secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Senin, 24 Januari 2011

TINJAUAN KINERJA PENANGANAN PASCA KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA



TINJAUAN KINERJA PENANGANAN PASCA KEBAKARAN HUTAN
DI INDONESIA[1]

Oleh :
Ichsan Suwandhi[2]
E.4611 00021/SVK

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang memiliki kawasan hutan cukup luas, sampai saat ini masih dihadapkan pada ancaman lingkungan berupa degradasi hutan yang sangat tinggi, meskipun aksi-aksi dan program-program telah dicanagkan untuk mengatasi permasalahan ini seperti GNRHL, OMOT dan gerakan tanam 1 milyar pohon ternyata belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penurunan degradasi hutan.  Laju deforestasi hutan di Indonesia paling besar disumbang oleh kegiatan industri, terutama industri kayu, yang telah menyalahgunakan HPH yang diberikan sehingga mengarah pada pembalakan liar. Penebangan hutan di Indonesia mencapai 40 juta m3/tahun melebihi laju penebangan yang sustainable (lestari berkelanjutan) sebagaimana direkomendasikan oleh Departemen Kehutanan menurut World Bank adalah 22 juta m3 setahun. 
Deforestasi (kerusakan hutan) memberikan dampak yang signifikan bagi masyarakat dan lingkungan alam di Indonesia. Kegiatan penebangan yang mengesampingkan konversi hutan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan yang pada akhirnya meningkatkan peristiwa bencana alam, seperti tanah longsor dan banjir.  Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa dan flora di Indonesia utamanya flora dan fauna endemik. Satwa-satwa endemik yang semakin terancam kepunahan akibat deforestasi hutan misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), merak (Pavo muticus), owa jawa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), merpati hutan perak (Columba argentina), dan gajah sumatera (Elephant maximus sumatranus).
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu permasalahan lingkungan yang serius terjadi di Indonesia, bahkan menjadi factor penyebab terbesar degradasi hutan selain kegiatan eksploitasi yang telah disalahgunakan pengusaha HPH.   Berbagai sumber data memberikan informasi bahwa perkembangan kebakaran hutan cenderung sangat pesat terjadi, terutama pada tahun 1997 yang lalu telah mencapai sekitar 10 juta hektar, kemudian pada tahun 2008 dilaporkan mencapai 6-8 juta hektar.  Pada tahun 2010 ini menurut laporan Direktur  Pengendalian Kebakaran Hutan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan, Noor Hidayat bahwa luas kebakaran hutan di Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan.  Penurunan tersebut bukan merupakan hasil dari kegiatan pengendalian yang efektif tetapi lebih disebabkan oleh factor cuaca yang hampir setiap bulannya terjadi hujan cukup banyak.  Hal tersebut mengindikasikan kinerja pengendalian kebakaran hutan masih dipertanyakan.
Hadisuparto (2006) menyatakan bahwa kekhawatiran dunia terhadap pelestarian hutan tidak hanya terjadi akibat eksploitasi dan perambahan hutan, namun terutama akibat kebakaran hutan. Kerusakan hutan karena kebakaran di kawasan tropis bahkan tidak jarang dipakai sebagai legitimasi kerusakan hutan sebelumnya yang terjadi oleh eksploitasi dan perambahan. Karena itu, kebakaran hutan yang merupakan faktor pemacu (trigerring factor) utama kemunduran kuantitas dan kualitas hutan perlu diantisipasi dan dicegah sedini mungkin.
Persoalan serius terjadi ketika kebakaran hutan dan lahan dilakukan secara sengaja oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.  Berbagai informasi memberitakan bahwa kebakaran-kebakaran besar yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh para pemegang ijin usaha hasil hutan kayu dan perkebunan sawit, berdampak pada tingginya emisi karbon yang dihasilkan sebagai penyumbang pemanasan global, hal ini menampik tudingan berbagai pihak bahwa penyebab kebakaran selama ini selain oleh daya-daya alam juga akibat kegiatan pembukaan lahan oleh masyarakat untuk berladang dengan cara membakar.  Alamendah dalam worldpress.com (2010) menegaskan penyebab deforestasi terbesar kedua di Indonesia, disumbang oleh pengalihan fungsi hutan (konversi hutan) menjadi perkebunan. Konversi hutan menjadi area perkebunan (seperti kelapa sawit), telah merusak lebih dari 7 juta ha hutan sampai akhir 1997, demikian juga pada 10 tahun terakhir kebakaran hutan masih terjadi akibat pembukaan secara besar-besaran lahan hutan menjadi kebun sawit, fakta-fakta membuktikan bahwa kegiatan konversi lahan hutan menjadi kebun sawit sebagian besar dilakukan dengan pembakaran lahan secara besar-besaran.
Perilaku atau kebiasaan masyarakat membuka lahan dengan cara membakar sudah dilakukan secara turun temurun sejak jaman dulu dengan kemampuan pembakaran lahan rata-rata 2 hektar per tahun, hal ini membuktikan bahwa besarnya angka luas kebakaran hutan di Indonesia hingga jutaan hektar bukan disebabkan oleh perilaku masyarakat semata-mata, tetapi oleh pihak-pihak yangmemiliki teknologi dan pendanaan yang kuat yaitu para pemegang ijin usaha kehutanan dan perkebunan.
Berkenaan dengan hal-hal di atas maka muncul sebuah pertanyaan, bagaimana peran pemerintah dalam upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan dan bagaimana kinerja dalam penanganan pasca kebakaran terutama dalam kaitannya dengan penanganan kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh para pemegang ijin usaha kehutanan dan perkebunan.  Paper ini mencoba mengupas hal tersebut berdasarkan penelusuran fakta-fakta yang berasal dari media dan informasi-informasi lainnya.

B.     Tujuan
Sesuai dengan permasalahan kebakaran hutan yang masih terus menjadi isu penting kerusakan lingkungan di Indoesia, penulisan paper ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana kebakaran hutan dan lahan mampu ditangani dengan melihat kinerja penanganan pasca kebakaran.

TINJAUAN HUKUM DAN PERUNDANGAN
Hukum dan peraturan perundangan yang terkait secara langsung dengan kebakaran hutan dan pengendaliannya sebenarnya sudah cukup memadai mulai dari perencanaan, organisasi, teknik dan strategi pengendalian dan penanganan pasca kebakaran hutan.  Beberapa aturan perundangan yang berlaku di Indonesia terkait dengan kebakaran hutan dijabarkan sebagai berikut :
1.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
2.  Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
3.  Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Inonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
4.  Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4076);
5.  Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
6.  Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
7.  Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan
Berdasarkan seperangkat aturan di atas dapat dinyatakan bahwa pemerintah telah memiliki kelengkapan untuk mengelola pengendalian kebakaran hutan secara efektif.  Khusus mengenai penanganan pasca kebakaran, Permenhut No. P.12/menhut-II/2009 memberikan penjelasan secara rinci tahap-tahap pekerjaan yang perlu dilakukan dalam menangani masalah kebakaran hutan.

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan pada dasarnya meliputi pencegahan, penanggulangan, dan penanganan pasca kebakaran. Dalam upaya pencegahan terdiri dari kegiatan penetapan tata cara kegiatan baku (standard operating procedure/SOP) pencegahan, sosialisasi dan pelatihan pengendalian kebakaran, dan penyediaan database daerah rawan (hot spot). Upaya penanggulangan terdiri dari penetapan SOP pengendalian, distribusi informasi titik-titik api dan sebenarnya, dan mobilisasi sumber daya penanggulangan kebakaran.
Sementara upaya rehabilitasi meliputi evaluasi operasi penanggulangan, pendataan lokasi, dan analisis penyebab-akibat kebakaran dan rehabilitasi lingkungan termasuk infrastruktur. Program pengendalian terpadu tersebut harus dilakukan mulai dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten, hingga kecamatan. Sebagai ujung tombak, kabupaten dan kecamatan harus dapat mengimplementasikan program pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan meningkatkan sumber daya dan dana yang mencukupi.
Hadisuparto (2006) menjelaskan, sebagai upaya pencegahan dalam mengantisipasi bahaya kebakaran hutan dan lahan dengan memperhatikan data kejadian kebakaran sebelumnya, beberapa parameter yang perlu diperhatikan setidaknya daerah/titik-titik rawan kebakaran. Intensitas kebakaran yang berupa jumlah titik api dalam satuan luas (kilometer persegi>jmp 0m<>kern 200m<>h 8333m,0<>w 8333m<). Luas areal terbakar rata-rata per titik api, dengan menentukan luas kebakaran maksimum dan minimum, jumlah titik api bulanan sejak memasuki musim panas, jarak titik api dari kegiatan proyek, pemukiman dan jalan raya, suhu harian, serta tipologi hutan dan laban atau ekosistemnya

PENANGANAN PASCA KEBAKARAN
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P12/menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan, penanganan pasca kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
Penanganan pasca kebakaran hutan dilakukan melalui kegiatan :
1. Pengumpulan bahan keterangan (Pulbaket);
2. Identifikasi;
3. Monitoring dan evaluasi;
4. Rehabilitasi; dan
5. Penegakan hukum.

Pengumpulan bahan keterangan, dilakukan melalui pengecekan lapangan pada areal yang terbakar dengan menggunakan data titik panas yang terpantau, pengumpulan contoh tanah, tumbuhan, dan bukti lainnya di areal yang terbakar.   Identifikasi dilakukan untuk mengetahui penyebab kebakaran, luas kebakaran, tipe vegetasi yang terbakar, pengaruhnya terhadap lingkungan dan ekosistem. Monitoring dan evaluasi dilakukan untuk memantau kegiatan pengendalian kebakaran yang telah dilakukan dan perkembangan areal bekas kebakaran.   Rehabilitasi dilakukan dalam rangka merehabilitasi kawasan bekas kebakaran dengan mempertimbangkan rekomendasi dan atau masukan berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi.
Selanjutnya penegakan hukum dilakukan dalam rangka upaya proses penindakan hukum dibidang kebakaran hutan dengan diawali kegiatan pengumpulan bahan dan keterangan yang berkaitan dengan terjadinya pelanggaran sebagai bahan penyidikan.
Dalam melaksanakan upaya penanganan pasca kebakaran hutan, Brigdalkarhut tingkat pusat melakukan kegiatan koordinasi. Baik secara horizontal dengan kepolisian,Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP) dan Badan SAR Nasional;maupun secara vertical dengan gubernur dan bupati/walikota.

EFEKTIFITAS PENANGANAN PASCA KEBAKARAN DI INDONESIA
Penanganan pasca kebakaran menjadi kunci penting dalam menjamin pengelolaan kebakaran hutan agar pengendaliannya dapat berjalan efektif ditandai dengan menurunnya atau berkurangnya luas kebakaran hutan.
Kebakaran hutan kembali melanda beberapa wilayah di Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia lebih mirip sebuah ulang tahun yang terus terulang setiap musim kemarau di setiap tahunnya. Meskipun telah menjadi bencana rutin yan terjadi setiap kali musim kemarau, namun kebakaran hutan dan lahan tetap tidak dapat tertanggulangi dengan efektif
Tahun 2009 yang lalu ternyata menjadi bukti yang sangat penting masih rendahnya kinerja penanganan pasca kebakaran hutan.  Kebakaran hutan ibarat ulang tahun, kembali terjadi sebagaimana sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sebagai contoh di  Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan beberapa wilayah di Sulawesi merupakan daerah yang paling parah mengalami kebakaran hutan dan lahan, bahkan tiga kali lebih parah dari tahun 2008. Tahun 2010 sebagaimana disampaikan sebelumnya memang mengalami penurunan, tetapi tindakan-tindakan secara sengaja membakar lahan besar-besaran masih terjadi (Walhi 2009).
Penyebab kebakaran hutan yang terjadi saat ini, mayoritas dilakukan dengan sengaja oleh perusahan minyak kelapa sawit dan hutan tanaman industri untuk melakukan pembukaan lahan perkebunan dengan cepat. Tingkat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ini menempatkan hutan Indonesia sebagai hutan dengan tingkat kehancuran paling cepat di dunia. Bahkan kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997/1998 telah melenyapkan hutan seluas 9,8 juta hektar sekaligus menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat polusi terbesar ketiga di dunia.
Sebagai contoh kasus, hingga awal September 2009, tercatat sedikitnya 2.000 hutan telah terbakar di Kalimantan Tengah dengan sekitar 709 titik api. Bahkan berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, hingga Agustus 2009 jumlah lahan dan hutan terbakar di Indonesia mencapai 3.626,4 ha. Walhi juga mendeteksi adanya 24.176 titik api di seluruh Indonesia, di mana yang tertinggi berada di Kalimantan Barat.
Jika prediksi terjadinya kemarau panjang di Indonesia sebagai akibat dampak el nino benar-benar terjadi, dapat dibayangkan pesta ulang tahun kebakaran hutan akan semakin menggelora dan menyisakan berbagai dampak negative terhadap lingkungan dan masyarakat. Mulai dari rusaknya hutan sebagai habitat satwa dan flora, menyebarkan emisi gas karbon dioksida ke atmosfer, hingga masalah asap yang menyebabkan gangguan di berbagai segi kehidupan masyarakat antara lain kesehatan, transportasi, ekonomi dan hubungan tata negara.
Indonesia sejak tahun 1999 sebenarnya telah mempunyai hukum untuk pembakar hutan, hukum yang mulai diperkenalkan pada 1999 setelah kebakaran hutan pada 1997/1998 menyebutkan hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 10 miliar rupiah. Selain itu MUI (majlis Ulama Indonesia) juga telah mengeluarkan fatwa haram bagi para pelaku pembakaran hutan dan lahan, namun implementasi di lapangan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Kurang tegasnya pemerintah dalam menindak para pelaku pembakaran hutan dan lahan masih diperparah juga dengan minimnya sarana, prasarana dan pengetahuan para petugas pemadam kebakaran yang menangani kebakaran hutan. Sebuah ironi, bencana yang mirip ulang tahun, rutin terjadi setiap tahun, ternyata belum mampu diantisipasi dengan baik.
Menurut Hariri (2006) Sampai saat ini, upaya pemadaman kebakaran hutan dan lahan masih terus dilakukan, namun hasilnya belum signifikan. Hal ini karena perbandingan sumber daya pemadam dengan luasan lahan yang terbakar tidak seimbang.  Selain itu, manajemen pemadaman kebakaran pun masih belum efektif.
Tanggapan pemerintah khususnya Kementrian Kehutanan melalui Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Dirjen PHKA, sesuai Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2010, pihaknya menargetkan penurunan luas kebakaran hutan mencapai 10 persen setiap tahun terhadap data kebakaran hutan tahun 2008 seluas 6.793,08 hektar.
"Target penurunan itu tertuang dalam indikator kinerja Bidang Pengendalian Kebakaran Hutan Kementerian Kehutanan yang dilaksanakan bertahap sejak 2010 hingga 2014," ujar dia.
Disebutkan, target penurunan luas kebakaran hutan sebesar 10 persen per tahun pada 2010 menurun menjadi 6.113.77 hektar disusul penurunan pada 2011 menjadi 5.434.46 hektar. Selanjutnya tahun 2012 ditargetkan penurunan menjadi 4.755.16 hektar kemudian tahun 2013 menjadi 4.075.85 hektar dan hingga akhir tahun 2014 penurunan luas kebakaran hutan menjadi 3.396.54 hektar.
Menurut Prof. Bambang Hero Saharjo (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB) dalam kuliah manajemen pengendalian kebakaran hutan, hal-hal yang menyebabkan kebakaran hutan tetap terjadi antara lain :
1)    Political will, kebijakan yang tidak mendukung ditunjukkan oleh indikasi aksi nyata di lapangan tidak sesuai dengan yang diberitakan media masa, selain itu kewajiban dan tanggung jawab pemerintah setempat tidak dilaksanakan.
2)    Penegakan hokum, aturan yang dibuat pemerintah tumpul dan hanya berlaku untuk masyarakat kecil, hal ini ditunjukkan jarang atau bahkan tidak pernah pelaku pembakaran besar-besaran ditindak secara hokum.
3)    Koordinasi, koordinasi mulai dari tingkat pusat sampai daerah belum berjalan dengan baik.
4)    Sumberdaya manusia, pemadam kebakaran hutan di lapangan umumnya tidak mengerti tentang teknis pemadaman.
5)    Pengetahuan tentang kebakaran, sifat dan perilaku kebakaran di Indonesia tidak banyak diketahui, penggunaan data-data dari luar negeri tidak sesuai denga iklim Indonesia.
6)    Peringatan dan deteksi dini, informasi-informasi yang bersifat peringatan dari deteksi dini cenderung lambat disampaikan.
7)    Pendekatan kepada masyarakat, kegiatan yang dilakukan tidak mengakar dan tidak menimbulkan kesadaran.
Berdasarkan berbagai aspek dan informasi yang dirangkum di atas dapat dinyatakan bahwa penanganan pasca kebakaran hutan di Indonesia masih belum efektif ditunjukkan oleh kinerja manajemen kebakaran hutan yang rendah.

PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah disusun di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja penanganan pasca kebakaran hutan di Indonesia masih rendah, sehingga diperlukan upaya-upaya strategis untuk mendukung keefektifan pelaksanaannya.
Konversi hutan untuk kegiatan HTI, perkebunan, dan budidaya pertanian lainnya mempunyai bobot risiko kebakaran paling besar. Kejadian kebakaran ini sering pula berkaitan erat dengan pembukaan lahan untuk pemukiman, termasuk proyek transmigrasi. Untuk itu, antisipasi dini yang mutlak dilakukan adalah penyuluhan kepada masyarakat dari segala lapisan, terutama mereka yang berada di dekat lokasi-lokasi rawan kebakaran.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan bencana alam yang tidak hanya merusak sumber daya alam, namun juga menurunkan kualitas lingkungan hidup mulai dari skala lokal, regional, bahkan global. Untuk itulah diperlukan langkah nyata di lapangan dengan memperhatikan kondisi setempat, baik sebagai tindakan pencegahan, penanggulangan kebakaran maupun rehabilitasi hutan dan lahannya.
Terkait dengan masih tingginya kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, diperlukan program-program yang mendukung antara lain :  
1)    Peningkatan koordinasi antar intansi terkait dalam penanggulangan kebakaran kawasan hutan. Meningkatkan dan kampanye nasional kesadaran, kecintaan dan peran serta masyarakat dalam upaya pelestarian hutan secara terpadu.
2)    Pendekatan perlu dilakukan melalui aspek-aspek legal, sosial budaya (behavior/anthropology) dan kesejahteraan dengan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan yang bersifat menetap dalam rangka mengurangi tekanan terhadap hutan.
3)    Ketegasan pemerintah dalam penegakan hukum untuk menindak para pelaku pelanggaran, yaitu para pembakar hutan dan lahan terutama pembukaan lahan hutan secara besar-besaran dengan cara membakar sebagaimana dilakukan oleh para pengusaha HTI dan perkebunan.


PUSTAKA

Walhi.  2009.  Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15440098/Walhi.
Alamendah.  2010.  Kerusakan hutan, deforestasi di Indonesia.. http://alamendah.wordpress.com/2010/03/09/kerusakan-hutan-deforestasi-di-indonesia/
Hariri, D.  2006.  Manajemen Pengendalian Kebakaran Hutan.
Nurhasmawaty.  2004.  Gangguan asap dan kebakaran hutan. e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
Rahmat, M.  2010.  Evaluasi Manfaat dan biaya pengurangan emisi serta penyerapan karbondioksida pada lahan gambut di HTI PT. SBA WI.Jurnal Bumi Lestari, Volume 10 No. 2, Agustus 2010. hlm. 275 – 284
Hadisuparto. 2010.  Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. http://www.kompas.co.id (29 Maret 2006)



[1] paper mk manajemen perlindungan  hutan sekolah pascasarjana ipb prog. doktor
[2] mhs sps ipb mayor silvikultur tropika; dosen itb jatinangor

Tidak ada komentar: