secangkir kopi panas

selamat datang dan bergabung dengan blog saya, semoga memberi manfaat keilmuan dan meningkatkan ukhuwah islamiah

Senin, 24 Januari 2011

ARSITEKTUR POHON DAN ARSITEKTUR AKAR : HUBUNGANNYA DENGAN PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU


Oleh :
ICHSAN SUWANDHI
Mahasiswa SPS IPB Prog. Doktor; Dosen Kehutanan ITB Kampus Jatinangor

RINGKASAN
Arsitektur pohon dan arsitektur akar sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan.  Arsitektur pohon dan akar merupakan produk dari organogenesis dan morfogenesis.  Model arsitektur merupakan bentuk ekspresi secara morfologi dari genetic blueprint suatu pohon dengan pola pertumbuhan kontinyu atau ritmik.  Model arsitektur suatu pohon memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan pohon dan kualitas kayu, hal ini dapat dilihat dari kebutuhan tertentu dengan faktor-faktor penentu pertumbuhan diantaranya cahaya, air dan unsure hara.  Pohon-pohon dengan pola percabangan kontinyu cenderung menghasilkan fenotip batang yang silindris, sedangkan pola percabangan ritmik lebih banyak membentuk tajuk yang mengerucut.  Dengan demikian model arsitektur pohon dan akar akan berpengaruh terhadap kualitas kayu yang dihasilkan.

PENGERTIAN DAN MEKANISME PERTUMBUHAN POHON
a.     Pertumbuhan dan Perkembangan Tumbuhan
Pertumbuhan merupakan cirri yang mendasar dari suatu kahidupan organism.  Pertumbuhan sering diartikan sebagai proses perubahan ukuran sel menjadi lebih besar, tetapi perlu diperhatikan bahwa tidak semua kasus pembesaran ukuran sel karena proses pertumbuhan, sebagai contoh ukuran sel tumbuhan menjadi membesar pada saat melakukan proses osmosis, kemudian kembali mengecil pada saat proses ini selesai.  Disisi yang lain juga terjadi bahwa pembesaran ukuran sel tidak terjadi pada saat pembelahan awal zigot dan embrio, sehingga perkembangan terjadi tanpa diikuti oleh pembesaran ukuran sel
Istilah pertumbuhan dan perkembangan biasanya merupakan satu kesatuan proses yang terjadi pada pertumbuhan organisme.  Berawal dari satu individu sel pertumbuhan organism multiseluler dapat dibagi menjadi 3 fase sebagai berikut :
-      Pembelahan sel (hyperplasia), yaitu pertambahan jumlah sel akibat pembelahan sel mitosis dan pembelahan sel
-      Ekspansi sel (hypertrophy), yaitu peningkatan ukuran sel sebagai hasil pengambilan air atau sintesis dalam protoplasma
-      Diferensiasi sel dan spesialisasi sel
Lebih lanjut pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan dapat dijelaskan bahwa sejak zigot hingga mati mengalami proses perkembangan yang teratur dan akan membesarkan tumbuhan tersebut, meningkatkan kerumitannya dan mengawali perubahan kualitatif dan kuantitatif selama pertumbuhannya.  Organisasi fungsi mulai terbentuk ketika dimulai proses pembentukan jaringan, organ (organogenesis) dan morfologi utuh tumbuhan (morfogenesis).  Sel merupakan satuan dasar kehidupan yg memiliki inti sel dan terbungkus oleh membran dan dilengkapi dengan khloroplast, mitokondria, vakuola, dan lain lain yang terbungkus oleh dinding sel.  Sel memiliki molekul makro khusus seperti pati, selulosa dan lignin dengan struktur berulang (C-H-O).  Sel memiliki molekul makro protein dan asam nukleat (DNA dan RNA) . Molekul tersebut terpelihara dan mengganda ketika sel-sel tersebut diperbanyak (Supriyanto, komunikasi pribadi, 2010).
Pada dasarnya seluruh proses yang terjadi pada pertumbuhan merupakan proses biokimiawi, hal yang terpenting dalam proses pertumbuhan tumbuhan adalah sisntesis protein yang berarti pesan-pesan dari DNA diekspresikan dalam sintesis enzim-enzim oleh sel.  Perubahan-perubahan pada tingkat sel akan berimplikasi pada perubahan struktur dan bentuk keseluruhan pada organism, sehingga disebut juga dengan proses morfogenesis.
Tumbuhan selama mampu bertahan dalam hidupnya akan selalu melakukan pertumbuhan karena tumbuhan memiliki jaringan embrionik yang selalu hidup, jaringan ini disebut sebagai jaringan meristem yang memiliki sel-sel meristematik yang terus membelah menghasilkan sel-sel baru.
Sel tumbuhan memiliki plastid (kloroplas) dan vakuola sentral, dinding sel terdiri atas 3 lapisan, yaitu lamella tengah, dinding primer dan dinding sekunder.  Sel tumbuhan secara lebih ringkas digambarkan pada Gambar 1 sebagai berikut (bahan kuliah biologi ITB, 2010) :


Gambar 1
Struktur Sel Tumbuhan


b.  Pola Pertumbuhan Primer dan Pertumbuhan Sekunder pada Tumbuhan Berkayu
Pola pertumbuhan tumbuhan bergantung pada letak meristem, meristem apical berada pada ujung akar dan pucuk tunas, menghasilkan sel-sel bagi tumbuhan untuk tumbuh memanjang searah tumbuhnya batang.  Pemanjangan ini disebut pertumbuhan primer, memungkinkan akar membuat jalinan di dalam tanah dan tunas untuk meningkatkan pemaparannya terhadap cahaya matahari dan karbon dioksida.  Pertumbuhan primer menghasilkan tubuh primer tumbuhan yang terdiri atas 3 sistem jaringan, yaitu jaringan dermal, jaringan pembuluh dan jaringan dasar.  Mekanisme pertumbuhan primer oleh meristem apical pada pucuk tunas dan akar disajikan pada Gambar 2 dan 3.




Meristem apikal
 
Gambar 2. Meristem apical pada pucuk tunas dan perkembangannya

Selain pertumbuhan primer, pada tumbuhan berkayu terdapat juga pertumbuhan sekunder, yaitu adanya aktivitas penebalan secara progresif pada akar dan tunas yang terbentuk seblumnya oleh pertumbuhan primer.  Pertumbuhan sekunder merupakan produk meristem lateral, cambium pembuluh dan cambium gabus, berupa silinder-silinder yang terbentuk dari sel-sel yang membelah ke samping pada akar dan tunas batang.  Cambium gabus berperan menggantikan epidermis dengan jaringan dermis sekunder, seperti pengerasan dan penebalan kulit.  Sedangkan cambium pembuluh menambahkan lapisan jaringan pembuluh seperti xylem sekunder yang terakumulasi selama bertahun-tahun.

Gambar 3. Meristem apical pada akar (Sumber : Bahan Kuliah Biologi ITB, 2010)
Pada tumbuhan berkayu pertumbuhan primer dan sekunder terjadi pada waktu yang bersamaan akan tetapi terjadi pada lokasi yang berbeda.  Pertumbuhan primer dibatasi pada bagian termuda ujung akar dan tunas tempat ditemukannya meristem apical, sedangkan meristem lateral berkembang di daerah yang sedikit lebih tua pada akar atau tunas yang agak jauh dari ujung misalnya pangkal cabang pohon, pangkal batang dan pangkal akar.  Pada tempat-tempat tersebut terjadi penambahan diameter organ.  Mekanisme pertumbuhan primer dan sekunder pada tunas tumbuhan berkayu secara lebih ringkas diilustrasikan sebagaimana Gambar 4.
c.  Pertumbuhan pada Embrio
Pertumbuhan dalam embrio terjadi melalui pembelahan sel, pemanjangan dan diferensiasi.  Jumlah protein, selulosa, asam nukleat dan sebagainya terus meningkat di daerah pertumbuhan, sementara berat kering cadangan makanan menurun.  Cirri pertama yang dapat dilihat dari pertumbuhan adalah munculnya akar embrio disebut radikula yang bersifat geotropism positif dan akan tumbuh ke bawah dan menjadi jangkar embrio.  Berikutnya batang embrio yang disebut plumule muncul dan bersifat geotropisme negative (bersifat fototropisme positif jika di atas tanah) aka tumbuh ke atas.

Xylem sekunder (2 th)

Kulit (epidermis)

Cambium pembuluh

Gambar 4.
System pertumbuhan sekunder pada tumbuhan berkayu (sumber : Biologi ITB, 2010)
Dalam kaitannya dengan perkecambahan pada tumbuhan, terdapat dua tipe perkecambahan mengacu padaada tidaknya kotiledon yang tumbuh di atas tanah atau tetap di dalam tanah.  Pada kotiledon, jika pada bagian aksis batang atau internodus, hanya hipokotil (kotiledon bawah) yang memanjang, kemudian kotiledon diangkat ke atas tanah.  Perkecambahan semacam ini disebut “perkecambahan epigeal”.  Jika internodus di bagian atas kotiledon (epikotil yang memanjang) kemudian kotiledon tetap tinggal di dalam tanah, perkecambahan semacam ini disebut “perkecambahan hypogeal”.  System perkecambahan epigeal dan hypogeal disajikan pada Gambar 5 (Green et al, 1986).
       
(a)                                                       (b)
Gambar 5. System perkecambahan tumbuhan epigeal (a) dan hypogeal (b)

d.     Faktor-faktor  yang mempengaruhi pertumbuhan pohon

Suhardi (2005) menjelaskan bahwa pertumbuhan pohon dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor genetic dan lingkungan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6.  Pengaruh Faktor Genetik dan Lingkungan dalam Pertumbuhan Pohon
Selanjutnya menurut Supriyanto (2010; komunikasi pribadi) dijelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pohon terdiri atas 3 faktor, yaitu :
  1. Genetik (perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, ZPT, serat, )
  2. Lingkungan (cahaya, tanah, air, cekaman, mikorhiza). Setiap tumbuhan mampu melakukan adaptasi lingkungan untuk mempertahankan hidupnya.
  3. Silvikultur (praktek silvikultur, IPM). Setiap praktek silvikultur akan mempengaruhi hasil akhir yang diperoleh.
Secara lebih rinci diketahui bahwa banyak faktor alasan atau penyebab yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan pohon. Apabila faktor tersebut kebutuhannya tidak terpenuhi maka tanaman tersebut bisa mengalami dormansi/dorman yaitu berhenti melakukan aktifitas hidup. Faktor pengaruh tersebut yakni :
1.  Faktor Suhu / Temperatur Lingkungan
Tinggi rendah suhu menjadi salah satu faktor yang menentukan tumbuh kembang, reproduksi dan juga kelangsungan hidup dari tanaman. Suhu yang baik bagi tumbuhan adalah antara 22 oC – 37 oC. Temperatur yang lebih atau kurang dari batas normal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan yang lambat atau berhenti
2.  Faktor Kelembaban / Kelembapan Udara
Kadar air dalam udara dapat mempengaruhi pertumbuhan serta perkembangan tumbuhan. Tempat yang lembab menguntungkan bagi tumbuhan di mana tumbuhan dapat mendapatkan air lebih mudah serta berkurangnya penguapan yang akan berdampak pada pembentukan sel yang lebih cepat.
3.  Faktor Cahaya Matahari
Sinar matahari sangat dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat melakukan fotosintesis (khususnya tumbuhan hijau). Jika suatu tanaman kekurangan cahaya matahari, maka tanaman itu bisa tampak pucat dan warna tanaman itu kekuning-kuningan (etiolasi). Pada kecambah, justru sinar mentari dapat menghambat proses pertumbuhan.
4.  Faktor Hormon
Hormon pada tumbuhan juga memegang peranan penting dalam proses perkembangan dan pertumbuhan seperti hormon auksin untuk membantu perpanjangan sel, hormon giberelin untuk pemanjangan dan pembelahan sel, hormon sitokinin untuk menggiatkan pembelahan sel dan hormon etilen untuk mempercepat buah menjadi matang.
Dengan diketahuinya kebutuhan faktor-faktor lingkungan bagi pertumbuhan suatu jenis tumbuhan, maka dapat ditetapkan manajemen pertumbuhan dengan pendekatan silvikultur yang tepat mulai dari tingkat benih dan bibit sampai tanaman tumbuh di lapangan, serta selama tegakan pohon berdiri.  Bentuk-bentuk perlakuan silvikultur yang antara lain : penyiapan benih dan bibit, teknik dan waktu pemangkasan cabang, penjarangan, dan sebagainya.  Masing-masing jenis tumbuhan kadang-kadang memiliki perbedaan mendasar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dicerminkan oleh karakteristik morfologi, sehingga perlakuan silvikulturnya juga perlu diketahui secara jelas.


ARSITEKTUR POHON
Supriyanto (2010; komunikasi pribadi) menjelaskan bahwa hasil dari organogenesis dan morfogenesis akan membangun arsitektur pohon.  Arsitektur pohon merupakan hasil dari pertumbuhan yang dilakukan oleh jaringan meristem apical yang membentuk pola-pola pada percabangan pohon dan pola-pola ini berlanjut dengan pengulangan yang sama.  Jenis-jenis pohon tertentu akan memiliki pola-pola tertentu pula dalam pertumbuhan percabangan membentuk model-model tertentu.
Menurut Tomlison (1983), bentuk dari pohon mencirikan penampilan dari suatu kelompok biologi, artinya pohon-pohon yang berada pada kelompok biologi yang sama cemnderung memiliki kesamaan dalam bentuk dan pola arsitekturnya. Sebelumnya Halle dan Oldeman (1978) telah mendeskripsikan model-model arsitektur pohon hutan terdiri atas 23 model untuk jenis-jenis pohon dan tumbuhan hutan lainnya dijumpai sebagai model pada pohon-pohon hutan di wilayah tropika.  Dijelaskan lebih lanjut bahwa arsitektur pohon merupakan abstraksi dari genetic oleh suatu tumbuhan sejak mengawali pertumbuhannya, arsitektur pohon berbeda pengertian dengan pola pertumbuhan, habitus dan bentuk-bentuk tajuk.  Arsitektur adalah bentuk dari produk akhir dari suatu pola perilaku pertumbuhan meristem apical, ukuran atau habitus bukan merupakan faktor pembeda karena pohon dengan herba dapat saja memiliki hasil akhir pola perilaku pertumbuhan yang sama.
Setiap jenis pohon memiliki satu model arsitektur yang tetap, tetapi satu model arsitektur dapat dimiliki oleh berbagai jenis pohon dari family yang sama atau berbeda.  Berdasarkan pengetahuan ini dan pengenalan jenis-jenis pohon yang dijumpai di Indonesia, Sutisna et al (1998) menyatakan sekurang-kurangnya terdapat 9 model arsitektur pohon hutan di Indonesia, meliputi : (1) model Attim, (2) Aubreville, (3) Koriba, (4) Massart, (5) Prevost, (6) Rauh, (7) Roux, (8) Scarrone dan (9) Troll.  Ilustrasi masing-masing model arsitektur pohon tersebut disajikan pada Gambar 7.

 



 

 


















Gambar 7. Model-Model Arsitektur Pohon yang Umum dijumpai di Indonesia
(Sumber : Halle & Oldeman, 1978)

ARSITEKTUR AKAR
Akar merupakan organ tumbuhan yang memiliki peran sangat penting dalam pertumbuhan, yaitu untuk enchorage, penyerapan air dan mineral dari dalam tanah, serta menyerap dan mendistribusi nutrisi ke seluruh bagian pohon.  Kramer dan Kozlowsky (1979) menjelaskan bahwa system perakaran pohon memiliki satu akar yang besar dan banyak akar-akar cabang.  Variasi dalam distribusi dan kedudukan akar-akar sangat penting karena pohon-pohon dapat melakukan penetrasi dan percabangan untuk menyerap air dan mineral dari tanah yang luas sebagai media pertumbuhan pohon.  Akar pohon umumnya melakukan penetrasi jauh lebih dalam  ke tanah dan akar cabang melebar lebih luas dari ukuran tajuk pohon.  Skema system perakaran disajikan pada Gambar 8.
Arsitektur akar merupakan bentuk apresiasi morfologis akar sebagai hasil dari pertumbuhan yang dilakukan oleh meristem pikal yang terdapat pada ujung akar.  Sebagaimana arsitektur pohon istilah “aristektur” dalam hal ini mengacu pada objek-objek yang secara biologi diartikan sebagai konfigurasi spasial dari beberapa bagian yangb sangat kompleks dengan berimplikasi pada fungsi-fungsi penting dalam kaitannya dengan pertumbuhan.

Gambar 8. Sistem Perakaran Pohon (sumber : Winter, 2003)

Lynch  (1995) menjelaskan bahwa  istilah “root architecture” telah banyak digunakan untuk menyatakan bentuk-bentuk atau tipe-tipe dari system perakaran yang merupakan aspek genetic tsuatu jenis.  Beberapa istilah lain yang lebih jelas mengenai arsitektur akar umum dikenal dengan istilah-istilah lain yang lebih popular, antara lain :
1)    Morphology. Root morphology refers to the surface features of a single root axis as an organ, including characteristics of the epidermis such as root hairs, root diameter, the root cap, the pattern of appearance of daughter roots, undulations of the root axis, and cortical senescence. Anatomical features of a root related to cell and tissue organization are not usually part of architectural considerations.
2)    Topology. Root topology refers to how individual root axes are connected to each other through branching. As in mathematical usage, root topology is stable to deformation or rotation of the axes themselves and therefore is possible to  measure on excavated root systems.
3)    Distribution. Root distribution refers to the presence (rather than the orientation) of roots in a positional gradient or grid. Typically, studies of root distribution are concerned with root biomass or root length as a function of faktors such as depth in the soil, distance from the stem, and position between neighboring plants. Measurement of root distribution in agricultural and natural plant communities often includes roots of more than one plant or more than one species.
4)    Architecture. Root architecture refers to the spatial configuration of the root system, i.e. the explicit geometric deployment of root axes. Usually, studies of root architecture do not include fine structural details, such as root hairs, but are concerned with an entire root system or a large subset  of the root system of an individual plant
Tipe-tipe perakaran pohon paling jelas dketahui adalah akar tunggang yang cenderung memiliki satu akar utama (primary root) yang memanjang secara vertical ke dalam tanah dan akart-akar cabang atau sering disebut akar lateral yang cenderung menjelajah tanah ke arah samping yang secara efektif dan efisien melakukan penyerapan air, mineral dan nutrisi sesuai kebutuhan tumbuhan.  Selain tipe perakaran tersebut, umum pula diketahui tipe-tipe akar pada hutan mangrove dan rawa yang umumnya muncul di atas permukaan air atau lumpur dengan pola-pola seperti : akar tunjang, akar lutut dan akar pasak sebagaimana disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9.
Contoh tipe-tipe akar yang umum dijumpai di hutan mangrove

KETERKAITAN ANTARA ARSITEKTUR POHON DAN ARSITEKTUR AKAR DALAM PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU
a.     Hubungan arsitektur pohon dengan pertumbuhan dan kualitas kayu
Model arsitektur pohon merupakan ekspresi pertumbuhan, yaitu sebagai hasil dari organogenesis dan morfogenesis.  Arsitektur pada pohon secara langsung berhubungan erat dengan pertumbuhan pohon.  Pohon-pohon dengan pola pertumbuhan tertentu sudah barang tentu akan diindikasikan pula oleh arsitektur akibat pertumbuhan dari jaringan meristem.  Sebagai contoh, pohon-pohon dengan model Aubreville cenderung memiliki perilaku pertumbuhan yang berbeda dengan model Raux, pohon model Aubreville akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk menambah cabang-cabang baru kearah horizontal yang mengakibatkan tajuk cenderung semakin melebar sehingga pemanjangan batang lebih terlambat.  Sedangkan pohon-pohon dengan model Roux lebih mempercepat pemanjangan batang, sehingga pembentukan cabang-cabang juga menjadi lebih singkat yang pada akhirnya lebih membentuk pola-pola tajuk yang mengerucut.
Dari uraian di atas membuktikan bahwa perbedaan model arsitektur yang dimiliki oleh jenis-jenis pohon akan menghasilkan pertumbuhan yang berbeda pula, jenis-jenis pohon pionir umumnya lebih mengutamakan pemanjangan batang terlebih dahulu baru kemudian menambah cabang-cabang baru, tetapi kadang-kadang pembentukan cabang baru juga dilakukan bersamaan dengan pemanjangan batang.  Jenis-jenis lambat tumbuh umumnya dicirikan dengan pertumbuhan cabang-cabang pohon secara bertahap diikuti dengan pemanjangan batang secara perlahan, pohon-pohon semacam ini umumnya dicirikan dengan pola pertumbuhan yang ritmik artinya terdapat fase-fase tertentu pertumbuhan melambat atau berhenti, kemudian dilanjutkan pada saat kondisi factor-faktor lingkungan mendukung.
Keterkaitannya dengan kualitas kayu, pohon-pohon akan memiliki fenotip yang bervariasi sesuai dengan model arsitekturalnya.  Kualitas kayu umumnya disesuaikan dengan tujuan penggunaannya, sebagai contoh untuk kayu pertukangan umumnya disyaratkan dengan fenotipe batang lurus silindris dengan tinggi bebas cabang tinggi dan diameter besar.  Model arsitektur yang menghasilkan fenotip demikian tentunya dipandang memiliki kualitas kayu yang lebih baik, disamping itu dibutuhkan syarat-syarat lainnya misalnya kandungan kimiawi, berat jenis, kelenturan dan sebagainya.  Pada tujuan penggunaan lainnya tentunya tidak selamanya fenotip demikian yang dibutuhkan, untuk bahan baku pulp dan kertas pohon-pohon dengan percabangan yang banyak tidak menjadi persoalan, tetapi panjang serat dan syarat-syarat lainnya lebih diperlukan.
Berdasarkan hal tersebut maka manajemen pertumbuhan berdasarkan pemahaman arsitekturnya dapat dilakukan sesuai kebutuhan kualitas kayu yang diinginkan, dalam hal ini dengan menggunakan teknik-teknik silvikultur yang sesuai.  Sebagai contoh pohon duabanga memiliki karakter cabang-cabang yang terus bertambah panjang mengakibatkan waktu untuk pemanjangan batang menjadi terbatas, untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan pemangkasan ujung cabang dan ranting lebih dini dimulai dari penyiapan bibit tanaman.  
b.     Hubungan arsitektur akar dengan pertumbuhan dan kualitas kayu
Sebagaimana arsitektur pohon, arsitektur akar juga merupakan bentuk respon pertumbuhan pohon terhadap berbagai factor.  Sesuai dengan fungsinya, akar-akar pohon diperlukan untuk mendukung fungsi-fungsi mekanis dan metabolism. Pohon-pohon dengan pangkal batang berbanir dan pola perakaran dengan banyak memiliki akar lateral yang berkembang melebar sangat diperlukan untuk tipe-tipe habitat basah, demikian pula untuk kasus sebaliknya diperlukan pola perakaran yang sesuai.
The ability of plants to respond appropriately to nutrient availability is of fundamental importance for their adaptation to the environment. Nutrients such as nitrate, phosphate, sulfateand iron act as signals that can be perceived. These signals trigger molecular mechanisms that modify cell division and cell differentiation processes within the root and have a profound impact on root system architecture. Important developmental processes, such as root-hair formation, primary root growth and lateral root formation, are particularly sensitive to changes in the internal and external concentration of nutrients.
The responses of root architecture to nutrients can be modified by plant growth regulators, such as auxins, cytokinins and ethylene, suggesting that the nutritional control of root development may be mediated by changes in hormone synthesis, transport or sensitivity. Recent information points to the existence of nutrient-specific signal transduction pathways that interpret the external and internal concentrations of nutrients tomodify root development. Progress in this field has led to the cloning of regulatory genes that play pivotal roles in nutrient-induced changes to root development.
Dalam kaitannya dengan kualitas kayu, manajemen system perakaran perlu dipahami mengingat kemampuan serapan air, hara dan mineral oleh cenderung berbeda-beda.  Dalam rangka mendukung hal tersebut seorang silvikulturis perlu memadukan antara manajemen arsitektur pohon dengan arsitektur akar agar diperoleh kualitas kayu yang diinginkan sesuai tujuan penggunaannya.

STUDI-STUDI KASUS PENELITIAN
1)     Jose´ Lo´ pez-Bucio, Alfredo Cruz-Ramı´rez and Luis Herrera-Estrella. The role of nutrient availability in regulating root architecture. Current Opinion in Plant Biology 2003, 6:280–287

The use of model species such as Arabidopsis thaliana and Lupinus albus has extended our knowledge of the molecular mechanisms through which nutrient signals control root architecture. In general, the responses of root architecture to low nutrient availability seem to be ubiquitous in angiosperms, and may act to increase the efficiency of nutrient capture when nutrients are limiting. Novel information suggests the existence of nutrient-specific signal transduction pathways that interpret the external and internal concentrations of nutrients to modify root development Plant hormones, mainly auxins, cytokinins and ethylene, appear to be key faktors in these nutrientmediated pathways. The nutrient pathways may affect hormone biosynthesis, transport and/or sensitivity [15,24_,31_]. A few genes that control essential steps in the nitrate- and phosphate-signaling pathways have been identified. These include ANR1 and PHR1 from Arabidopsis and the HAR1 gene of Lotus japonicus. The use of novel growth assays and genetic screens [36,37], in combination with reverse genetic approaches in Arabidopsis and other plants, will lead to the identification of more genes that act in these pathways. These techniques will also elucidate the nutrient–hormone signaling networks that control the responses of root architecture to nutrient availability.
2)     Lars Linsen†_ Brian J. Karis† E. Gregory McPherson‡ Bernd Hamann†.  2005.  Tree Growth Visualization.  The Journal of WSCG, Vol. 13. 2005

In computer graphics, models describing the fractal branching structure of trees typically exploit the modularity of tree structures. The models are based on local production rules, which are applied iteratively and simultaneously to create a complex branching system. The objective is to generate three-dimensional scenes of often many realisticlooking and non-identical trees. Our goal, instead, is to visualize the growth of a prototypical tree of certain species. It is supposed to look realistic but, more importantly, has to conform with real, measured data. We construct a tree model being similar to existing ones and extend it by coupling the branching production rules with dynamic tree-growth rules. The latter are based on equations derived from measured street tree data for London Plane tree (Platanus acerifolia) such as tree height, diameter-at-breast-height, crown height, crown diameter, and leaf area. We map the global, measured parameters to the local parameters used in the tree model. The mapping couples knowledge from plant biology and arboriculture, as we deal with trees that are trained and manipulated to achieve desired forms and functions within highly urbanized environments.
3)     M. P. COUTTS.  1983.  Root architecture and tree stability Plant and Soil 71, 171-188 (1983).  
4)        Root anchorage is discussed with a view to determining the optimum use of root material
for enhanced stability. Field observations were made on Sitka spruce root systems while lateral forces were applied to the stem with a winch to pull the tree over. Measurements included the applied force, angles of inclination, soil and root movement, timing of the sound of root breakage using buried microphones, weight and shape of the root-soil plate and damage to the roots. Components of anchorage include the dimensions and mass of the root-soil plate levered from the ground by the displaced stem, and tensile strength of roots and soil beneath the plate; root and soil tensile strength and root/soil resistance on the windward perimeter; and on the lee side the stiffness of the hinge at the fulcrum.
Strength properties of roots and soil are reviewed. Models devised for landslip are extended to consider behaviour under tension, of roots singly and in groups, and the concept is developed of a "critical rooting  density' at which root/soil resistance exceeds soil strength, giving rise to the characteric root-soil plate on uprooted trees. The lee side part of the root-soil plate acts as a cantilevered beam and determines the distance of the fulcrum from the tree. Physical laws defining the reduced stiffness of beams as a result of subdivision, indicate the importance of the number/size distribution of roots and weakening effects of branching.
On the windward side upward movement of the root-soil plate causes sequential breakage of soil and roots. Under an increasing applied load, failure occurs in parts of the soil-root system before the maximum force for uprooting is achieved. A preliminary approach is made to modelling where the changing contributions of the components of anchorage are allowed for throughout the uprooting process.
5)   Root Architecture In Ecological Productivity: The Case Of Water Acqulsltlon By Desert S Uccu Le Nts

Elegant work by Nobel and colleagues (summarized by Rundel and Nobel, 1991) provides compelling evidence for the importance of root architecture (or root distribution resulting from root architecture) in the productivity of desert plants. Water availability in desert environments varies greatly with soil depth and time. Work during the early part of the century established the existence of distinct architectural classes of desert root systems, with varying emphasis on deep taproots, shallow lateral roots, or generalized exploration of the soil profile (Cannon, 1911). These classes are apparently related to the growth strategies of the shoots.
For example, deeply rooted phreatophytes can photosynthesize and grow in very dry conditions because they have access to deep water resources, whereas shallow-rooted perennials exploit brief seasonal rains but must tolerate long dry periods; cacti are an example of such species.  Nobel and colleagues used physiological analysis of root hydraulic properties, simulation modeling, and theories of cost/benefit optimization (i.e. applying microeconomic principles to plant resource allocation, as summarized by Bloom et al., 1985) to asses the functional significance of root architecture to the productivity of two succulent species.
Root deployment in the soil and root hydraulic conductance were characterized, and this was used along with rainfall data and a model of water movement through the soil to simulate total water uptake in wet, average, and dry years. The model showed that the root distribution observed in the field was in fact the ideal distribution for water uptake in dry and average years, compared to other hypothetical distributions. It was demonstrated, using a similar approach but including the C “gain“ of root water uptake by estimation of leaf water use efficiency, that the standing root biomass is nearly optimal from the point of view of C-gain optimization (i.e. additional root biomass would not have significantly enhanced net C gain) and that short-lived ”rain roots” that appear after rain storms are economical “investments” by the plant despite their high C “cost.”

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa arsitektur pohon dan arsitektur akar merupakan ekspresi secara genetic suatu jenis tumbuhan terhadap pertumbuhan, artinya setiap perbedaan model arsitektur akan memiliki karakter pertumbuhan yang berbeda, hal ini berimplikasi pada hasil akhir berupa kayu yang juga bervariasi, sehingga kualitas kayu yang dihasilkan akan berbeda pula sesuai dengan tujuan penggunaannya.
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa selain perilaku pertumbuhan, variasi model arsitektur pohon dan arsitektur akar juga memiliki respon yang bervariasi terhadap faktor-faktor lingkungan tertentu, sehingga akan menghasilkan pertumbuhan

KAJIAN PENELITIAN YANG PENTING DILAKUKAN
Berdasarkan penelaahan terhadap hasil-hasil penelitian sebelumnya, maka sangat perlu dilakukan penelitian-penelitian lebih lanjut yang mengkaji :
1)    Keterkaitan antara arsitektur pohon dengan arsitektur akar, hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa profil tajuk umumnya mencerminkan profil perakaran.
2)    Hubungan model arsitektur pohon dan arsitektur akar suatu jenis dengan kualitas kayu

DAFTAR PUSTAKA
Jonathan Lynch*.  1995.  Root Architecture and Plant Productivity.  Plant Physiol. (1995) 109: 7-1 3
Reffye, Ph. de, Fourcaud, Th., Blaise, F., Barthelemy, D. & Houllier, F. 1997. A functional model of tree growth and tree architecture. Silva Fennica 31(3): 297-311.
Jose´ Lo´ pez-Bucio, Alfredo Cruz-Ramı´rez and Luis Herrera-Estrella. The role of nutrient availability in regulating root architecture. Current Opinion in Plant Biology 2003, 6:280–287
Winter.  2003.  Tree architecture and Growth.  Forest stand Dynamics.
Zulkifli Dahlan, Sarno, dan Afif Barokah.  2009.  Model Arsitektur Akar Lateral dan Akar Tunjang Bakau (Rhizophora apiculata Blume).  Jurnal Penelitian Sains Volume 12 Nomer 2(D) 12209
Di Iorio, A. BLasserre, Gabriella S. Scippa And D. Chiatante.  Root System Architecture Of Quercus Pubescens Trees Growing On Different Sloping Conditions.  Annals Of Botany 95: 351–361, 2005
Reffye, Ph. de, Fourcaud, Th., Blaise, F., Barthelemy, D. & Houllier, F. 1997. A functional model of tree growth and tree architecture. Silva Fennica 31(3): 297-311.
Tomlison, P.B.  1983.  Tree Architecture : New Approaches Help to define The Elusive Biological Property of Tree Form.  American Scientist Vol. 7 (1) 1983.
Lars Linsen†_ Brian J. Karis† E. Gregory McPherson‡ Bernd Hamann†.  2005.  Tree Growth Visualization.  The Journal of WSCG, Vol. 13. 2005

Maaf ! gambar-gambar tidak dapat ditampilkan karena belum meminta ijin dari sumbernya

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantafff pak Ichsan.... ^___^

Terima kasih informasinya...

Salam,