secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Rabu, 03 Oktober 2012

manajemen penyakit di HTI


Paper : manajemen penyakit hutan
PRAKTEK-PRAKTEK MANAJEMEN PENYAKIT
PADA HUTAN TANAMAN DI INDONESIA

Oleh:
1. Dede Jajat Sudrajat (BPTP Ciheuluet Bogor)
2. Ichsan Suwandhi (SITH ITB)

ABSTRAKS
Penyakit pada tanaman diartikan sebagai adanya kerusakan proses fisiologis yang disebabkan oleh suatu tekanan/ganguan yang terus-menerus dari penyebab utama (biotik/abiotik) yang mengakibatkan aktivitas sel/jaringan menjadi abnormal, yang digambarkan dalam bentuk patologi yang khas yang disebut gejala.  Gejala ini lah yang memberikan petujuk apakah pohon atau tegakan tersebut sehat atau sakit.  Dalam pelaksanaan manajemen penyakit ini, pengelola hutan tanaman pada dasarnya telah memperhatikan dan melakukan tindakan baik berupa pencegahan ataupun pengendalian. Kegiatan manajemen penyakit dalam prakteknya dapat dilihat di beberapa perusahaan HPHTI dan Perum Perhutani yang menjalankan program manajemen hama dan penyakit di bawah Divisi Penelitian dan Pengembangnya.

I.    PENDAHULUAN

Penyakit pada tanaman terjadi karena adanya penyimpangan dari keadaan normal, seperti adanya hambatan atau gangguan pada aktivitas fisiologi tanaman atau karena adanya perubahan struktur tanaman yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Penyakit dapat menyebabkan bentuk tanaman menjadi tidak normal atau menyebabkan kerusakan pada bagian tanaman yang terserang, bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman. Penyakit pada tanaman disebabkan oleh: 1) jasad hidup (misal : fungi, gulma, nematode, bakteri); 2) virus; atau 3) faktor lingkungan (misal kekurangan atau kelebihan zat hara, cahaya, suhu, dan kelembaban) (Rahayu, 1999; Widyastuti et al., 2005; Anggraeni et al, 2006).
Penyakit pertama kali dirasakan dampaknya adalah kerugian yang ditimbulkan oleh fungi yang menyerang benih dalam gudang penyimpanan. Kemudian, pada tahun 1979 dilaporkan kematian sekitar 8 juta bibit tusam pada persemaian di Cinta Alam, Aceh. Kerugian akibat penyakit lainnya terjadi pada pertanaman sonokeling yag diserang penyakit layu pada tahun 1970 (Widyastuti, 2005), serangan busuk akar pada tanaman Acacia mangium dan yang paling baru adalah serangan karat puru pada tanaman sengon.
Upaya-upaya manejemen penyakit tanaman hutan telah dilakukan di beberapa institusi pengelolaan hutan seperti Perum Perhutani dan HPTHI. Dalam prakteknya kegiatan tersebut bernaung di bawah Divisi Penelitian dan Pengembangan (R&D) yang salah satu sub divisinya menangani hama dan penyakit. Sub divisi tersebut melakukan monitoring hama dan penyakit, identifikasi dan merekomendasikan tindakan pengelolaan kepada manajer unit (pengelola wilayah tertentu) melalui Divisi R&D-nya.  Namun secara nasional program pengendalian penyakit tanaman hutan belum terlihat nyata karena penyakit tanaman hutan masih dianggap belum menimbulkan kerugian yang massif dibandingkan dengan gangguan-gangguan lainnya seperti kebakaran hutan dan illegal logging
Tulisan ini merupakan tugas kuliah Manajemen Penlindungan Hutan pada Program Doktor Mayor Silvikultur Tropika Institut Pertanian Bogor. Tujuan tulisan ini adalah memberikan gambaran mengenai praktek-praktek pengelolaan penyakit pada hutan tanaman di Indonesia. Gambaran ini penting sebagai bahan membelajaran untuk lebih mengintegrasikan pengendalian penyakit tanaman hutan ke dalam pengelolaan hutan yang tidak hanya bersifat lokal namun menjadi kebijakan yang sifatnya nasional.

II.      PRAKTEK MANAJEMEN PENYAKIT BENIH DAN PERSEMAIAN

A.   Praktek Pengendalian Penyakit Benih
Benih sebagai bahan yang memiliki nutrisi tinggi seperti karbohidrat, protein, dan lemak adalah sumber makanan yang menarik bagi sejumlah organisme. Benih memiliki pelindung terhadap serangan infeksi misalnya kulit benih yang keras atau senyawa kimia. Benih yang belum masak, rusak atau terlalu tua memiliki perlindungan yang lemah sehingga rentan terhadap serangan hama dan penyakit.
Patogen merupakan organisme penyebab penyakit benih seperti bakteri, virus dan fungi. Fungi merupakan penyebab penyakit benih yang paling penting (Schmidt, 2000). Fungi yang menyerang benih dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu fungi terbawa benih (field fungi) dan fungi gudang (storage fungi) (Rahayu, 1999).  Fungi terbawa benih umum tidak menyerang benih itu sendiri tetapi hanya menyerang semai di persemaian (Neergaard, 1979), sedangkan fungi gudang merupakan saprofit fakultatif yang hidup pada bahan organik (Widyastuti, 2005).  Beberapa fungi terbawa benih seperti Alternaria, Chaetomium, Curvalaria, Cladosporium,  Fusarium, Verticilium, dan Sclerotium. Fungi gudang dianatarnya adalah Aspergillus spp. Penicilium, Mucor, dan Rhizoporus spp. Fungi-fungi tersebut termasuk cendawan saprofit dan parasit tular benih yang berada dalam kondisi survival (dorman) selama benih disimpan. Bila kadar air meningkat (lebih dari 14%) maka fungi-fungi tersebut akan tumbuh dengan cepat (Justice dan Bass, 1994).
Di beberapa HPHTI (seperti PT. MHP dan PT. RAPP) dan Perum Perhutani, penanganan benih telah memperhatikan kesehatan benih yang diimplentasikan dari mulai pengunduhan, pemrosesan, hingga penyimpanannya. Beberapa praktek pengendalian penyakit benih tanaman hutan yang sering dilakukan adalah:

1.    Proses penanganan yang tepat
Proses penanganan benih yang tepat merupakan salah satu cara pencegahan serangan penyakit benih. Untuk benih-benih ortodoks (benih kering) seperti Acacia spp. dan Eucalyptus spp., pengeringan benih hingga kadar air 5-7% mampu menekan serangan penyakit benih.  Selain itu, kondisi penyimpanan pada ruang kering dingin juga mampu menekan serangan hama dan penyakit benih.

Gambar 1.  Pengeringan dan penyimpanan benih di PT. Musi Hutan Persada, Sumatera Selatan.

Untuk jenis benih rekalsitran, pengeringan berlebihan berdampak pada menurunnya daya berkecambah benih sehingga pengeringan dan penyimpanan terlalu lama tidak disarankan. Pada penaburan atau pengecambahan benih, penggunaan fungisida sering dilakukan untuk menekan serangan fungi yang umumnya menyukai benih berkadar air tinggi.

2.    Penggunaan fungisida
Walaupun penggunaan fungisida dapat menimbulkan dampat negative terhadap lingkkungan, namun beberapa HPHTI (PT. MHP, PT. Dyera Hutan Lestari) masih menggunakan fungisida untuk perlakuan benih sebelum penyimpanan dan perkecambahannya.  Fungisida yang biasa digunakan adalah Dithane M-45, Bavistin, dan Victory.  Cara aplikasi fungisida dilakukan dengan perendaman benih dalam larutan fungisida dengan dosis 1-2%, kemudian benih dikeringkan kembali hingga mencapai kadar air semula.

3.    Sterilisasi permukaan
Perlakuan sterilisasi permukaan dilakukan untuk menghilangkan fungi yang menempel di permukaan benih. Sterilisasi permukaan benih dilakukan dengan menggunakan bahan sterilant sebagai berikut:

1). 5 % sodium hypochlorit (NaOCl) digunakan untuk sterilisasi permukaan selama 10 menit.
2).  30 % hydrogen peroxide (H2O2) selama 5 menit.

Setelah perlakuan selesai, benih dibilas dengan air untuk menghilangkan residu kimia. Bahan sterilisasi hanya efektif pada fungi yang menempel di permukaan kulit benih, sedangkan fungi yang ada di dalam benih akan terhindar dari perlakuan. Perlakuan ini juga hanya efektif pada percobaan skala kecil, tetapi tidak praktis pada skala besar. 

B.   Praktek Pengendalian Penyakit di Persemaian
Persemaian merupakan kegiatan penting dalam rangka mempersiapkan bibit untuk program penanaman.  Umumnya kegiatan ini sangat intensif termasuk dalam pengendalian hama penyakit sehingga diperoleh bibit yang sehat. Beberapa praktek pengendalian penyakit di persemaian adalah sebagai berikut:

1.    Sterilisasi media tabur dan media sapih  
Sterilisasi media dapat dilakukan dengan cara :
-       Penjemuran media di bawah sinar matahari selama beberapa hari (3 – 4 hari).
-       Penggunaan autoclave, cara ini kurang efektif untuk skala lapangan.
-       Teknik fumigasi, bahan fumigasi yang sering digunakan di Indonesia adalah berbahan aktif dazomet dengan masa inkubasi 10 – 14 hari
-       Penggorengan media, penggorengan dilakukan selama 3 jam.  Dalam skala besar teknik ini juga kurang efektif.   
-       Penggunaan uap panas dengan peralatan pengolahan media modern (Gambar 2.).


Gambar 2.  Penyiapan media pembibitan di PT. Wira Karya Sakti, Jambi yang telah menggunakan mekanisasi dengan sterilisasi uap panas

2.    Inokulasi mikoriza
Pemberian mikoriza pada tahap pembibitan selain dapat meningkatkan penyerapan unsur hara, ketahanan terhadap kekeringan, memproduksi hormon dan zat pengatur tumbuh, juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan patogen akar (Setiadi, 1992). Mikoriza terdiri dari banyak jenis, untuk aplikasinya perlu menyeleksi jenis-jenis yang sesuai dengan inangnya (Santoso et al., 2006).  Di Indonesia, jenis ektomikoriza  yang dominan adalah Amanita, Russula, Boletus dan Scleroderma. Ektomikoriza umumnya berasosiasi dengan jenis-jenis Dipterocarpaceae dan P. merkusii, Eucalyptus spp., Gnetum gnemon dan beberapa jenis dari famili Fagaceae. Ektomikoriza sangat dominan pada jenis-jenis Dipterocarpaceae, dan sedikit jenis yang berasosiasi dengan VAM.  Ektomikoriza dibentuk oleh Basidiomycetes dan Ascomycetes dan beberapa dibentuk oleh Zygomycetes.  Aplikasi ektomikoriza dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti teknik inokulasi tanah, anakan yang bermikoriza, akar yang bermikoriza, biakan murni miselia, suspensi spora, kapsul mikoriza dan tablet mikoriza (Setiadi, 1992).  Inokulum spora dalam bentuk kapsul, tablet atau tepung ektomikoriza dapat digunakan untuk inokulasi pada Dipterocarpaceae.  Isolat lokal yang berhasil dibuat di Indonesia adalah Schleroderma columnare dengan bibit Shorea stenoptera, S. palembanica, S. selanica, S. leprosula, H. mengerawan dan H. odorata (Lee, 1998).    

Cendawan endomikoriza (dikenal juga dengan CMA = cendawan mikoriza arbuskular) banyak berasosiasi dengan jenis-jenis jati, mahoni, eucalyptus, acacia, gmelina, duabanga, khaya, agathis, sonokeling, saga, puspa, waru, rasamala, saninten dan jenis lainnya.  Teknik inokulasi CMA dapat dilakukan pada bibit hasil biakan vegetatif maupun generatif.  Pada bibit vegetatif, inokulasi dilakukan pada saat pemindahan bibit dari tahap perakaran ke aklimatisasi.  Untuk produksi bibit dalam skala besar, inokulasi dapat dilakukan dengan mencampur CMA dengan media sapih secara merata.  Pada bibit generatif, CMA dapat diinokulasikan dengan cara lapisan, teknik campur dan cemplongan.  Teknik lapisan cocok untuk benih berukuran kecil seperti Eucalyptus spp. dan Acacia spp.  Lapisan inokulum CMA ditebar di atas permukaan media setebal 0,5 – 1 cm dan dilapisi lagi media perkecambahan setebal 0,5 cm. Benih ditabur pada lapisan tersebut dan ditutup kembali dengan media setebal 0,5 cm.  Pada teknik campur, inokulum dicampur dengan media secara merata.  Dalam skala besar, pencampuran media tersebut dapat menggunakan molen. Sedangkan pada teknik cemplongan, inokulum dimasukkan ke dalam lubang pada media dalam polybag kemudian semai siap sapih dimasukkan ke dalam lubang tersebut.  Beberapa strain unggul seperti Pisolithus  sp.  yang memiliki spora besar sudah ditemukan dan diformulasikan dalam bentuk suspensi (Santoso et al., 2007).

3.    Penggunaan pestisida
Penggunaan pestisida pada saat ini dapat dikategorikan pengendalian hama secara konvensional (Sarjan, 2004). Pendekatan ini mulai mendapatkan penentangan dari banyak pihak dengan pertimbangan adanya dampak negative dari penggunaan pestisida ini seperti pencemaran lingkungan oleh zat-zat yang tidak mudah terurai dari pestisida tersebut dan matinya organisme non target yang bermanfaat.  Namun bagaimana pun, penggunaan pestisida masih menjadi pilihan utama dalam pengendaliam penyakit di persemaian. Beberapa praktek penggunaan pestisida dan perlakuan pengendalian penyakit lainnya dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1Penyakit bibit di persemaian dan cara pengendaliannya

No
Hama dan penyakit
Pohon inang
Cara pengendalian
1.
Penyakit lodoh (dumping off)
Eucalyptus spp., Acacia spp., P. merkusii, P. falcataria, dll.
Sterilisasi media semai (air panas, penggorengan, fumigasi), dengan larutan fungisida seperti captan, ceresan atau PCNB. Cara mekanik dengan memusnahkan bibit yang menunjukkan gejala serangan penyakit.
2.
Penyakit embun tepung
(Oidium sp.)
Acacia spp., Leucaena lecochepala,   
P. falcataria.

Calophyllum inophyllum
Fungisida berbahan aktif benomil (Benlate) dengan dosis 1-2 gr per liter.


Fungisida berbahan aktif benomil dan triadimenol (dosis 0,5-1 gr/liter air, penyemprotan 2 minggu).
3.
Penyakit layu bakteri (bakteri Pseudomonas tectonae)
Tectona grandis

Sistem pengairan tidak terlalu lembab, sterilisasi media dengan formaldelhide 4% atau larutan dihydrostrepotomycin 0,005%, bakterisida berbahan aktif asam oksolinik (Starner 20 WP).
4.
Penyakit bercak daun
-    Pestalotiopsis sp.
-    Pestalotia sp.

-    Altelaria sp.
-    Cylyndrocladium sp. dan Curvularia sp.
-    Cylindrocladium sp.


P. merkusii

Shorea sp. dan Gmelina arborea
Acacia spp.
Eucalyptus sp.


Calophyllum inophyllum

Menjaga kelembaban media, fungisida berbahan aktif propineb (Antracol) atau tembaga oksiklorida (Cuprafit) dengan dosis sesuai label.





Menggunakan fungisida  berbahan aktif  mankozeb, benomil, dan belerang atau dapat langsung menggunakan tepung belerang  yang dihembuskan pada permukaan tanaman yang terserang.
5.
Penyakit karat daun
(fungi Atelocauda digitata)
Acacia spp.
Fungisida Benlate T 20/20 WP, Bayleton 250 EC, Cupravit OB 21, Antracol 74 WP, Baycor 300 EC, Daconil 75 WP, Dithane M-45 80 WP, Orthocide 50 WP, Cobox, Calixin 750 EC, Tilt 250 EC dengan dosis 1-2 cc per liter.
Sumber: Departemen Kehutanan  (2004 dan 2009).

4.    Penilaian mutu bibit dalam rangka standardisasi mutu bibit
Pengendalian penyakit bibit tanaman hutan juga dilakukan dengan skema sertifikasi mutu bibit. Dalam pelaksanaannya, sertifikasi mutu bibit ini menggunakan perangkat standar mutu bibit siap tanam yang terdiri dari dua persyaratan, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Salah satu persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah bibit harus sehat: terbebas dari serangan hama penyakit dan warna daun normal (tidak menunjukkan kekurangan nutrisi dan tidak mati pucuk).  Selain itu, bibit harus sudah memiliki batang berkayu lebih dari 50%.  Hal ini juga dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan penyakit karena umumnya dengan meningkatnya persen batang berkayu berarti kandungan lignin makin meningkat yang dapat menghambat serangan patogen  (Perdirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009).

Gambar 3. Persemaian jati (kiri) dan bibit jati siap tanam yang telah disertifikasi (kanan)


III.     PRAKTEK PENANGANAN PENYAKIT TANAMAN HUTAN DI LAPANGAN

Manajemen penyakit di lapangan dapat dilihat di beberapa perusahaan  hutan tanaman industri (HTI) yang umumnya menggunakan tanaman sejenis (homogen) yang memiliki sifat lebih rentan terhadap serangan penyakit dibandingkan dengan tegakan campuran atau alami. Beberapa upaya majemen penyakit di hutan tanaman adalah sebagai berikut:


A.   Karantina
Karantika dalam hubungan dengan hutan tanaman dan pengendalian penyakit terjadi pada saat impor benih.  Pemasukan benih dari luar negeri (impor) diatur dengan beberapa peraturan sebagai berikut:
1)    Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman,
2)    Undang-undang Nomor 16 Tahun 1992  tentang Karantina Hewan, dan  Tumbuhan,
3)    Keputusan Menteri Kehutanan No. 01/Kpts-II/2009 tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 01/Kpts-II/2009 secara lebih rinci dijelaskan mengenai syarat-syarat pemasukan benih dari luar negeri.  Dalam hubungannya dengan pengendalian penyakit, benih dari luar negeri harus memiliki beberapa dekumen, seperti sertifikat asal-usul benih (certificate of origin), sertifikat kualitas benih (certificate of quality), dan sertifikat kesehatan (certificate of phytosanitary).

B.   Pembangunan Uji Jenis dan Uji Provenan
Hutan tanaman merupakan tanaman sejenis yang rentan terhadap penyakit sehingga dalam pengembangannya perlu pemilihan jenis yang benar-benar memiliki daya adaptasi tinggi dan tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta tekanan lingkungan lainnya. Pemilihan jenis merupakan awal pembanguan hutan tanaman (HTI) dalam skala besar. Umumnya uji jenis dilakukan dengan menanam banyak jenis yang dianggap potensial untuk dikembangkan di wilayah tersebut. Jenis terpilih merupakan jenis unggulan lokal untuk dikembangkan menjadi tanaman pokok.
Tahapan selanjutnya adalah uji provenans, namun dalam pelaksanannya uji jenis dapat dilakukan secara bersamaan dengan uji jenis. Uji provenans (asal benih/ras lahan) dilakukan dengan menguji daya adaptasi, pertumbuhan, dan sekaligus ketahanan terhadap penyakit provenans-provenans jenis tertentu yang berasal dari sebaran geografik dan ekologi berbeda. Provenans terbaik meruopakan provenans yang memiliki pertumbuhan baik dan tahan terhadap serangan hama dan tekanan lingkungan yang kemudian dikembangkan untuk pengembangan hutan tanaman dalam skala besar.  Sebagai contoh untuk jenis Acacia mangium, sejak tahun 1995 telah dilakukan uji provenans di beberapa lokasi seperti Riau (PT. RAPP), Sumatera Selatan (PT. MHP), Jambi (PT. WKS), Bogor (Hutan Penelitian Parungpanjang), Kalimantan Selatan (Plehari dan Riamkiwa), Kalimantan Barat (PT. Finantara, Sanggau), dan Kalimantan Timur (PT. ITCI Hutani Manunggal). Provenans-provenans tersebut berasal dari Papua New Guinea dan Queensland, Australia. Uji tersebut selanjutnya dijadikan dasar bagi pengembangan sumber benih termasuk pembangunan kebun benih.

C. Penggunaan Benih Unggul
Dari provenans-provenans terbaik tersebut dapat diseleksi individu-individu tertentu sebagai pohon plus yang selanjutnya dijadikan materi genetic untuk pembangunan kebun benih uji keturunan. Pada uji keturunan, pemilihan individu terbaik dilakukan pada level famili (umumnya banyak menggunakan soudara siibu/halfsib). Umumnya untuk mengkonversi uji keturunan menjadi sumber benih (kebun benih semai) dilakukan seleksi penjarangan (seleksi individu dan seleksi famili) dengan menggunakan parameter pertumbuhan, bentuk batang, dan kesehatan pohon (bebas hama penyakit) (Zobel dan Talbert, 1984).  Tahapan pembangunan kebun benih semai uji keturunan disajikan pada Gambar 4 dan kebun benih di salah satu HPHTI dapat dilihat pada Gambar 5.
Kebun benih semai akan menghasilkan benih unggul dengan keragaman genetik yang cukup tinggi. Keragaman tinggi dari benih yang ditanam pada suatu kawasan hutan tanaman akan berdampak pada meningkatnya ketahanan tanaman tersebut. Hal ini disebabkan karena ketahanan terhadap penyakit sebagai hasil dari penjaranngan seleksi sewaktu konversi uji keturunan menjadi kebun benih akan diturunkan (yang diekspresikan oleh benih yang ditanamnya) dan keragaman yang tinggi memungkinkan setiap individu mempunyai ketahan yang berbeda-beda terhadap suatu penyakit sehingga bila terjadi serangan hanya terjadi pada invidu-individu tertentu saja.

Gambar 4. Tahapan pembangunan kebun benih semai uji keturunan yang dibangun untuk menghasilkan benih unggul. Ketahanan secara polygenic terhadap penyakit yang diperoleh melalui seleksi akan diturunkan dan akan diekspresikan oleh tanaman generasi selanjutnya.

  Gambar 5. Kebun benih uji keturunan di PT. Musi Hutan Persada Sumatera Selatan

D.   Pengendalian dengan Fungisida
Pengendalian dengan fungisida di lapangan merupakan alternative terakhir dalam upaya pemberantasan penyakit.  Beberapa laporan menyebutkan bahwa penyakit akar merah yang disebabkan oleh Gandoderma pseudoffeurum dapat dikendalikan dengan fungisida Dazomet atau Metil bromide (Rahayu, 1999). Namun tindakan tersebut diajurkan pada lokasi yang telah terinfeksi agar tidak meluas. Umumnya serangan tersebut diakibatkan oleh kurang diperhatikannya tunggal-tunggal atau sisa-sisa akar yang menjadi tempat hidup fungi tersebut yang menjadi sumber inokulum potensial yang selanjutnya menyerang tanaman ketika kawasan tersebut dikonversi menjadi hutan tanaman (HTI).  Oleh karena itu, perlakuan fungisida mungkin harus dikombinasikan dengan eradikasi untuk mendapatkan hasil yang optimal.  

E.    Penanaman Tanaman Pencampur (Tanaman Sela, Tanaman Tepi)
Pada beberapa kawasan hutan tanaman, khususnya yang dikelola Perum Perhutani, penggunaan tanaman sela dan tanaman tepi sudah sejak dulu dilakukan. Namun sekarang ini, jenis tanaman sela yang digunakan telah dipilih yang mempunyai pengaruh terhadap ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit. Di BKPH Parungpanjang, tanaman sela dan tanaman tepi untuk tanaman pokok Acacia mangiun digunakan tanaman mindi (Melia azedarach) yang dikenal mempunyai zat yang tidak disukai hama dan penyakit dan banyak digunakan sebagai insektisida/pestisida alami.      

F.    Pemberantasan Tanaman yang Terserang Penyakit Busuk Akar
Di beberapa HPHTI, pada tanaman yang telah terserang penyakit busuk akar berat dilakukan memberantasan dengan menggali akar tanaman tersebut dan membakarnya. Hal ini dilakukan untuk memusnahkan fungi yang berpotensi menyebabkan busuk akar yang masih hidup pada sisa-sisa akar dan tunggak.  Pada perusahaan HPHTI besar penggalian akar dilakukan bersamaan dengan persiapan lahan untuk penanaman rotasi berikutnya dengan menggunakan alat-alat mekanis berat.

Gambar 6. Tanaman Acacia yang terserang jamur busuk akar (Gandoderma). Tubuh buah akan muncul dari batang kayu dan pohon tersebut akan mati atau tumbang. Di beberapa HTI, pemberantasan penyakit tersebut dilakukan dengan penggalian tunggak dan membakarnya.




IV.    PENUTUP

Kegiatan pengelolaan penyakit hutan tanaman pada saat ini mulai mendapatkan perhatian serius. Namun perhatian ini masih terbatas pada perusahan HPHTI besar seperti PT. MHP dan PT. RAPP, dan Perum Perhutani. Perusahaan pengelolaan hutan lainnya mungkin belum begitu serius menjalankan program manajemen penyakit tanaman hutan.  Beberapa kendala masih menjadi penghambat untuk menjalankan program manajemen penyakit seperti sumber daya manusia dan alokasi anggaran yang masih belum optimal. Hal ini perlu kesadaran semua pihak termasuk pimpinan manajemen dan juga birokrasi untuk lebih mengupayakan pentingnya manajemen penyakit dalam pengelolaan hutan tanaman di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, I., Intari, S.E., dan Darwiati, W. 2006. Hama dan Penyakit Tanaman Hutan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor.
Departemen Kehutanan. 2004.  Teknik Pembibitan dan Konservasi Tanah. Buku I. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Departemen Kehutanan. 2009. Teknik Perbenihan Dan Pembibitan Nyamplung. Modul Pelatihan Untuk Pelaksana Pengelolaan DME Berbasis Hutan Tanaman Nyamplung. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan Jakarta.
Justice, O.L. and Bass, L.N. 1994. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih. (Terjemahan). Rajawali Press. Jakarta.
Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. In Appanah, S and Turbull, J.W. (eds). A review of Dipterocarps : taxonomy, ecology and silviculture.  CIFOR. Bogor, Indonesia.
Neergaard, P. 1979. Seed Patology, Volume I. The Macmillan Press Ltd. London.
Perdirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial No. P.05/V-Set/2009 tentang Pedoman Penilaian Mutu Bibit Tanaman Hutan.
Rahayu, S. 1999. Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Santoso, E, M. Turjaman, dan R.S.B. Irianto. 2006.  Aplikasi Mikoriza untuk Meningkatkan Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Terdegradasi. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang 20 September 2006. Badan Litbang Kehutanan.
Santoso, E, R. Pasaribu, R. Sitepu, S. Kumalawati, dan M. Turjaman. 2007. Pembuatan Biopot dan Inokulasi Mikoriza sebagai Pupuk Biologi. Laboratorium Mikrobiologi Hutan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. 
Sarjan. 2004. Pengelolaan Hama Terpadu (Pertarungan antara Teknologi Konvensional versus Modern) dalam rangka Pencapaian Produksi Pertanian secara Kuantitatif dan Kualitatif. Orasi Ilmiah Disampaikan pada Upacara Dies Natalis ke 42.   Universitas Mataram . Mataram. 
Schmidt, H. L. 2000. Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis. Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, Ditjen RLPS – Indonesia Forest Seed Project. Jakarta. (terjemahan).
Setiadi, Y.  1992. Mengenal Mikoriza, Rhizobium dan Aktinorizas untuk Tanaman Kehutanan.  Lab. Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB.  Bogor.
Widyastuti, S.M., Sumardi, dan Harjono. 2005. Patologi Hutan. Gajah Mada Unirversity Press. Yogyakarta.
Zobel, B.J and J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley & Sons Inc. Canada.

Tidak ada komentar: