untuk menahan terjadinya perkawinan diperlukan jumlah konsentrasi feromon yang tinggi ditempatkan di lokasi yang tepat sehingga peluang bertemunya jantan dan betina menjadi rendah.
Ketika sex feromon disebar di area hutan yang dituju, diperlukan upaya atau mekanisme untuk mencegah serangga jantan memanggil betina, jadi tretmen mating-disruption adalah menahan serangga jantan memanggil betina.
Metode ini baru berhasil dilakukan pada area-area pertanian dengan skala yang lebih kecil, sedangkan pada area hutan masih perlu dilakukan percobaan-percobaan mengingat area umumnya sangat luas dan perlu dipikirkan teknik mengisolasi serangga jantan agar tidak memanggil betina.  Hasil percobaan mating disruption pada L. dispar menghasilkan penurunan populasi yang signifikan dibandingkan dengan kondisi tanpa perlakuan sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini.

Figure 8.3  The effect of mating-disruption onpopulations of Lymantria dispar in isolated oakwoods atthe southern leading edge of the moth’s expanding range in Virginia, USA. Population index was the sum ofthe means of three measures of population—the number of immature stages and the number of fertile egg-masses per 100 burlap bands on host trees and the number of fertile egg-masses per hectare. Disparlure,
the synthetic sex-pheromone of L. dispar, was applied aerially in plastic laminate flakes with a single
application of 75 g ha_1 each year (_) or two 75 g applications applied in 1990 only (_). Control (_) (from
Leonhardt et al. 1996).

Mass-trapping
Metode lainnya untuk mengendalikan populasi hama dengan menggunakan feromon sintetik adalah Mass-trapping.  Teknik ini bertujuan untuk menekan populasi hama dengan cara menangkap serangga dewasa pada “high attractive pheromone-baited traps.  Sex feromon Lepidoptera dewasa digunakan untuk mass trapping dan hanya serangga jantan yang dijebak.  Dampaknya adalah meningkatnya serangga betina yang tidak dikawin sehingga menurunkan populasi generasi berikutnya.  Namun demikian lain halnya dengan kumbang memerlukan mass trapping lebih sering mengingat kedua jenis kelamin serangga selalu bersama-sama.
Keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan masstrapping dapat dihitung secara kuantitatif penurunan sebaran, kerusakan terhadap pohon, atau mengurangi proses reproduksi.  Hasil percobaan tentang teknik mass trapping ini menunjukkan populasi serangga mengalami penurunan yang signifikan (Fig 8.4)
Untuk serangga berupa kumbang-kumbang batang yang agresif seperti kumbang ambrosia yang dapat menyerang pohon-pohon dalam hutan, penggunaan mass trapping cenderung lebih sulit dan tidak cocok untuk dipraktekkan pada kondisi terjadi outbreaks pada area hutan yang kekurangan infrastruktur karena populasi terlalu tinggi dan kapasitas menyebar kumbang sangat cepat.
Kolonisasi adalah cara yang paling berhasil pada kondisi pohon-pohon telah berumur dewasa/tua atau kondisi factor-faktor lingkungan tidak kondusif bagi kehidupan serangga.  Dinamika interaksi antara kepadatan populasi kumbang  dan resistensi pohon dapat dipercepat dalam mengatasi ledakan populasi dengan mempercepat resistensi pohon inang (Fig 8.5)

Sub bab ini lebih lanjut menjelaskan perkembangan praktek-praktek teknik mass trapping dan mengupas studi-studi kasus pada beberapa wilayah di dunia.  Secara umum diperoleh informasi mass trapping cukup efektif untuk menekan populasi serangga dari kelompok Lepidoptera dan Sawfly, sedangkan untuk kumbang diperlukan tambahan perlakuan yang lebih intenssif.

Kemungkinan pengembangan Teknik Semiochemical secara Komerisal
Untuk keperluan pendataan, feromon-feromon bersama-sama dengan pestisisda microbial dan pestisida tumbuhan transgenic diklasifikasikan sebagai pestisida biologis (terpisah dari pestisida kimiawi).
Pengembangan lebih lanjut tentang feromon sintetis sangat penting untuk mendukung teknologi pengendalian populasi serangga yang ramah  lingkungan.  Efektifitas penerapan teknik feromon ini sangat tergantung pada besarnya penyediaannya secara komersial untuk dijadikan formula

 Bab 9.  Integrated Pest Management
(Pengelolaan Hama terpadu)
Istilah Integrated Pest Management (IPM) pada awalnya dikembangkan sebagai jawaban atas penggunaan yang berlebihan pengendalian secara kimiawi yang telah banyak menimbulkan dampak negative bagi lingkungan dan kehidupan manusia yang telah digunakan sebelumnya sejak 1970an.  IPM ini dipandang sebagai solusi dalam mendukung pengelolaan lingkungan dan kelestariannya.
Kogan (1998) memberikan definisi modern tentang IPM, yaitu suatu mekanisme untuk menyeleksi dan menggunakan taktik-taktik pengendalian hama sebagai bagian dari strategi manajemen dengan mempertimbangkan analisis cost benefit, dampaknya terhadap social dan lingkungan.  IPM memiliki cakupan lebih luas atau lebih besar dari pengendalian hama terpadu (IPC) atau dengan kata lain IPC merupakan bagian dari IPM.
Tujuan penting dari IPM di kehutanan adalah meminimalkan penggunaan insktisida kimia terutama pada area-area dengan kondisi lingkungan yang peka, lingkungan perkotaan, kawasan wisata, dean tempat-tempat yang dipandang penting untuk menghindari bahaya dampak insektidsida tersebut.  Tetapi dalam pengelolaan hama-hama hutan, diperlukan integrasi terkait dengan serangga-serangga di alam dan tujuan dari pengelolaan hutan.

The economics of control

Di bidang pertanian, suatu penilaian terhadap kerugian potensial pada hasil atau kualitas produk akibat serangan hama sangat penting karena ini sebagai pertimbangan penting untuk membuat keputusan dalam IPM.
Di bidang kehutanan hal ini lebih rumit untuk menilai secara ekonomis kerugian akibat serangan hama mengingat masa investasi yang panjang dan tidak hanya kayu sebagai produk utama hutan, sehingga nilai kerudian investasi menjadi sangat tinggi apabila area terserang hama atau penyakit.  Dengan IPM ini dijelaskan pendekatan penilaian ekonomi secara lebih efektif sehingga nilai kerugian dapat diduga dengan cepat.

Aspek-aspek yang dikaji pada sub bab ini adalah sebagai berikut :
1)    mengukur dan menghitung dampak ekonomi kerusakan oleh hama.
Dalam buku ini diuraikan metode untuk mengukur atau menghitung dampak ekonomi kerusakan hutan yang disebabkan oleh hama dengan mempertimbangkan rata-rata riap tahunan (MAI) dan memprediksi penurunan hasil produksi di masa depan (Fig. 9.1)







Dampak-dampak yang ditimbulkan serangan hama terhadap hutan dan ekosistem hutan antara lain :
      Growth loss and Mortality (penurunan pertumbuhan dan mortalitas)
Dampak penting yang terjadi akibat serangan hama adalah terhambatnya pertumbuhan pohon-pohon dan menurunnya kualitas batang pohon.  Dampak lain adalah kematian pohon-pohon sebelum siap dipanen, sehingga menimbulkan kerugian yang besar.  Hubungan meningkatnya defoliator dengan penurunan volume tegakan dan kematian pohon-pohon ditunjukkan pada Fig 9.4 dan 9.5.
Dampak terhadap kualitas kayu dan berkurangnya benih pada kebun benih
Hilangnya gudang kayu dan pasar ekspor
Kesehatan masyarakat dan lingkungan perkotaan
Dampak terhadap komposisi tegakan dan ekosistem

Decision support and expert Systems

Keputusan-keputusan yang diambil manajemen dalam IPM sering tergantung pada pengumpulan informasi dari berbagai sumber yang berbeda.  Informasi yang relevan dapat diperoleh secara langsung dari hasil penilaian resiko digabungkan dengan hasil monitoring dan hubungannya dengan serangan dan kerusakan yang ditimbulkan.
Yang menjadi persoalan adalah informasi-informasi ini tidak selamanya tersedia dan ini dapat berpengaruh terhadap pengembangan kombinasi metode-metode atau teknik yang akan digunakan dalam IPM.  Data-data sering hilang akibat pengarsipan yang kurang baik atau hilang bersamaan dengan pergantian atau pindah personil.
Pengembangan system pendukung (Development Support System) berbasis computer merupakan solusi yang efektif untuk mengatasi kelemahan di atas, sehingga kapanpun dan siapapun personil yang menangani IPM ini dapat membuat keputusan yang tepat. Model pengembangan system informasi IPM disajikan pada Fig.9.10







Future Developments in Pest Management

Perkembangan lebih lanjut di masa mendatang tentunya akan terkait dengan pengelolaan hutan secara lestari.  Sistem pengelolaan hama terpadu (IPM) harus mampu diterapkan dalam mendukung azas kelestarian, sehingga pengelolaan hama yang efektif dan ramah lingkungan menjadi standarisasi global terkait pula dengan isu-isu global.
Isu-isu penting yang terkait dalam pengelolaan hama terpadu di masa mendatang adalah :
1)    Sertifikasi, Konservasi dan Hutan multifungsi
Berbagai pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan dan IPM sendiri tentunya akan menghadapi system sertifikasi yang menjadi indicator apakah pengelolaan telah menerapkan azas-azas kelestarian hutan dan lingkungan.  Salah satu lembaga sertifikasi terbaik dunia adalah Forest Stewardes Cuncil (FSC) yang memberikan 10 prinsip pengelolaan hutan lestari.
Bidang konservasi juga akan menjadi isu penting terkait bagaimana menjaga kelestarian keanekaragaman hayati termasuk serangga-serangga di alam, sehingga IPM diharapkan tidak menimbulkan kepunahan spesies-spesies serangga sebagai bagian dari ekosistem hutan.
Pengembangan hutan multi fungsi menjadi sangat penting sebagai solusi efektif untuk menjamin fungsi-fungsi ekologi, social dan ekonomi. Hutan tidak hanya dikembangkan untuk produksi kayu dan non kayu tetapi juga mendukung jasa lingkungan dan ekowisata
2)    Isu Perubahan Iklim
Isu perubahan iklim global ini secara langsung atau tidak akan berengaruh pada ketidakseimbangan ekosistem termasuk kehidupan serangga.  Beberapa jenis serangga mungkin akan mengalami ledakan di wilayah tertentu, tetapi mengalami kepunahan di wilayah yang lain.  Berbagai resiko yang aka dihadapi terkait dengan isu global ini perlu diantisipasi dengan pengelolaan hama terpadu yang efektif.

Tidak ada komentar: