BEDAH BUKU
Judul Buku : Ecological Method in Forest Pest Management
Penulis : David Wainhouse (Forest Research, Surrey, UK)
Penerbit :
Oxford University
Press. Oxford New York
Tahun
Penerbita : 2005
Bab/Chapter
yang dibedah : 7 - 9
Oleh :
Ichsan Suwandhi
Phd student of tropical silviculture IPB
Research group of ecology, SITH ITB
Sinopsis
Buku ini membahas tentang metode-metode ekologi dalam
pengelolaan hama hutan. Bagian-bagian di
dalamnya membahas secara berurutan dan sistematis mengenai pengelolaan hama
hutan, definisi-definisi penting terkait perlindungan hutan terhadap hama, pada
pada tiap bab disajikan metode tertentu dalam pngelolaan hama hutan.
Bab 7-9 dalam buku ini merupakan bagian akhir yang
berhubungan erat dengan bab-bab sebelumnya terutama dalam kaitannya dengan
metode-metode pengendalian secara biologi dan diakhiri dengan bahasan mengenai
pengelolaan hama terpadu secara keseluruhan.
Secara lebih spesifik pembagian materi pada masing-masing bab adalah :
1)
Bab
7 membahas mengenai metode “Microbial Control” atau pengendalian dengan
menggunakan mikroba pathogen hama,
2)
Bab
8 khusus membahas mengenai “Semiochemical” atau penanda kimia (feromon) dan
3)
Bab
9 sebagai penutup buku membahas secara komprehensif mengenai “Pengelolaan Hama
Terpadu”.
Resume subtansi masing-masing Bab
Bab 7. Microbial Control (Pengendalian dengan
Mikroba/Patogen Hama)
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit di dalam
serangga pemakan tumbuhan (fitofag) kadang-kadang memungkinkan digunakan untuk
pengendalian secara biologi dan pada prinsipnya dapat berfungsi seperti halnya predator
atau parasitoid, dimana pathogen hama ini dapat menekan populasi hama tertentu
bahkan dapat menghasilkan mortalitas hama cukup tinggi.
Cara kerja pengendalian secara microbial ini adalah
dengan cara menyebarkan pathogen serangga pada suatu areal yang terserang oleh
jenis serangga hama tertentu. Beberapa
fakta di Amerika menunjukkan bahwa metode ini cukup efektif untuk menekan hama
agar tidak melebihi ambang ekonomi. Sejenis serangga Eropa yang disebut “sawfly” Gilpinia
hercyniae menjadi berkembang di wilayah Amerika Utara, pada tahun 1900-an
semakin pesat berkembang di Kanada dan Amerika Serikat. Beberapa jenis parasitoid yang sudah diberi
virus “nucleopolyhedrovirus” (NPV) yang berasal dari Swedia dicoba disebarkan
pada area yang terserang hama tersebut dan berhasil menekan populasi hama
Gilpinia tersebut (Balch and Bird 1944; Cunningham and Entwistle 1981).
Beberapa contoh lainnya adalah penggunaan pathogen hama berupa
fungi di Amerika dan nematode di Australia dan Asia terbukti cukup efektif pula
mengendalikan populasi hama tertentu.
Contoh penggunaan fungi pathogen adalah Entomophaga
maimaiga berhasil mengendalikan serangga Lymantria dispar dicoba di bagian timur Amerika. Sedangkan penggunaan nematode adalah
Beddingia (Deladenus) siricidicola
berhasil mengendalikan populasi hama Sirex
noctilio. Tipe pathogen lain yang
cukup popular digunakan sebagai pathogen hama adalah bakteri.
Mikroorganisme utama yang umum teridentifikasi sebagai pathogen
hama untuk pengendalian hama-hama hutan antara lain jenis bakteri Bacillus thuringinensis (Bt), NPV, fungi
entomopatogenik dan nematode. Khusus
untuk nematode biasanya bergabung bersama mikroorganisme lain terutama bakteri-bakteri
tertentu yang berasosiasi dengannya untuk membunuh hama, jadi hama tidak mati
semata-mata oleh nematode sendiri tetapi oleh bakteri yang bersasosiasi
tersebut. Masing-masing tipe pathogen
hama memiliki cara-cara yang berbeda satu sama lain dalam menginfeksi inangnya,
tingkat dan kecepatan mortalitas yang diakibatkan, sebaran alami dan
kepadatannya, mereka juga memiliki host range yang berbeda-beda pula.
Karakteristik
dan Ekologi Agen Patogen Hama
1.
Bakteri Bacillus thuringiensis (Bt)
Bacillus thuringiensis (Bt) adalah yang tersebar di seluruh
dunia. Bakteri ini umum ditemukan secara
alami pada daun-daun pohon baik berdaun lebar maupun conifer, tetapi tempat
hidup utamanya adalah di dalam tanah (Smith dan Couche, 1991; Damgaard, 2000). Secara ekologis belum diketahui dengan pasti
fungsi dan perannya di dalam tanah, namun bakteri ini telah umum dikenal
sebagai pathogen.
Siklus hidup bakteri ini sangat sederhana, ketika kondisi tidak
mendukung untuk pertumbuhan vegetative maka spora dari bakteri ini mengalami
dorman selama kondisi lingkungan tidak mendukung. Pada kondisi sebaliknya (factor-faktor
lingkungan mendukung), bakteri ini akan membentuk parasporal yang mengandung
protein-protein yang disebut “cry protein”.
Protein-protein tersebut berupa Kristal yang beracun disebut endotoxin
dan berkembang pada lingkungan bersamaan dengan spora-spora ketika dinding sel
bakteri tersebut jatuh (Fig. 7.3).
Bakteri cenderung tidak menimbulkan “epizootics”.
Ketika “cry protein” memasuki larva serangga, racun diaktifkan
oleh enzim-enzim yang ada di dalam larva, hal ini berdampak pada terhentinya
aktivitas makan larva dan menyebabkan matinya larva dalam beberapa hari. Tipikal endotoxin dan mekanisme serangan
secara lebih detail diuraikan di dalam buku ini.
Figure
7.3 (a)
Sporulating cells of Bacillus thuringiensis subsp. kurstaki
(Bt) observed under phase-contrast light
micrography to reveal the parasporal bodies (arrows) that contain the
insecticidal proteins. (b) The parasporal body of the HD-1 isolate highly
enlargedby scanning electron micrography. The bipyramidal crystal contains
CryIA proteins a, b, and c and the cuboidal crystals the singleprotein CryIIA.
Crystals make up approximately 25% of the dry weight of sporulating Bt
(from Federici
and Maddox 1996).
2.
Virus
Virus-virus yang menginfeksi serangga umumnya tergolong pada
beberapa family berbeda, kecuali family Baculoviridae secara khusus menginfeksi
kelompok Artropoda. Famili ini terdiri
atas dua genera, yaitu necleopolyhedrovirus umum disebut NPV dan
granulovirus. Jenis-jenis NPV diketahui
merupakan kelompok terpenting karena umum dijumpai sebagai pathogen hama.
NPV adalah virus-virus DNA dengan rod-shape virion terletak di
dalam bagian disebut polyhedral (occlusion body), polyhedra ini dibentuk oleh
kristal-kristal protein dan diketahui sangat tahan pada lingkungan luar untuk
waktu cukup lama. Inang dari virus ini
umumnya adalah Lepidoptera dan Hymenoptera (sawfly). Pada Lepidoptera, polyhedra menginfeksi stadium
larva diawali pada sel mid-gut kemudian lebih lanjut menginvasi bagian-bagian
lain pada tubuh larva sampai akhirnya larva mati (Fig 7.4) dan virus ini akan
kembali menyebar di tanah bersamaan dengan jatuhnya larva. Selanjutnya pada larva hymenoptera infeksi
terjadi pada epithelium, kondisi ini memungkinkan virus tersebut meninggalkan
larva sebelum mati.
Semua mikroorganisme pada dasarnya sensitive terhadap kondisi
lingkungan tidak terkecuali virus.
Virus-virus cenderung sangat rentan dengan sinar ultra violet dan
menjadi tidak aktif selama beberapa jam atau beberapa hari tergantung pada
derajad lama penyinaran. Pada lingkungan
hutan yang kompleks, secara arsitektural NPV dapat lebih besar populasinya di
tajuk-tajuk pohon (Killick and Warden, 1991).
Berbeda dengan Bt,
virus cenderung menyebabkan epizootics alami yang dapat menimbulkan kegagalan
outbreak. Berdasarkan uraian tersebut
maka virus lebih efektif dalam pengendalian hama daripada bakteri.
Figure
7.4 Larva of Panolis
flammea killed by NPV.
Polyhedral inclusion bodies are released when the
larval integument ruptures. (Photo by H.F. Evans).
Apabila virus telah masuk ke dalam tubuh serangga, polihedra
NPV akan larut dan pecah serta melepaskan partikel-partikel virus yang kemudian
mmemasuki sel-sel bagian perut serangga dan kemudian memperbanyak diri. Setiap sel yang terinfeksi virus maka
nukleusnya akan membengkak dan dipenuhi oleh masa padat yang disebut
viroplan. Proses perbanyakan berjalan
sangat cepat sehingga terbentuklah banyak polihedra yang memenuhi seluruh sel
serangga sampai akhirnya menimbulkan kematian.
Lama waktu yang diperlukan sejak virus masuk dalam tubuh serangga sampai
menimbulkan kematian berkisar antara 4 hari sampai 3 minggu, hal ini tergantung
dari jenis NPV, jenis serangga inang, jumlah polihedra yang masuk, instar larva
yang mulai terinfeksi, dan keadaan suhu.
3.
Nematode
Terdapat beberapa family dari nematode yang mengandung
entomopathogenic spesies, tetapi hanya rhabditid nematode dari Famili
Heterorhabditidae dan Steinernematidae serta tylenchid nematode yaitu Beddingia
siricicola yang saat ini sangat berpengaruh signifikan. Heterorhabditidae dan Steinernematidae
merupakan obligat pathogen dan banyak spesies dari nematode ini diisolasi dari
tanah.
Rhabditid nematodes memiliki siklus hidup yang sederhana dengan
dua cirri penting, yaitu peristiwa hidup bebas tanpa makan melalui stadium
larva di dalam tanah sampai menginfeksi larva muda atau dewasa (Fig. 7.5) dan
asosiasi dengan bakteri.
Selain bersifat obligat, nematoda dapat bersifat fakultatif. Dari 19 famili nematode yang menyerang
serangga, mermithidae merupakan family yang terpenting dan tersebar (teridiri
atas 50 genera dan 200 spesies).
Nematode muda meninggalkan telur dan masuk kedalam tubuh serangga
melalui kutikula dan kemudian masuk melalui homocel. setelah berganti kulit beberapa kali di dalam tubuh
serangga, nematode keluar untuk kawin dan menyebar. Serangga inang mati sebelum atau sesudah
nematode keluar meninggalkan inangnya.
Figure
7.5 Infective juvenile
or dauer larva of Steinernema carpocapsae (photo by U. Kolzer).
4.
Fungi
Terdapat banyak jenis fungsi yang bias membunuh serangga,
tetapi yang utama menjadi entomopathogenik mencakup 2 divisi fungi, yaitu
Dauteromycotina dan Zygomycotina.
Dauteromycotina tidak berkembangbiak secara seksual yang disebut sebagai
fungi imperfecti. Jenis-jenis yang
tergolong entomopathogenik dari fungi imperfecti ini antara lain Beauvaria spp,
Metharizium spp dan Verticilium spp.
Fungi Zygomycotina terdiri atas Entomophaga spp dan Entomopthora spp.
Berbeda dengan mikroorganisme lainnya, fungi-fungi
entomopathogenik biasanya menginfeksi inang dengan cara melakukan penetrasi
langsung ke dalam tubuh serangga melalui kulit atau integument menusuk seperti
aphid yang tidak bisa dilakukan oleh Bt atau virus. Proses perkembangan jamur dalam tubuh
serangga sampai mati berjalan sekitar 7 hari.
Setelah inang terbunuh jamur membentuk konidia primer dan sekunder yang
dalam kondisi cuaca yang sesuai, konia tersebut meuncul keluar dari kutikula
serangga, lebih lanjut konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan
dan air.
Fungi-fungi pathogen kadang-kadang dapat menyebabkan penularan
yang mengakibatkan menurunnya populasi serangga hutan terutama aphid dan
beberapa family dari Lepidoptera (Pell et al, 2001). Mereka tergolong fungi-fungi yang sensitive
terhadap lingkungan terutama sinar ultra violet, kehidupannya sangat tergantung
pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab.
Percobaan dan Penggunaan Patogen
Hama
1. Bacillus thuringiensis dan Virus
Penggunaan pathogen hama sebagai insektisida dipandang
merupakan bentuk pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan bila
dibandingkan dengan pengendalian kimiawi.
Bt dan NPV dapat disemprotkan dengan menggunakan peralatan konvensional
seperti halnya yang digunakan untuk insektisida kimia.
Faktor-faktor khusus yang perlu dipertimbangkan adalah kondisi
alam, respon karakteristik dose dan
pendugaan dose lapangan. Efektifitas penerapan tergantung pada tepat
tidaknya tempat dan waktunya serta stadia larvanya, karena Bt dan NPV memiliki
batas aktivitas residual dan toksisitas.
Secara general larva muda dan kecil lebih memungkinkan untuk diserang
dan perkembangan pathogen tersebut akan lebih pesat. Contoh hasil pengendalian dengan Bt dengan
tingkat mortalitas serangga (Figure 7.8)
Figure
7.8 Percentage
of mortality of different instars of Lymantria
dispar larvae
when exposed for 6 days to droplets of a Bacillus
thuringiensis formulation
sprayed onto foliage to achieve different mean droplet sizes and density. The
experimental droplet size and densities are within the range expected in the
tree canopy following application at a rate of 4.7 lha_1
a using 12.5 BIU l_1
(Dubois et al. 1993). Larvae that survived
treatment lost weight and consumed 2–6 times
less foliage than untreated larvae. Second instars (_), third instars (●),
fourth instars ( ) (data from Maczuga and Mierzejewski
1995).
2. Nematode
Secara umum penggunaan nematode di kehutanan sangat terbatas,
tetapi di sisi lain keberhasilan dalam industry hortikultura dalam
memperdagangkan formula nematode untuk mengendalikan “black vine weevi”
Otiorhynchus sulcatus digunakan untuk mengendalikan hama hutan. Metode yang digunakan umumnya melakukan
penyemprotan nematode di tanah.
Figure
7.10 Mortality of different instars ofAnoplophora glabripennis when exposed to infective
juveniles (IJ) of Heterorhabditis marelatus. The lethaldose (LD50) was estimated to be 19 IJs for second to
third instar cerambycid larvae (_)
and 347 IJs forfourth to fifth instars (_) (from Solter et al. 2001).
3. Fungi
Secara umum penggunaan formulasi fungi-fungi entomofatogenik
lebih banyak digunakan di pertanian dan hama-hama hortikultura. Namun tidak jarang cukup berhasil diterapkan
pada lahan-lahan hutan sekala besar di Cina.
Perkembangan
dalam “Microbial Control”
Produksi insectisida berbahan pathogen hama (mikroba) tergolong
sangat mahal, terutama untuk virus.
Untuk sebagian besar mikroorganisme pemuliaan dalam efikasi umumnya
berasal dari penemuan starin baru dari spesies-spesies yang berbeda dalam
tingkat patogenisitas atau toleransi merekat terhadap kondisi lingkungan.
Untuk nematode sangat potensial untuk penggunaan teknik-teknik
breeding untuk mengimprove tretmen seperti pencarian inang dan toleransi sinar
ultra violet. Untuk Bt dan Virus manipulasi genetic cukup potensial untuk
meningkatkan daya patogenisitas atau sebaran inangnya. Di kehutanan, penggunaan Bakteri Bt sampai
saat ini cenderung lebih popular dan digunakan untuk mengendalikan serangga
Choristoneura fumiferana dan L. dispar.
Perkembangan teknologi sampai saat ini adalah upaya mempercepat
kematian inang, terutama untuk virus NPV.
Pendekatan yang digunakan adalah menerapkan metode-metode DNA technology
untuk mempercepat penyebaran protein beracun di dalam tubuh serangga.
Bab 8. Semiochemical (Penanda Kimia)
Penggunaan tanda-tanda kimia oleh serangga sering disebut
sebagai semiochemical memberikan informasi antara spesies dan memainkan aturan
penting pada banyak aspek perilaku serangga termasuk mencari dan menemukan
tumbuhan inang serta lokasi perkawinan.
Berbagai penelitian mengenai semiochemical dan aturan-aturan dalam
ekologi serangga telah memberikan banyak kegunaan dalam manajemen serangga
hama. Sebagian besar penelitian
dilakukan terhadap feromon, yaitu semiochemical yang digunakan untuk penanda
antar individu di dalam spesies khususnya betina terhadap jantan. Serangga hama yang umum dikenal melalui
feromonnya adalah kelompok Lepidoptera, Sawfly dan agregasi feromon-feromon
kumbang batang (bark beetles).
Semiochemical mungkin disediakan oleh satu atau kedua jenis
kelamin serangga dan konsentrasi dan komposisi dari multikomponen feromon
dipengaruhi oleh sexratio dari kepadatan serangga di pohon.
Musuh-musuh alami dari kumbang kulit batang, Lepidoptera dan
sawfly merespon feromon mereka, yaitu menggunakan kairomon mereka untuk memberi
tanda kehadiran serangga lainnya, sehingga dengan mudah musuh alami dapat
memangsa serangga-serangga ini.
Dengan dasar tersebut maka feromon dan kairomon dapat dikembangkan
untuk menghadirkan musuh-musuh alami sehingga serangga hama dapat dikendalikan
populasinya.
Mating-disruption
Pada metode Mating-disruption sex feromon dari hama target
disebarkan ke area yang terancam, tujuannya adalah untuk menekan serangga jantan
dalam berkumpul di lokasi dan kawin dengan memanggil betina. Hasil penelitian dan pengalaman praktek
pengendalian langsung di lapangan sangat membantu untuk mengidentifikasi
hama-hama secara efektif. Untuk menahan terjadinya perkawinan
diperlukan jumlah konsentrasi feromon yang tinggi ditempatkan di lokasi yang
tepat sehingga peluang bertemunya jantan dan betina menjadi rendah.
Ketika sex feromon disebar di
area hutan yang dituju, diperlukan upaya atau mekanisme untuk mencegah serangga
jantan memanggil betina, jadi tretmen mating-disruption adalah menahan serangga
jantan memanggil betina.
Metode ini baru berhasil
dilakukan pada area-area pertanian dengan skala yang lebih kecil, sedangkan
pada area hutan masih perlu dilakukan percobaan-percobaan mengingat area
umumnya sangat luas dan perlu dipikirkan teknik mengisolasi serangga jantan
agar tidak memanggil betina. Hasil
percobaan mating disruption pada L. dispar menghasilkan penurunan populasi yang
signifikan dibandingkan dengan kondisi tanpa perlakuan sebagaimana ditunjukkan
gambar di bawah ini.
Figure
8.3 The effect of mating-disruption
onpopulations of Lymantria dispar in isolated oakwoods atthe southern
leading edge of the moth’s expanding range in Virginia, USA. Population index
was the sum ofthe means of three measures of population—the number of immature
stages and the number of fertile egg-masses per 100 burlap bands on host trees
and the number of fertile egg-masses per hectare. Disparlure,
the synthetic sex-pheromone of L. dispar, was applied aerially in plastic laminate flakes with a
single
application of 75 g ha_1
each year (_)
or two 75 g applications applied in 1990 only (_). Control (_) (from
Leonhardt et al.
1996).
Mass-trapping
Metode lainnya untuk
mengendalikan populasi hama dengan menggunakan feromon sintetik adalah
Mass-trapping. Teknik ini bertujuan
untuk menekan populasi hama dengan cara menangkap serangga dewasa pada “high
attractive pheromone-baited traps. Sex
feromon Lepidoptera dewasa digunakan untuk mass trapping dan hanya serangga
jantan yang dijebak. Dampaknya adalah
meningkatnya serangga betina yang tidak dikawin sehingga menurunkan populasi
generasi berikutnya. Namun demikian lain
halnya dengan kumbang memerlukan mass trapping lebih sering mengingat kedua
jenis kelamin serangga selalu bersama-sama.
Keuntungan yang diperoleh
dengan menggunakan masstrapping dapat dihitung secara kuantitatif penurunan
sebaran, kerusakan terhadap pohon, atau mengurangi proses reproduksi. Hasil percobaan tentang teknik mass trapping
ini menunjukkan populasi serangga mengalami penurunan yang signifikan (Fig 8.4)
Untuk serangga berupa
kumbang-kumbang batang yang agresif seperti kumbang ambrosia yang dapat
menyerang pohon-pohon dalam hutan, penggunaan mass trapping cenderung lebih
sulit dan tidak cocok untuk dipraktekkan pada kondisi terjadi outbreaks pada
area hutan yang kekurangan infrastruktur karena populasi terlalu tinggi dan
kapasitas menyebar kumbang sangat cepat.
Kolonisasi adalah cara yang
paling berhasil pada kondisi pohon-pohon telah berumur dewasa/tua atau kondisi
factor-faktor lingkungan tidak kondusif bagi kehidupan serangga. Dinamika interaksi antara kepadatan populasi
kumbang dan resistensi pohon dapat
dipercepat dalam mengatasi ledakan populasi dengan mempercepat resistensi pohon
inang (Fig 8.5)
Sub bab ini lebih lanjut
menjelaskan perkembangan praktek-praktek teknik mass trapping dan mengupas
studi-studi kasus pada beberapa wilayah di dunia. Secara umum diperoleh informasi mass trapping
cukup efektif untuk menekan populasi serangga dari kelompok Lepidoptera dan
Sawfly, sedangkan untuk kumbang diperlukan tambahan perlakuan yang lebih
intenssif.
Kemungkinan pengembangan Teknik Semiochemical
secara Komerisal
Untuk keperluan pendataan,
feromon-feromon bersama-sama dengan pestisisda microbial dan pestisida tumbuhan
transgenic diklasifikasikan sebagai pestisida biologis (terpisah dari pestisida
kimiawi).
Pengembangan lebih lanjut
tentang feromon sintetis sangat penting untuk mendukung teknologi pengendalian
populasi serangga yang ramah lingkungan. Efektifitas penerapan teknik feromon ini
sangat tergantung pada besarnya penyediaannya secara komersial untuk dijadikan
formula
Bab
9. Integrated Pest Management
(Pengelolaan
Hama terpadu)
Istilah Integrated Pest
Management (IPM) pada awalnya dikembangkan sebagai jawaban atas penggunaan yang
berlebihan pengendalian secara kimiawi yang telah banyak menimbulkan dampak
negative bagi lingkungan dan kehidupan manusia yang telah digunakan sebelumnya
sejak 1970an. IPM ini dipandang sebagai
solusi dalam mendukung pengelolaan lingkungan dan kelestariannya.
Kogan (1998) memberikan
definisi modern tentang IPM, yaitu suatu mekanisme untuk menyeleksi dan
menggunakan taktik-taktik pengendalian hama sebagai bagian dari strategi
manajemen dengan mempertimbangkan analisis cost benefit, dampaknya terhadap
social dan lingkungan. IPM memiliki
cakupan lebih luas atau lebih besar dari pengendalian hama terpadu (IPC) atau
dengan kata lain IPC merupakan bagian dari IPM.
Tujuan penting dari IPM di
kehutanan adalah meminimalkan penggunaan insktisida kimia terutama pada
area-area dengan kondisi lingkungan yang peka, lingkungan perkotaan, kawasan
wisata, dean tempat-tempat yang dipandang penting untuk menghindari bahaya
dampak insektidsida tersebut. Tetapi
dalam pengelolaan hama-hama hutan, diperlukan integrasi terkait dengan
serangga-serangga di alam dan tujuan dari pengelolaan hutan.
The
economics of control
Di bidang pertanian, suatu
penilaian terhadap kerugian potensial pada hasil atau kualitas produk akibat
serangan hama sangat penting karena ini sebagai pertimbangan penting untuk
membuat keputusan dalam IPM.
Di bidang kehutanan hal ini
lebih rumit untuk menilai secara ekonomis kerugian akibat serangan hama
mengingat masa investasi yang panjang dan tidak hanya kayu sebagai produk utama
hutan, sehingga nilai kerudian investasi menjadi sangat tinggi apabila area
terserang hama atau penyakit. Dengan IPM
ini dijelaskan pendekatan penilaian ekonomi secara lebih efektif sehingga nilai
kerugian dapat diduga dengan cepat.
Aspek-aspek yang dikaji pada
sub bab ini adalah sebagai berikut :
1) mengukur dan
menghitung dampak ekonomi kerusakan oleh hama.
Dalam buku ini diuraikan metode untuk mengukur atau
menghitung dampak ekonomi kerusakan hutan yang disebabkan oleh hama dengan
mempertimbangkan rata-rata riap tahunan (MAI) dan memprediksi penurunan hasil
produksi di masa depan (Fig. 9.1)
Dampak-dampak yang ditimbulkan serangan hama
terhadap hutan dan ekosistem hutan antara lain :
Growth loss and Mortality (penurunan pertumbuhan dan mortalitas)
Dampak penting yang terjadi akibat serangan hama
adalah terhambatnya pertumbuhan pohon-pohon dan menurunnya kualitas batang
pohon. Dampak lain adalah kematian
pohon-pohon sebelum siap dipanen, sehingga menimbulkan kerugian yang besar. Hubungan meningkatnya defoliator dengan
penurunan volume tegakan dan kematian pohon-pohon ditunjukkan pada Fig 9.4 dan
9.5.
Dampak terhadap kualitas kayu dan berkurangnya benih pada kebun
benih
Hilangnya gudang kayu dan pasar ekspor
Kesehatan masyarakat dan lingkungan perkotaan
Dampak terhadap komposisi tegakan dan ekosistem
Decision
support and expert Systems
Keputusan-keputusan yang
diambil manajemen dalam IPM sering tergantung pada pengumpulan informasi dari
berbagai sumber yang berbeda. Informasi
yang relevan dapat diperoleh secara langsung dari hasil penilaian resiko
digabungkan dengan hasil monitoring dan hubungannya dengan serangan dan
kerusakan yang ditimbulkan.
Yang menjadi persoalan adalah
informasi-informasi ini tidak selamanya tersedia dan ini dapat berpengaruh
terhadap pengembangan kombinasi metode-metode atau teknik yang akan digunakan
dalam IPM. Data-data sering hilang
akibat pengarsipan yang kurang baik atau hilang bersamaan dengan pergantian
atau pindah personil.
Pengembangan system pendukung
(Development Support System) berbasis computer merupakan solusi yang efektif
untuk mengatasi kelemahan di atas, sehingga kapanpun dan siapapun personil yang
menangani IPM ini dapat membuat keputusan yang tepat. Model pengembangan system
informasi IPM disajikan pada Fig.9.10
Future Developments in Pest Management
Perkembangan lebih lanjut di
masa mendatang tentunya akan terkait dengan pengelolaan hutan secara
lestari. Sistem pengelolaan hama terpadu
(IPM) harus mampu diterapkan dalam mendukung azas kelestarian, sehingga
pengelolaan hama yang efektif dan ramah lingkungan menjadi standarisasi global
terkait pula dengan isu-isu global.
Isu-isu penting yang terkait
dalam pengelolaan hama terpadu di masa mendatang adalah :
1) Sertifikasi,
Konservasi dan Hutan multifungsi
Berbagai pengelolaan sumberdaya alam termasuk hutan
dan IPM sendiri tentunya akan menghadapi system sertifikasi yang menjadi indicator
apakah pengelolaan telah menerapkan azas-azas kelestarian hutan dan lingkungan. Salah satu lembaga sertifikasi terbaik dunia
adalah Forest Stewardes Cuncil (FSC) yang memberikan 10 prinsip pengelolaan
hutan lestari.
Bidang konservasi juga akan menjadi isu penting
terkait bagaimana menjaga kelestarian keanekaragaman hayati termasuk
serangga-serangga di alam, sehingga IPM diharapkan tidak menimbulkan kepunahan
spesies-spesies serangga sebagai bagian dari ekosistem hutan.
Pengembangan hutan multi fungsi menjadi sangat
penting sebagai solusi efektif untuk menjamin fungsi-fungsi ekologi, social dan
ekonomi. Hutan tidak hanya dikembangkan untuk produksi kayu dan non kayu tetapi
juga mendukung jasa lingkungan dan ekowisata
2) Isu
Perubahan Iklim
Isu perubahan iklim global ini
secara langsung atau tidak akan berengaruh pada ketidakseimbangan ekosistem
termasuk kehidupan serangga. Beberapa
jenis serangga mungkin akan mengalami ledakan di wilayah tertentu, tetapi
mengalami kepunahan di wilayah yang lain.
Berbagai resiko yang aka dihadapi terkait dengan isu global ini perlu
diantisipasi dengan pengelolaan hama terpadu yang efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar