secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Rabu, 16 Maret 2011

MENGATASI TOXIC AREAL TAMBANG DENGAN FITOREMEDIASI


MEKANISME MODEL- MODEL FITOREMEDIASI

Oleh:
Dede Sudrajat; Dadan Mulyana; Ichsan Suwandhi
Student of IPB Doctoral Programme


I.      PENDAHULUAN

Istilah fitoremediasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “phyto” yang berarti tanaman dan dari bahasa Latin, yaitu “remedium” yang berarti membersihkan atau memperbaiki. Beberapa pengertian fitoremediasi adsalah sebagai berikut:
-     suatu teknologi yang didasarkan pada penggunaan tanaman secara alami atau melalui rekayasa genetik yang bertujuan agar tanaman tersebut dapat membersihkan lingkungan yang tercemar/terkontaminasi (Cunningham et al., 1997).  
-     Suatu sistem dimana tanaman tertentu yang bekerjasama dengan suatu mikroorganisme dalam media (tanah, koral, dan air) dapat mengubah zat kontaminan menjadi kurang atau tidak berbahaya bahkan menjadi bahan yang berguna secara ekonomi (Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, 2003).
-     Penggunaan tanaman untuk memperbaiki sebagian atau subtansi kontaninan tertentu dalam tanah, endapan, kotoran/lumpur, air tanah, air permukaan, dan air sampah (Pivetz, 2001).
-     Teknologi alternatif atau pelengkap yang dapat digunakan dengan atau dalam beberapa kasus pada tempat teknologi pembersihan konvensional yang sering memerlukan input biaya tinggi dan tenaga serta energi intensif (Erakhrumen, 2007)

Berdasarkan jenis kontaminan, kondisi tapak, tingkat bebas kontaminan yang diperlukan, dan tipe tanaman, maka teknologi fitoremediasi dapat digunakan untuk tujuan penahanan (containment) seperti phytoimmobilization dan phytostabilization, dan pembuangan (removal) seperti phytoextraction dan phytovolatization (Thangavel dan Subhuram, 2004). Perbedaan teknologi fitoremediasi tersebut disebabkan adanya perbedaan mekanisme aksi untuk meremediasi tanah, endapan, atau air yang tercemar logam (Padmavathiamma dan Li, 2007).  Menurut Pivetz (2001), phytoremediation terdiri dari beberapa metode melalui beberapa mekanisme seperti degradasi kontaminan, penghilangan melalui akumulasi atau immobolisasi dengan rincian sebagai berikut (Tabel 1) :

1.    Akumulasi (untuk penahanan atau pembuangan kontaninasi organik dan anorganik/logam).
-    Phytoextraction (phytoaccumulation) yaitu proses tumbuhan menarik zat kontaminan dari tanah atau media tercemar sehingga zat-zat kontaminan tersebut berakumulasi di dalam bagian-bagian tanaman.
-    Rhyzofiltration adalah peoses absorbsi atau pengendapan zat kontaminan oleh akar untuk menempel pada akar.

2.     Penghilangan atau dissipation (untuk menghilangkan kontaminasi organic dan/atau anorganik)
-    Phytovolatization yaitu proses menarik dan transpirasi zat kontaminan oleh tumbuhan dalam bentuk larutan terurai sebagai bahah yang tidak berbahaya lagi yang selanjutnya diuapkan (divolatisasi) ke atmosfer.

3.     Immobilisasi (untuk pengikatan kontaminasi organic dan/atau anorganik).
-    Phytostabilization yaitu penempelan zat-zat kontaminan tertentu pada akar tanaman yang tidak mungkin diserap ke dalam batang tanaman tersebut. Zat-zat kontaminan tersebut menempet kuat (stabil) pada akar sehingga tidak terbawa oleh aliran air.

4.        Degradasi (untuk penguraian kontaminasi organik)
-    Phytodegradation (phytotransformation) yaitu proses yang dilakukan tanaman untuk menguraikan zat kontaminan yang mempunytai rantai molekul kompleks menjadi bahan yang tidak berbahaya dengan susunan molekul yang lebih sederhana dan dapat berguna untuk pertumbuhan tanaman itu sendiri. Proses ini bisa berlangsung pada daun, batang, akar atau di sekitar akar dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh tumbuhan tersebut.
-    Rhizodegradation disebut juga enhanced rhizosphere biodegradation atau planted assisted bioremediation degradation, yaitu penguraian zat-zat kontaminan oleh aktivitas mikroba yang berada di sekitar akar tumbuhan. Misalnya fungi dan bakteri.

Tabel 1. Perbedaan mekanisme fitoremediasi (Ghosh dan Singh, 2005; Erakhrumen, 2007)
No.
Proses
Mekanisme
Kontaminan
1.
Phytoextraction
Hyper accumulation
Inorganik
2.
Phytovolatization
Volatisation by leaves
Organik, inorganik
3.
Rhizofiltration
Rhizosphere accumulation
Organik, inorganik
4.
Phytostabilization
Complexation
Inorganik
5.
Phytodegradation
Degradation in plant
Organik
6.
Rhyzodegradation
Rhizosphere biodegradation
Organik

Masalah-masalah ekologi perlu untuk dievaluasi ketika mengembangkan suatu strategi fitoremediasi untuk tapak-tapak yang tercemar.  Satu hal yang harus dipertimbangkan bagaimana upaya-upaya fitoremediasi berpengaruh terhadap keterkaitan ekologi lokal (Padmavathiamma dan Li, 2007). 


II.    PHYTOEXTRACTION

Phytoextraction juga disebut phytoaccumulation yang merujuk pada  pengambilan atau translokasi kontaminan logam dalam tanah oleh akar tanaman ke bagian atas komponen-komponen tanaman (Gambar 1).   Tingkat konsentrasi logam berat yang berpengaruh terhadap tanaman dapat dilihat pada Tabel 2. Tanaman yang mampu mengabsorpsi sejumlah besar logam dibandingkan tanaman lainnya disebut sebagai hyper accumulator. Akumulator logam secara alami merupakan tanaman yang dapat mengakumulasi dan toleran terhadap konsentrasi logam berat, tanpa memperlihatkan gejala keracunan.  Hyperaccumulator juga harus mampu mengakumulasi logam yang melebihi ambang batas nilai konsentrasi logam pada bagian atas tanaman, yaitu 1% (Zn, Mn), 0,1% (Ni,Co, Cr, Cu, Pb and Al), 0.01% (Cd dan Se) atau  0.001% (Hg) pada kondisi berat kering tanaman.

Tabel 2. Pengaruh tingkat konsentrasi logam berat pada tanaman

Status
Konsentrasi logam (mg/kg)
Cd
Cu
Pb
Zn
Deficient
-
<1-5
-
-
Normal
0,05-2
3-30
0,5-10
10-150
Phytotoxic
5-700
20-100
30-300
>100



Gambar 1. Skema mekanisme phytoextraction
(Sumber : Padmavathiamma dan Li, 2007)

Waktu yang diperlukan untuk remediasi tergantung pada tipe dan luasnya kontaminan logam, lamanya musim pertumbuhan, dan efisiensi penghilangan logam oleh tanaman, tetapi secara normalnya berlangsung antara 1 hingga 20 tahun.  Teknik phytoextraction cocok untuk meremediasi areal yang luas pada lahan-lahan yang terkontaminasi dengan kontaminasi rendah hingga sedang (Blaylock dan Huang, 2000 dalam Padmavathiamma dan Li, 2007).   
Keberhasilan phytoextraction tergantung pada beberapa karakteristik tanaman, dua karakteristik penting yang menjadikan tanaman mampu mengakumulasi biomasa dalam jumlah besar secara cepat dan mempunyai kemampuan mengakumulasi logam penting dalam jumlah besar dalam tanaman bagian atas.  Efektivitas phytoextraction membutuhkan kemampuan tanaman secara genetik dan praktek budidaya tanaman yang optimal, meliputi :
1) praktek manajemen tanah untuk memperbaiki efisiensi phytoextration,
2) praktek manajemen tanaman untuk mengembagkan sitem tanaman komersial.

Phytoextraction lebih aplikatif hanya pada tapak-tapak yang terkontaminasi logam rendah hingga sedang, sebab pertumbuhan tanaman tidak dapat tumbuh pada tanah yang tercemar berat.  Lahan harus bebas hambatan/gangguan seperti pohon-pohon yang tumbang, mempunyai topografi cocok untuk praktek budidaya secara umum, dan dapat mempergunakan peralatan pertanian.  Tanaman terseleksi sebaiknya mudah untuk dikembangkan dan dipelihara, tumbuh cepat, mempunyai kerapatan tajuk tinggi dan sistem perakaran baik, dan toleran terhadap kontaminan (Padmavathiamma dan Li, 2007). 
Phytoextraction melibatkan tanaman secara berulang pada tanah terkontaminasi hingga konsentrasi logam menurun pada taraf yang dapat diterima (tidak membahayakan).  Setiap tanaman dibuang dari tapak tersebut. Jika phytoextraction dapat dikombinasikan dengan upaya meningkatkan biomasa dan teknik ini digunakan untuk kegunaan komersil sebagai sumber energi, kemudian dapat dikembangkan menjadi kegiatan yang menguntungkan. 
Phytomining melibatkan peningkatan nilai dengan mengekstraksi metal yang terlarut yang dihasilkan oleh abu biomasa tanaman, yang dikenal dengan bio-ore.  Dengan beberapa logam seperti Ni, Zn, Cu, dan lainnya, nilai logam yang direklamasi dapat memberikan insentif tambahan dalam kegiatan phytoremediasi (Thangavel dan Subhuram, 2004).

III.   PHYTOVOLATIZATION
Beberapa kontaminan logam seperti As, Hg, dan Se dapat berada dalam bentuk gas.  Dewasa ini, peneliti menemukan tanaman alami atau tanaman rekayasa genetik yang mampu mengabsorpsi bentuk unsur-unsur logam dari tanah, secara biologi mengubah menjadi gas dalam tanaman, dan melepaskannya ke atmosfir.  Proses ini disebut phytovolatization dengan mekanisme sebagaimana disajikan pada Gambar 2.
Tidak seperti teknik remediasi lainnya, suatu kontaminan dihilangkan melalui volatisasi, sehingga ada kemungkinan kehilangan kontrol adanya perpindahan kointaminan ke tempat lainnya.  Beberapa ahli menyatakan bahwa penambahan konsentrasi unsur-unsur tertentu melalui phytovolatization tidak akan berpengaruh nyata pada pool atmosfir, sebab kontaminan akan lebih cepat terdegragasi secara alai seperti photodegradation (Azaizeh et al., 1997).  Namun, phytovolatization sebaiknya dihindari untuk tapak-tapak yang dekat pusat pemukiman atau penduduk dan pada tempat-tempat dengan kondisi meteorologi unik yang mempromosikan deposisi senyawa volatile secara cepat.  Dengan demikian, konsekuensi pelepasan logam ke atmosfir memerlukan pertimbangan secara hati-hati sebelum metode ini diadopsi sebagai perangkat remediasi.



Gambar 2. Skema mekanisme phytovolatization


IV.  RHIZOFILTRATION

Rhizofiltration (phytofiltration) merupakan penggunaan akar tanaman atau bibit (blastofiltration) untuk menyerap polutan, utamanya logam, dari air dan aliran sampah berair (Prasad dan Freitas, 2003).  Mekanisme rhyzofiltration melibatkan biosorption yang meliputi chemisortion, complexation, pertukaran ion, penyimpanan micro, kondensasi hydroksida di atas biosurface dan adsorpsi permukaan. Rhizofiltration menggunakan tanaman terrestrial (daratan) daripada tanaman air sebab memiliki sistem perakaran yang fibrous besar yang ditutupi akar rambut dengan areal permukaan yang luas.  
Tanaman yang digunakan untuk rhyzofiltration memiliki persyaratan sebagai berikut (Dushenkov dan Kapulnik, 2000) :
1)    sebaiknya mampu mengakumulasi dan toleran terhadap logam target,
2)    mudah dibudidayakan atau ditangani,
3)    pemeliharaannya murah,
4)    mengeluarkan sampah sekunder yang minimum. 
5)    mampu menghasilkan jumlah biomasa atau areal permukaan akar yang besar.


V.    PHYTOSTABILIZATION

Phytostabilization menggunakan jenis-jenis tanaman untuk mengikat kontaminan dalam tanah, melalui absorpsi dan akumulasi oleh akar,  absorpsi, absorpsi di sekitar akar atau pengendapan dalam zona akar dan stabilisasi fisik tanah. Skema mekanisme phytostabilization diilustrasikan pada Gambar 3. Proses ini mengurangi mobilisasi kontaminan dan mencegah perpindahannya ke air tanah atau udara (Padmavathiamma dan Li, 2007).  Phytostabilization dapat dibangun dengan mengembangkan tanaman penutup tanah (vegetative cover) pada suatu tapak dimana vegetasi alami sangat kurang yang disebabkan oleh tingginya konsentrasi logam (Tordoff et al. 2000).


Gambar 3. Skema mekanisme phytostabilization

Jenis-jenis toleran logam dapat digunakan untuk memperbaiki tanaman untuk tapak-tapak tercemar sehingga mampu menurunkan potensi migrasi kontaminan melalui angin, perpindahan pada tanah-tanah permukaan yang terekspose, pencucian tanah, dan kontaminasi air tanah.  Phytostabilization tidak bertujuan untuk kontaminasi logam dari suatu tapak, tetapi lebih pada untuk menstabilkan kontaminan tersebut dengan mengakumulasikannya dalam akar atau menimbunnya pada daerah atau zona perakaran, mengurangi resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan (Padmavathiamma dan Li, 2007). 
Phytostabilization sangat efektif untuk tanah bertekstur baik dengan kandungan bahan organik tinggi, namun teknik ini juga cocok untuk tipe-tipe tapak dengan kisaran kondisi yang luas yang tercemar oleh kontaminasi permukaan (Cunningham et al., 1997).  Beberapa tapak yang terkontaminasi berat tidak sesuai untuk phytostabilization karena tanaman sulit untuk tumbuh. Phytostabilization mempunyai keuntungan lebih dalam praktek perbaikan tanah karena  lebih mudah diterapkan dan sedikit lebih murah.  Pendekatan-pendekatan dalam revegetasi diringkas pada Tabel 3.

Tabel 3. Pendekatan untuk revegetasi

Karakteristik tanah
Teknik reklamasi
Masalah yang dihadapi
Toksisitas rendah-total kadar logam <0,1%
Ameliorasi dan direct seeding dengan rumput-rumputan dan legume. Benih atau bahan tanaman secara ekologi beradaptasi secara alami.  Penerapan kapur, bahan organik dan pupuk masih diperlukan.
Program pemeliharaan jangka menengah dan panjang. Keahlian diperlukan pada karakteristik tumbuhan setempat.
Toksisitas tinggi-total kadar logam
Ameliorasi dan direct seeding dengan jenis toleran logam atau garam. Penerapan kapur, bahan organik dan pupuk masih diperlukan. Ameliorasi dengan 10-50 cm  sampah logam tidak berbahaya dan materi organik dan seeding dengan rumput dan legum. 
Komitmen untuk pengelolaan secara regular. Keahlian diperlukan untuk seleksi ekotipe toleran.
Toksisitas ekstrim
Isolasi; perlakuan permukaan dengan 30-100 cm bahan pembatas tidak berbahaya dan penimbunan permukaan dengan 10-30 cm media perakaran.  Penerapan kapur dan pupuk jika diperlukan.
Biaya tinggi dan pembatasan ketersediaan bahan.


Karakteristik tanaman yang cocok untuk phytostabilization di antaranya adalah:
1)    toleran terhadap kontaminan dengan konsentrasi tinggi,
2)    menghasilkan biomasa perakaran tinggi untuk menjerat kontaminan melalui pengambilan, penimbunan, atau pengurangan, dan penyimpanan kontaminan dalam akar,.
Stabilisasi juga melibatkan penambahan tanah untuk mempromosikan formulasi komplek logam yang tidak dapat terurai yang dapat membatasi ketersediaan biologi tanah dan pengambilan hara tanaman.  Penambahan bahan organik sebagai pelembab seperti kompos bersamaan dengan kapur dapat meningkatkan pH tanah, teknik ini merupakan praktek yang umum dilakukan untuk menjerat logam berat dan memperbaiki kondisi tanah, dan untuk memfasilitasi revegetasi tanah-tanah terkontaminasi.

VI.  PHYTODEGRADATION

Phytodegradation merupakan pengambilan, metabolisme, dan degradasi kontaminan pada tanaman, atau degradasi kontaminan dalam tanah, endapan, kotoran/lumpur, air tanah, atau air permukaan dengan enzim yang diproduksi dan dilepaskan oleh tanaman (Pivetz, 2001)Phytodegradation tidak tergantung terhadap mikroorganisme yang berasosiasi dengan perakaran. Kontaminan yang menjadi tujuan phytodegradation meliputi senyawa organik seperti munition, chlorinated solvent, herbisida, dan insektisida, dan nutrisi organik.  Phytodegradation juga dikenal dengan phytotransformation dan merupakan suatu proses destruksi kontaminan.
Enzim-enzim yang diproduksi tumbuhan untuk memetabolisme kontaminan kemungkinan terletak di dalam rhizosphere, hal tersebut terlihat adanya bekas-bekas pada saat transformasi kontaminan.  Sedangkan pembentukan enzim-enzim telah ditemukan pada sedimen-sedimen dan tanah.  Enzim-enzim tersebut mencakup dehalogenase, nitroreductase, peroxidase, laccase, and nitrilase (Schnoor et al., 1995), mereka berasosiasi secara nyata dengan proses tranformasi chlorinated compounds, munitions, phenols, the oxidative step in munitions, dan herbisida.


VII.   RHIZODEGRADATION

Rhizodegradation adalah suatu proses peningkatan peran biodegradation di dalam tanah secara alami dengan menggunakan pengaruh akar-akar tanaman, dan secara ideal menghancurkan atau mendetoksifikasi kontaminan-kontaminan an-organik.  Istilah rhizodegradation ini sering juga disebut dengan istilah enhanced rhizosphere biodegradation.
Kontaminan-kontaminan organic di dalam tanah seringkali diuraikan ,menjadi produk-produk turunan atau secara lengkap dimineralisasi menjadi produk-produk an-organik seperti karbondioksida dan air melalui bantuan mikroorganisme.  Kehadiran akar-akar tanaman  akan meningkatkan ukuran dan variasi populasi mikrobia di dalam tanah mengelilingi akar (rhizosphere) atau di dalam mikoriza.
Hasil penelitian yang dilakukan Jordahl et al (1997) menunjukkan secara signifikan  di dalam plot menggunakan tanah rhizosfer pada tanaman hybrid poplar (Populus deltoides × nigra DN-34, Imperial Carolina) menghasilkan lebih tinggi populasi heterotrop, denitrifier, pseudomonas, BTX (benzene, toluene, xylene) degraders dan atrazine degrader, daripada tanah-tanah non rizosfir.
Peningkatan populasi mikrobia pada tanah dipicu oleh produksi eksudat tanaman berupa produk campuran yang terdapat pada akar.  Eksudat tersebut mengandung gula, asam amino, asam organic, asam pati, sterol, factor-faktor pertumbuhan, nukleotida, enzim flavanones, dan campuran lainnya (Shimp et al, 1993).  Lebih lanjut dijelaskan bahwa peningkatan populasi mikroba tersebut menghasilkan peningkatan pada biodegradation di dalam tanah, dan pada sisi lain degradasi eksudat dapat merangsang terjadinya kometabolisme kontaminan di rhizosfir.
Rhizodegradation ini secara umum terjadi di dalam tanah, namun demikian aktivitas mikroba di dalam zona perakaran pada tanaman air juga secara potensial dapat memicu terjadinya rhizodegradation.   Stimulasi mikroba tanah oleh eksudat akar juga dapat menghasilkan kondisi geoshemical di dalam tanah, seperti pH yang kemungkinan dihasilkan dalam perubahan dalam transport kontaminan an organic.  Baik tanaman maupun akar tanaman juga dapat mempengaruhi kandungan air, pengangkutan nutrisi, aerasi, struktur, suhu, pH atau parameter lain yang sering lebih menghasilkan lingkungan yang cocok untuk mikroorganisme tanah dengan mengabaikan produksi eksudat, hal ini belum terdata secara pasti dalam penelitan fitoremediasi.
Beberapa contoh hasil studi skala laboratorium tentang rhizodegration disajikan sebagai berikut :
1)    One laboratory study did raise the possibility that transpiration due to alfalfa plants drew methane from a saturated methanogenic zone up into the vadose zone where the methane was used by methanotrophs that cometabolically degraded trichloroethylene (TCE) (Narayanan et al., 1995).
2)    Lin and Mendelssohn (1998) indicate that the salt marsh grasses Spartina alterniflora and S. patens could potentially increase subsurface aerobic biodegradation of spilled oil by transporting oxygen to their roots.

Secara umum dapat disimpulkan rhizodegradation berperan dalam pembinasaan kontaminan pada area tercemar, mineralisasi kontaminan organic menjadi bahan an-organik dan translokasi bahan-bahan campuran ke tumbuhan atau ke atmosfir yang hamper serupa dengan teknologi fitoremediasi lainnya. Factor yang paling berpengaruh adalah tingkat penetrasi akar ke dalam tanah untuk melakukan kontak dengan kontaminan.  Tanah-tanah yang tidak subur atau area dengan konsentrasi kontaminan sangat tinggi dapat menurunkan tingkat penetrasi akar ke dalam tanah.  Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan pemahaman yang cukup tentang tingkat kedalaman akar (root zone) masing-masing jenis tanaman.   Factor-faktor tanah yang membatasi penetrasi antara lain kelembaban dan tingkat kekerasan atau kaliatan tanah (Olson and Fletcher, 2000). 
Area-area yang banyak mengandung kontaminan organic merupakan objek rhizodegradation, seperti petroleum hydrocarbons, PAHs, pesticides, chlorinated solvents, PCP,  polychlorinated biphenyls (PCBs), dan surfactants. Beberapa bukti hasil penelitian dan investigasi pada wilayah terkontaminasi sebagai berikut :
1)     Higher populations of benzene-, toluene-, and o-xylene-degrading bacteria were found in soil from the rhizosphere of poplar trees than in non-rhizosphere soil, although it was not clear that the  populations were truly statistically different. Root exudates contained readily biodegradable organic macromolecules (Jordahl et al., 1997).
2)     Schwab and Banks (1999) menyatakan bahawa total petroleum hydrocarbon (TPH) telah hilang pada beberapa lokasi yang terkontaminasi crude oil, diesel fuel, atau petroleum refinery wastes, pada initial petroleum hydrocarbon contents of 1,700 to 16,000 mg/kg TPH. Pertumbuhan tanaman bervariasi menurut spesies, beberapa spesies memiliki kemampuan lebih baik dari spesies lainnya, sebagai contoh di area crude oil yang terkontaminasi di Mexico, diketahui jenis tanaman tahunan rye-soybean dan St. Augustine grass-cowpea memiliki kemampuan menghilangkan kontaminan paling tinggi dibandingkan jenis-jenis lainnya di wilayah lainnya.  Secara umum Schwab and Banks (1999) melaporkan bahwa secara kualitatif plot bervegetasi memiliki kemampuan menghilangkan TPH lebih tinggi daripada area yang tidak bervegetasi.
3)     Untuk PAHs juga telah dibuktikan dengan berbagai penggunaan tanaman rumput memiliki efektifitas lebih tinggi dalam menurunkan kontaminan dibandingkan dengan area yang tidak ditanami (Aprill dan Sims, 1990; Ferro et al., 1999; Reilley et al., 1996).
4)    Beberapa hasil percobaan dalam skala laboratorium Pesticide biodegradation dengan menggunakan tanaman dapat mendegradasi pestisida.  Kochia sp. mampu meningkatkan laju degradasi herbisida ditandai dengan meningkatnya mineralisasi dalam zona perakaran di dalam tanah (Anderson et al 1994); contoh lain yang telah berhasil sebelumnya adalah penggunaan tanaman “bush bean” meningkatkan mineralisasi organopospat insecticides parathion dan diazinon (Hsu and Bartha, 1979); hasil studi di rumah kaca mengindikasikan penggunaan tanaman padi meningkatkan jumlah Gram-negative bacteria yang dapat mempercepat transformasi propanil melalui eksudat pada akar (Hoagland et al.,1994); dan kesimpulan umum yang dikemukakan oleh Boyle dan Shann (1995) bahwa herbicide biodegradation yang dikumpulkan dari tanah rhizosfir memiliki kandungan lebih tinggi daripada non-rhizosfir.
5)    Chlorinated solvents mungkin merupakan subjek untuk rhizodegradation. In a growth chamber study, TCE mineralization was increased in soil planted with a legume (Lespedeza cuneata (Dumont)), Loblolly pine (Pinus taeda (L.)), and soybean (Glycine max (L.) Merr., cv. Davis), compared to non-vegetated soil (Anderson and Walton,1995). In another laboratory study, the presence of alfalfa possibly contributed to the dissipation 1,1,1-trichloroethane (TCA) in ground water, through the effect of root exudates on soil bacteria (Narayanan et al., 1995).
6)    Beberapa kontaminan juga merupakan calon objek rhizodegradation berdasarkan berbagai indikasi oleh  studi-studi yang telah dilakukan di greenhouse, laboratorium, dan growth chamber studies. Beberapa contoh antara lain :
-        Mineralization rates of 100 mg/kg PCP were greater in soil planted with Hycrest crested wheatgrass than in unplanted controls (Ferro et al., 1994).
-        Proso millet (Panicum miliaceum L.) seeds treated with a PCP-degrading bacterium germinated and grew well in soil containing 175 mg/L PCP, compared to untreated seeds (Pfender, 1996).
-        Compounds (such as flavonoids and coumarins) found in leachate from roots of specific plants stimulated the growth of PCB-degrading bacteria (Donnelly et al., 1994; Gilbert and Crowley, 1997).
-        Spearmint (Mentha spicata) extracts contained a compound that induced cometabolism of a PCB (Gilbert and Crowley, 1997).
-        Red mulberry (Morus rubra L.), crabapple (Malus fusca (Raf.) Schneid), and osage orange (Maclura pomifera (Raf.) Schneid) produced exudates with relatively high levels of phenolic compounds, at concentrations capable of supporting growth of PCB-degrading bacteria (Fletcher and Hegde, 1995).
-        A variety of ectomycorrhizal fungi, which grow symbiotically with the roots of a host plant, metabolized various congenors of PCBs (Donnelly and Fletcher, 1995).
-        The surfactants linear alkylbenzene sulfonate (LAS) and linear alcohol ethoxylate (LAE) at 1 mg/L had greater mineralization rates in the presence of cattail (Typha latifolia) root microorganisms than in non-rhizosphere sediments (Federle and Schwab, 1989).

VIII.    PENUTUP

Dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk menurunkan, memindahkan atau menghilangkan kontaminan pada area-area tercemar yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan, penggunaan pestisida dan lain-lain, maka fitoremediasi yang didasarkan pada mekanisme fisiologis tanaman merupakan pilihan strategis bila dibandingkan pendekatan kimiawi.
Kajian-kajian penelitian terkait dengan penggunaan jenis-jenis tanaman di Indonesia untuk fitoremediasi masih perlu dilakukan, hal ini mengingat pada area-area terkontaminasi memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, berbagai pilihan fitoremediasi perlu disesuaikan dengan jenis dan tingkat pencemaran yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Azaizeh, H. A., Gowthaman, S., and Terry, N. 1997. Microbial selenium volatilization in rhizosphere and bulk soils from a constructed wetland. Journal of Environmental Quality, 26(3):666672.
Cunningham, S. D., Shann, J. R., Crowley, D. E., and Anderson, T. A. 1997. Phytoremediation of contaminated water and soil. In E. L. Kruger, T. A. Anderson, & J. R. Coats (Eds.), Phytoremediation of soil and water contaminants. ACS Symposium series 664 (pp. 219). Washington, DC: American Chemical Society.
Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan. 2003. Fitoremediasi: upaya mengolah air limbah dengan media tanaman. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta.
Dushenkov, S., and Kapulnik, Y. 2000. Phytofilitration of metals. In I. Raskin & B. D. Ensley (Eds.), Phytoremediation of toxic metals – Using plants to clean-up the environment (pp. 89106). New York: Wiley.
Erakhrumen, A. A. 2007. Phytoremediation: an environmentally sound technology for pollution prevention, control and remediation in developing countries. Educational Research and Review Vol. 2 (7): 151-156.
Ghosh, M., and Singh, S. P. 2005. A review on phytoremediation of heavy metals and utilization of its by-products. Applied Ecology and Environmental Research, 3(1):118.
Kachout, S.S., Leclerc, J.C.,  Mansoura,  A.B., Rejeb, M.N., and Ouerghi, Z. 2009.  Effects of Heavy Metals on Growth and Bioaccumulation of the Annual Halophytes Atriplex Hortensis and A. Rosea. Journal of Applied Sciences Research 5(7): 746-756.
Padmavathiamma, P.K. and  Li, L.Y. 2007. Phytoremediation Technology: Hyper-accumulation Metals in Plants. Water Air Soil Pollut 184:105126.
Pivetz, B.E. 2001. Phytoremediation of Contaminated Soil and Ground Water at Hazardous Waste Sites. EPA/540/S-01/500. National Risk Management Research Laboratory Subsurface Protection and Remediation Division.  Oklahoma.
Prasad, M. N. V, and Freitas, H. 2003. Metal hyperaccumulation in plants Biodiversity prospecting for phytoremediation technology. Electronic Journal of Biotechnology, 6, 275321.
Thangavel, P., and Subhuram, C. V. 2004. Phytoextraction Role of hyper accumulators in metal contaminated soils. Proceedings of the Indian National Science Academy. Part B, 70(1):109130.
Tordoff, G. M., Baker, A. J. M., and Willis, A. J. 2000. Current approaches to the revegetation and reclamation of metalliferous mine wastes. Chemosphere, 41(12):219228.





Lampiran 1. Tinjauan beberapa proses fitoremediasi

Mekanisme
Tujuan proses
Media
Kontaminan
Tanaman
Status
Phytoextraction
Hyper-accumulator
Tanah, endapan, lumpur
Inorganic:logam: Ag, Cd, Co, Cr, Cu, Hg, Mn, Mo, Ni, Pb, Zn, radionuclides:  Sr, 137Cs, 230Pb, 238,234U
Alyssum, bunga matahari, poplar hybrid
Laboratorium, pilot dan penerapan lapangan
Rhyzofiltration
Akumulasi di perakaran,
Contaminant extraction and
capture
Air tanah, air permukaan
Organik/Inorganik: logam,
radionuclides
Bunga matahari, bunga bakung
Laboratorium, skala pilot
Phytostabilization
Complexation, Contaminant
destruction
Tanah, endapan, lumpur
Inorganik: As, Cd, Cr, Cu, Hs,
Pb, Zn
Poplar hybrid, rumput-rumputan
Penerapan lapangan
Rhizodegradation
Contaminant destruction
Tanah, endapan, lumpur, air tanah
Senyawa organik (TPH,
PAHs, pesticides, chlorinated
solvents, PCBs)
Red mulberry, rumput-rumputan,
Poplar hybrid, cattail, padi
Penerapan lapangan
Phytodegradation
Contaminant destruction
Tanah, endapan, lumpur, air tanah, air permukaan
Organic compounds,
chlorinated solvents,phenols,
herbicides,munitions
Ganggang, stonewort, hybrid
Poplar hybrid, black willow, bald
cypress
Penerapan lapangan
Phytovolatilization
Volatilisation by leaves,
Contaminants extraction from
media and release into air
Air tanah,  Tanah, endapan, lumpur
Organik/Inorganik:
Chlorinated solvents, beberapa inorganik (Se, Hg, As)
Poplar, alfalfa, black locust,
Indian mustard
Laboratorium dan penerapan lapangan
Sumber : Ghosh and Singh (2005).

1 komentar:

just upi zee mengatakan...

pak saya ingin bertanya mengenai pemilihan agen fitoremediasi. apakah rumput laut dapat dijadikan sebagai agen fitoremediasi. untuk polutan logam berat seperti merkuri apakah rumput laut dapat dijadikan sebagai agen fitoremediasi?